'Hah...rasanya kok capek banget...ada apa sih sebenarnya dengan diriku?'
Max mengacak rambutnya bak orang frustasi. Sejak dirinya dan Sierra berpisah, otak Max tak berhenti memikirkan perempuan itu barang sekali.Banyak pertanyaan berputar dalam benak Max, apalagi setelah dia melihat sendiri kondisi tempat tinggal Sierra yang sedikit tidak 'layak' bagi seorang anak orang mampu seperti keluarga Hilton.
'Berarti benar, Sierra udah dicampakkan sama kedua orang tuanya sendiri. Kalau dipikir-pikir lagi, Sierra termasuk hebat karena sanggup bertahan hidup mandiri tanpa bantuan keluarganya...'
'Tapi kenapa hatiku nggak tenang ya? Kenapa rasanya aku pengen banget menemui anak itu?' Max bingung dengan perasaannya sendiri.
Tok tok tok
Pintu ruangan di ketuk dari luar. Max yang masih sibuk bergelut dalam dunianya memilih tidak menjawab ketukan orang di depan sana, sebab seingat Max dia sudah memberitahu para karyawannya untuk tidak mendatangi ruangannya dulu.
"...kak Maxi? Apa kakak masih sibuk?"
Suara seorang perempuan bertanya dari balik pintu.
Perempuan itu...
Perempuan yang menjadi sumber dari luka yang di terima Sierra.
Dan entah mengapa dan sejak kapan, Max tidak pernah menyukai perempuan itu. Bagi Max, aura yang dipancarkan oleh perempuan itu terasa sangat aneh dan janggal. Max selalu berhati-hati agar tidak terlalu dekat dengan kekasih dari adiknya itu.
"Kak Maxi, aku ke sini karena Gideon ingin makan malam bersama denga kakak. Apa kakak bisa? Kita udah lama nggak makan bersama, karena itu aku menjemput kakak ke sini."
'Hah! Lihat perempuan ini. Sekalipun aku ini kakak dari pacarmu, apakah wajar sampai menjemputku segala? Sebenarnya, apa yang sedang dia rencanain?'
Ini bukan kali pertamanya perempuan itu mendatangi Max dengan menggunakan alasan yang sama. Yaitu Gideon.
"Maaf, nona Rosalina. Tuan Maximillan sangat sibuk hari ini. Jadi sepertinya mustahil untuk meninggalkan kantor lebih awal." Beruntung sekertaris Max datang dan memberitahu perempuan bersurai merah itu.
"Apa Boss-mu sudah makan secara teratur? Tolong, perhatikan pola makan kak Maximillan dengan baik. Mau sesibuk apapun dia, jangan pernah lewatkan jam makan sekali pun!"
Dan selalu berakhir dengan omelan.
'Rosaline selalu mengomeli anak buahku alih-alih menunjukkan kekecewaannya secara terbuka. Ini lucu, aku harus menegur Gideon untuk menasehati perempuan itu.'
Lama-lama Rosalina berani bersikap semena-mena pada semua pekerja Max.
Hari ini mungkin cuma berakhir dengan omelan saja, tapi pernah sekali sebelum ini, Rosalina yang kesal dan kecewa gara-gara Max usir berakhir pergi sambil membanting pintu ruangannya dengan cukup keras.
Saat itu, Max dapat melihat lebih jelas kemarahan yang tercetak di wajah Rosalina. Dan ekspresi menyeramkan yang ditunjukkan Rosalina secara tak sadar itu yang membuat Max merasa harus mewaspadai perempuan itu.
Tak cukup sampai di situ, akibat kedatangan Rosalina yang cukup sering, sampai menimbulkan gossip miring di dalam kantor. Padahal Maximillan sengaja memilih untuk dipindahkan ke kantor yang berbeda dengan Gideon supaya tidak sering berjumpa dengan adik serta kekasih adiknya itu. Tapi kenapa justru Rosalina yang sering berkunjung? Max sendiri juga heran sekaligus muak.
Kalau ini terus dibiarkan, bisa jadi skandal yang cukup berat di kemudian nanti.
'Gideon harus menindaklanjuti sikap Rosalina kalau dia menginginkan perempuan itu tetap menjadi tunangannya.'
...✨...
...✨...
Grep
"Sierra...kamu kenapa masih bangun?"
Sebuah tangan memeluk perut Sierra dari samping. Dengan tenaganya yang kuat, pria itu mampu menjatuhkan kembali tubuh Sierra ke atas ranjang.
"Nggak....cuma...aku sulit tidur lagi."
"Apa insomniamu kambuh lagi?" Suara serak itu kembali bertanya.
Mata Sierra sibuk memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih tulang. "Kayaknya...mungkin juga badanku terlalu capek jadi aku susah memejamkan mata."
Pria bersurai hitam legam yang berbaring di sisi Sierra memandangi wajah perempuan itu secara lekat. "Apa aku terlalu kasar tadi?" Dia pikir, Sierra kelelahan gara-gara dirinya.
Namun Sierra menjawab dengan gelengan kecil. "Nggak...ka-kamu memang agak sedikit kasar, tapi bukan karena itu kayaknya." Suara Sierra mencicit, malu untuk mengutarakan yang sejujurnya.
Bahkan meskipun mereka sudah beberapa kali melakukan'nya', Sierra masih saja malu dan salah tingkah ketika di goda.
Pria itu tersenyum tipis, sedikit lega karena penyebab dari kambuhnya insomnia Sierra bukan karena dirinya. Lalu apa? Apa terjadi sesuatu yang tidak diketahuinya? Pria itu jadi penasaran.
"Apa terjadi sesuatu?" Pria itu mengganti posisi rebahannya menjadi tengkurap, sambil bertopang dagu menggunakan tangan. Dengan begini, dia lebih leluasa memandangi wajah cantik Sierra yang tersinari cahaya rembulan.
Sierra balik memandangi wajah pria yang sudah 3 hari ini tidak dia lihat. "Kalau aku cerita, janji kamu nggak akan marah dulu?" Tapi Sierra ragu untuk menceritakannya, sebab dia telah melanggar salah satu larangan yang diberikan pria itu padanya.
Sesuai prediksi Sierra, pria itu menekuk alis tebalnya lantaran merasa Sierra telah melakukan kesalahan. "Ceritakan dulu, baru aku bisa memutuskan akan memarahimu atau tidak." Itu adalah peringatan mutlak.
Mau tidak mau, Sierra harus menceritakan semua yang terjadi tanpa ada yang dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Mulai dari ajakan Elena, salah mencari ruangan, bertemu teman lama sampai mabuk berat gara-gara hukuman yang diberikan oleh orang-orang padanya.
Pengakuan Sierra jelas membuat pria itu emosi bukan kepalang. "Kenapa kamu nggak menghubungi Michael?! Dia 'kan bisa menjemputmu langsung dan mengantarkanmu pulang!"
Semburan yang cukup keras. Sierra masih belum terbiasa menerima teguran sekeras ini meski ini bukan pertama kalinya pria itu membentaknya.
"Ma-maaf..aku bener-bener nggak tau kalau itu acara kencan buta. Maafkan aku!" Tanpa sadar tubuh Sierra gemetar hebat.
Dia takut...
Takut pria itu marah dan kecewa padanya.
Satu-satunya alasan Sierra dapat bertahan hidup sampai sekarang, semua berkat pria itu. Jika Sierra sampai kehilangannya, Sierra tak tahu lagi bagaimana nasibnya di masa depan.
"Maaf... "
Meski harus merendahkan dirinya, Sierra akan melakukan apa saja demi mempertahankan pria itu di sisinya.
Pria itu mendengus keras, lalu bangkit dari posisi tidurannya. Tangannya yang panjang meraih celana miliknya yang tergeletak di atas lantai dekat dengan ranjang. Mengambil satu batang rokok lalu menyalakannya menggunakan korek.
Hanya dengan merokok, pria itu bisa menekan emosinya.
"Apa ada laki-laki yang mendekatimu sejak saat itu?" Namun bayangan akan banyak lelaki yang mengelilingi Sierra membuat amarahnya semakin meluap.
Tidak, ini bukan salah Sierra, tapi salah Elena. Perempuan yang katanya teman Sierra itu sudah kelewatan batas kali ini.
Pria itu tahu, ini bukan sepenuhnya salah Sierra. Sierra tidak suka menghadiri ajang pencarian jodoh seperti itu atas keinginannya sendiri, pasti karena orang lain.
Lagipula Sierra bukan tipe perempuan yang suka menempeli lelaki secara sembarangan. Meski hubungannya dengan Sierra di awali dengan cara yang salah, tapi pria itu tahu bahwa Sierra bukan perempuan murahan yang melemparkan tubuhnya hanya demi kesenangan semata.
"Enggak ada. Aku...cuma bertukar kontak sama teman lamaku. Tapi kami nggak berkomunikasi lagi setelah itu. A-aku cuma mau membalas kebaikannya. Itu aja..."
Sierra panik, apa jawaban yang dia berikan terdengar seperti dibuat-buat? Pria itu tidak akan salah paham dengan maksudnya 'kan?
Sierra sudah menunjukkan kesetiaannya selama ini, jadi dia berharap pria itu tak akan meragukannya.
'Teman lama...laki-laki....F*uck! Apa harus mencari tahu sendiri siapa lelaki itu?' Pria itu berpikir keras.
"I-Isaac...." Sierra mencoba memanggil nama pria itu dengan lembut.
Satu-satunya cara untuk menenangkan emosi Isaac adalah dengan sentuhan langsung. Tapi sebelum menyentuh Isaac, Sierra harus memastikan terlebih dulu kalau pria itu tidak akan melukainya.
Suara Sierra yang lembut dan merdu adalah kesukaan Isaac sejak pertama kali mereka berjumpa. Hanya dengan mendengar suara Sierra, beban berat yang ada dalam hati Isaac seolah-olah terangkat begitu saja.
"Aku nggak marah sama kamu," kata Isaac kemudian, "Tapi aku marah pada orang-orang yang melibatkanmu secara paksa! Kalau aku bertemu mereka, aku akan-!"
Sierra memberanikan diri memeluk Isaac dari belakang.
"Hei, dengarkan dulu saat aku bicara!" Pelukan yang tiba-tiba, Isaac sampai tidak jadi melanjutkan perkataannya tadi.
Sierra jarang mengekspresikan dirinya, jadi sekecil apapun tindakan Sierra akan berdampak cukup besar khususnya bagi Isaac.
"Makasi...a-aku takut kamu marah dan kecewa padaku.." Sierra mengeratkan pelukannya, seakan-akan takut di tinggal pergi.
Isaac tahu benar mengapa Sierra bertingkah seperti ini hanya karena 'takut'.
Jika sudah begini, Isaac tidak mungkin bisa marah lama-lama. Meskipun kelihatan tegar di luar, namun Sierra itu rapuh di dalam.
Isaac membalikkan tubuhnya, membiarkan Sierra memeluk dirinya dengan benar.
"Janji aku nggak akan ikut acara-acara kayak gitu lagi. Aku janji..."
Setiap kali Sierra begini, seperti ada yang meremas hati Isaac dengan kuat dan itu menyesakkannya.
"Aku tau, aku tau...aku nggak marah lagi. Jadi kamu jangan khawatir.."
Walau hubungan mereka berlandaskan kontrak di atas kertas, tapi perasaan yang Isaac punya untuk Sierra adalah nyata.
Selama Sierra masih membutuhkan dirinya, Isaac sudah bertekad tidak akan meninggalkan perempuan itu. Itu adalah janji yang telah dia berikan waktu pertama kali dia dan Sierra melakukan kontrak.
'Aku nggak akan meninggalkanmu, jadi kamu nggak perlu takut...' Namun Isaac hanya berani mengatakan itu dalam hatinya, sebab dia tak ingin menambah beban Sierra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments