Stella menatap pintu kamar rumah sakit, suaminya berdiri disana. Senyum mengembang mekar bak bunga di bibirnya. Ini adalah kejutan indah disaat akhir pernikahan mereka.
Stella berkeras hati untuk berpisah. Tapi, siapa yang akan menduga, jika saat ini dia tengah hamil. Pengadilan akan menunda perceraian mereka hingga anak itu dilahirkan.
Alvin berjalan dengan hati bahagia tak terkira. Dia memang tidak ingin pisah dari Stella. Dan kabar tentang kehamilanya, adalah jalan kembali untuk merajut kembali hubungan yang terkoyak.
"Stella," Alvin memanggil namanya, mereka saling bertatapan. Stella masih diam dan tidak berbicara apapun. Pikiran nya masih kacau dan belum memutuskan langkah apa yang harus dia ambil.
"Stella, kita akan punya anak, kita akan menjadi orang tua. Anak dalam rahimmu, akan memperbaiki hubungan kita," kata Alvin akan memeluk Stella.
Itu yang akan dilakukan para suami ketika mengetahui istrinya hamil. Menatap istrinya penuh cinta dan memeluknya.
"Tidak!" Stella menahan badan Alvin dan mencegahnya memeluknya.
Alvin kaget, dan terpana. Menatap Stella penuh tanda tanya. Apakah hatinya masih keras seperti baja meskipun saat ini dia tahu jika ada janin dalam rahimnya? batin Alvin menatap Stella tak berkedip.
"Meskipun aku hamil, aku tidak bisa menggagalkan kan rencana perceraian kita?"
"Kenapa!?" Alvin terkejut dengan perkataan Stella yang tidak masuk akal.
"Pengadilan tidak mengijinkan bercerai jika istrinya hamil," Alvin menjelaskan.
"Aku tahu. Kau lupa satu hal, kau sudah punya anak dengan wanita lain? Lalu bagaimana dengan anakmu bersama wanita itu? Akan kau campakkan? Atau kau akan membuat hatiku lebih sakit lagi dengan poligami? Aku tidak setegar itu dan jiwaku tidak sekuat itu untuk melakukan poligami," Tegas Stella menghempaskan harapan Alvin untuk meluluhkan hati istrinya.
"Stella, kau juga lupa satu hal. Aku memang bersalah. Tapi coba kau ingat kembali. Aku melakukan semua itu, karena kau tidak mau tinggal merantau bersamaku. Aku kesepian dan aku terjun dalam dosa. Aku sudah bertaubat. Aku khilaf. Aku akan menebus kesalahanku padamu. Apapun yang kau minta akan aku berikan. Semua gajiku, juga akan aku berikan padamu, asal kau mau kembali dan kita bisa menjadi suami istri lagi dan hidup bahagia," Alvin hilang akal untuk meyakinkan istrinya.
"Mas, biarkan aku menenangkan diri dulu. Saat ini aku ingin sendiri. Kau bisa tunggu diluar,"
"Stella...." Alvin menatap sedih dan dimatanya juga ada luka dari perceraian yang sudah didepan mata.
"Mas...aku mohon...." Stella butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia harus memikirkan langkah apa yang harus dia ambil.
Bayi di dalam rahimnya, bukanlah anak Alvin. Bagaimana menjelaskannya? Apakah Alvin akan menerimanya jika tahu itu bukan anaknya?
Jika dia berkata jujur, maka dia akan semakin ditindas oleh keluarga suaminya. Jangankan menang di pengadilan. Dia akan dipermalukan dan semua harta yang sudah diberikan suaminya akan diminta kembali oleh keluarganya?
Apa yang harus aku lakukan?
Stella lalu menelpon Andin sahabatnya, saat ini dia butuh nasehat dari sahabat yang bisa dipercaya.
Mengatakan kebenaran siapa ayah bayi yang dia kandung pada orang tuanya atau keluarganya jelas tidak mungkin. Satu-satunya yang bisa membuat pikiranya terbuka hanyalah sahabatnya.
Andin adalah sahabat terbaiknya. Selama ini selalu membantunya menangani setiap masalah yang menerpanya.
"Andin, bantu aku...aku sedang dalam masalah besar," kata Stella berbisik dalam telepon.
Andin mendengarkan sebagai seorang sahabat yang baik. Tidak menyela ucapannya dan membuatkan sahabatnya mengatakan uneg-uneg dihatinya.
Karena Andin tidak tahu, Stella hanya sedang ingin curhat atau butuh bantuan.
"Ya, aku akan mendengarkan, katakan saja, sekarang aku sedang sendirian dikamar," Andin menjawab dan membuat Stella berani untuk mengatakan rahasia besar tentang siapa ayah dari bayinya.
Aku harus mengatakan pada seseorang. Aku butuh nasehat dari orang lain. Saat ini aku tidak bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. Besok aku akan sidang lagi ke pengadilan. Jika Mas Alvin mengatakan aku sedang hamil, maka pasti akan ditunda dan prosesnya akan menjadi semakin lama.
"Andin, aku hamil," kata Stella membuat Andin kaget.
"Apa!? Akhirnya kau bisa menjadi seorang ibu, aku turut bahagia untukmu," itulah yang diucapkan Andin mengingat sahabatnya sangat ingin punya seorang anak. Bahkan karena tidak kunjung hamil, maka keluarga suaminya memusuhinya.
"Andin, aku hamil disaat yang tidak tepat. Mas Alvin sudah punya anak dari wanita lain. Dan lagi, anak ini bukan anaknya,"
"Apa? Aku tidak mengerti yang kau katakan. Maksudmu, jika itu bukan anak suamimu, lalu anak siapa? Apa terjadi inseminasi?"
"Tidak, ini...Andin aku tidak bisa mengatakannya. Tapi bagaimana menurutmu...bisakah aku bercerai saat sedang hamil? Apakah pihak pengadilan akan mengabulkan gugatan ku?"
"Stella...kau sedang hamil. Apakah kau yakin akan berpisah dari suamimu? Apakah kau tidak berfikir untuk mempertimbangkan kembali keputusan mu? Bagaimana dengan anakmu jika kau bercerai?" Andin berfikir dengan perasaannya. Dia memposisikan dirinya jika berada di posisi Stella, mungkin dia akan memaafkan kesalahan suaminya demi anaknya.
"Andin, itulah yang membuatku gelisah. Aku bingung saat ini. Tapi jika aku ingat kembali bagaimana Mas Alvin mengkhianati ku, sedetikpun aku tidak bisa bersamanya. Aku sakit setiap kali menatap wajahnya. Wajah wanita itu dan bayi mereka membuat aku tidak bisa memberinya kesempatan lagi," Stella merasa lega setelah berkeluh kesah dengan sahabatnya.
Meskipun, dia tidak akan mendapatkan nasehat yang paling tepat. Karena pada dasarnya, hanya dia yang tahu dan bisa memutuskan untuk berpisah atau melanjutkan pernikahannya.
Tapi sedikit berbagi masalah dengan orang lain, membuat beban di hatinya sedikit berkurang.
"Stella... sebagai sahabat, aku hanya akan selalu mendukung apapun keputusan yang kau ambil. Hanya kau yang tahu apa yang terbaik untukmu. Orang lain, tidak benar-benar bisa memberikan keputusan yang paling tepat untukmu. Jika kau bingung. Pejamkan matamu lalu kau pikirkan sekali lagi jika bercerai kau akan bahagia atau tidak? Atau jika kau pilih untuk memaafkan, kau akan bahagia atau tidak, hanya itu yang bisa aku katakan padamu...." Andin menghela nafas berat.
"Andin... terimakasih, sudah mendengarkan keluh kesah ku. Ternyata aku hanya butuh teman berbagi. Dan aku sudah memutuskan apa yang harus aku lakukan sekarang," kata Stella lalu menutup teleponnya.
Dia sudah memutuskan apa yang harus dia pilih. Bercerai atau memaafkan suaminya....
"Mas Alvin, bisa kemari?" kata Stella memanggil suaminya yang berdiri didepan kamar rawat inapnya.
"Ya, aku datang," Alvin sejak tadi menunggu didepan pintu.
"Aku ingin pulang, aku sudah sehat,"
"Oke, aku akan mengantar kamu pulang,"
Stella tersenyum. Alvin juga senang. Dalam hati, berharap bisa meluluhkan hati istrinya dan mendapat kesempatan kedua.
Mereka sampai dirumah.
"Mas, sudah malam, sebaiknya kamu pulang," kata Stella yang sudah mendapatkan keputusan yang tepat.
"Stella, kau sedang hamil. Kita tidak jadi bercerai kan? Kita akan punya anak,"
"Tidak Mas. Kita akan tetap bercerai..." mengatakan dengan nada tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments