Dorongan keras dari luar. Membuat pintu utama terbuka lebar. Hafsah mengelus dadanya terkejut. Saat melihat suaminya berjalan melewatinya dengan langkah lebar.
“Bib, ada apa?”
Namun Dewandaru tak mengindahkan pertanyaannya.
Lelaki itu menaiki tangga satu persatu.
Perempuan itu lantas menengadah kepalanya. Dilihatnya sang suami membanting pintu kamar dengan kasar. Membuatnya kembali mengelus dada.
‘Kenapa dia terlihat kesal’ batinya.
Ia segera meletakkan
piring kotor yang ada ditangannya. Menaiki tangga dengan cepat untuk sampai ke kamar. Baginya sang suami lebih penting. Ketimbang pekerjaannya.
Hafsah mendorong pintu kamarnya pelan.
Tatapan Dewandaru tertuju keluar jendela. Hingga tak menyadari. JikaJika Hafsah sudah berdiri di belakangnya, menatap punggungnya lekat.
‘Lima tahun aku bersamanya, jarang melihatnya seperti ini’ gumam Hafsah dalam hati.
Perempuan itu lantas memeluk tubuh sang suami dari samping. Dagunya bertumpu di bahu kokoh suaminya.
Biasanya sang suami akan membalikkan badan, kemudian memeluknya.
Namun malam ini tidak!
“Bib!” panggilnya sedikit menelengkan kepalanya. Memeriksa wajah lawan bicaranya.
Terlihat lesu. Dan diam membisu.
Tiga kali Hafsah memanggil suaminya.
Dewandaru tetap bergeming.
Tangan kekar itu, mulai melepaskan tangan istrinya, yang melilit pinggangnya.
Hal ini membuat Hafsah, terkejut. Pasalnya lima tahun mengarungi rumah tangga. Sang suami lebih mendominasi manja padanya.
“Apa kau tidak mencintaiku?”
Hafsah menunduk, pertanyaan seperti ini.
Akhir-akhir ini sering keluar dari mulut Dewandaru.
“Kenapa kau hanya diam?” tanya Dewandaru mengguncang kedua bahu Hafsah. Membuat istrinya mendongak menatapnya.
Dua pasang netra hitam itu beradu. Terpancar jelas jika mereka saling mencintai.
Hafsah melengos, perempuan itu menyeka air matanya, yang mulai menggenang di pelupuk mata.
“Tanpa aku menjawab kau pasti tahu Bib!” papar Hafsah. Rasanya sulit untuk menatap kembali netra suaminya.
Jika itu terjadi, perempuan itu percaya tangisnya akan pecah.
“Benarkah?” tanya Dewandaru mencoba mengikis jarak.
Membuat Hafsah mundur, dengan sempoyongan.
“Lantas mengapa kau memintaku untuk bersumpah untuk menikah kembali?” cecarnya dengan wajah menahan amarahnya.
Ini kali kedua Dewandaru membentak istrinya. Selama mengarungi biduk rumah tangga.
Hafsah ketakutan membuat badannya bergetar hebat.
“Aku tahu kau pasti ingin jadi ayah-kan? Tapi aku tidak bisa memberikan semua itu Bib!” ujarnya dengan suara bergetar menahan tangisnya.
Dewandaru terkekeh getir, mendengar penjelasan istrinya.
“Itu dulu! Saat aku tidak tahu, takdir seperti apa yang aku dapatkan!”
“Apa aku harus mengingatkan sebuah filosofi! Yang kau ajarkan padaku?” bentaknya, membuat Hafsah terenyak.
“Stoa bukan tentang diksi atau narasi, akan tetapi Setosisme itu dipelajari dan dipraktikkan. Lalu? Apa kau sudah mempraktikkannya?” tanyanya dengan dada naik turun menahan sesak.
“Anak? Ya! Aku ingin menjadi seorang ayah! Tapi itu dulu!” ujarnya penuh keyakinan.
'Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apa pun yang dia mau. Tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang belum dia miliki. Dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima. (Seneca dalam bukunya Letters from a Stoic)'
“Tapi, setelah aku renungkan perkataan Seneca. Aku bertanya pada diriku, kenapa aku harus mengingini sesuatu yang mungkin tidak ditakdirkan untukku?” tanyanya yang membuat lawan bicaranya, menutup mulut rapat.
“Padahal jelas, ada sesuatu yang aku miliki! Dan harus selalu aku inginkan, ya itu kamu. Aku bersyukur. Memiliki kamu, bahkan itu cukup! Aku tidak merasa kekurangan, tapi kamu....” Tunjuknya melangkah mundur.
Lelaki itu kembali terkekeh, membuat Hafsah semakin ketakutan.
“Menyalahkan dirimu sendiri, atas takdir ini!”
“Kau merasa harus bertanggung jawab, atas hal yang tidak kamu perbuat! Aku tidak menyukai hal seperti ini istriku. Kau utuh, kau tidak bisa hamil itu bukan kendali kamu! INGAT ITU!” teriakannya menggema.
Lelaki itu tersungkur dengan air mata yang membasahi pipinya.
Melihat suaminya tertunduk dalam. Hafsah pun tak bisa lagi menahan tangisannya. Yang tadi sempat disimpan.
“Bi-bib terkadang hiks ...tak per-lu membuat sebuah kesalahan untuk bertanggung jawab. Hiks …hiks ....”
Dengan bibir bergetar, Hafsah mencoba menjelaskan keadaannya sebagai istri yang tak bisa memberikan keturunan.
“Jika selandainya kita bangun di pagi hari hiks. Tiba-tiba ada seseorang, yang meletakkan bayi di depan pintu rumah kita. Tentu ini bukan kesalahan kita. Akan tetapi, bayi tersebut akan menjadi tanggung jawab kita. Entah kamu urus, atau kamu buang, atau kau mengabaikannya. Itu merupakan masalah, yang berkaitan dengan kita. Sebagai pemilik rumah!”
“ Keputusan yang kita ambil adalah bentuk tanggung jawab yang kita pilih! Itulah yang terjadi padaku.”
“ Memang benar aku tidak bisa memberikan keturunan untukmu. Dan aku sadar ...itu tidak dalam kendaliku. Akan tetapi ...aku masih bisa menjadikanmu sebagai seorang ayah. Hanya dengan cara mengikhlaskanmu menikah,” jelasnya dengan tegas.Berusaha tegar, supaya suaminya tahu. Jika keputusan yang diambil adalah benar.
“Tentu! Tapi mengapa kau mengambil tanggung jawabku sebagai seorang suami hah?” sergah Dewandaru mendongak.
“Kau menyuruhku menikah! Tapi kau, tidak memberikan aku tanggung jawab, untuk memutuskannya. Kau menyabotase dengan cara memintaku bersumpah atas keadaanmu.”
Ini adalah pertengkaran kedua orang yang saling mencintai. Ingin membahagiakan, satu sama lain, namun caranya bertentangan.
“Dan seperti kisah bayi yang baru kau ceritakan tadi. Saat ini aku bertanggung jawab, atas keputusan yang kau ambil!” Lelaki itu bangkit dari bersimpuhnya. Dan mengusap wajahnya kasar.
Hafsah terlonjak kaget mendengar ucapan suaminya.
Namun perempuan itu tak sampai sakit hati, akan tuduhan yang Dewandaru berikan.
Pasalnya memang benar.
Namun dia merasa bersalah karena sok tahu. Tentang apa yang terbaik bagi suaminya secara personal.
“Tanggung jawab yang harus aku jalankan. Bukan hal mudah, aku tidak sanggup. Aku manusia biasa yang tidak bisa adil. Mengapa kau, tidak berterima kasih kepada Tuhan, memiliki suami yang setia padamu! Yang tidak pernah berniatan menduakanmu. Apa kau sudah tidak menginginkanku lagi?”
Perempuan itu langsung membekap mulut suaminya. Hafsah menggeleng, tak membenarkan perkataan sang suami.
“Aku hanya ingin, kau bahagia! Bib, sebagai seorang istri, aku merasa tidak utuh. Karena tidak bisa memberikanmu keturunan. Aku minta maaf. Tapi kau bukan hanya milikku saja. Masih ada yang berhak atas dirimu!”
batinnya yang tak bisa. Didengar oleh lawan
bicaranya.
TBC...
Nelangsa artinya sedih.
Parokialisme merupakan sebuah pandangan
pribadi terhadap dunia(sesuatu) hanya didasarkan pada perspektif dan nilai-nilai sendiri.
(Sinonim parokial : pikiran picik, cupet,
pendek akal, kardil, suntuk, sempit, singkat akal)
Inti sari sinopsis (Hafsah bersedih,
karena saat mengambil keputusan ia hanya menggunakan satu sudut pandang saja)
^^^...Terima Kasih Sudah Meluangkan Waktunya Untuk Membaca!...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Sarah Yuniani
semoga Hafsah benar benar ikhlas .. karena dia yang menginginkannya ..
2024-10-05
0
Hanipah Fitri
masih nyimak ceritsnya
2023-02-16
0