"Kenapa kamu bisa ada di hotel?" tanya Reka saat mereka sudah ada di rumah.
Witma yang duduk di pinggir ranjang langsung berdiri mendekati Reka. "Mas, seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa ada di hotel berduaan dengan Lisa?" balas Witma bertanya, jantungnya kini berdetak lebih kencang saat mengingat Reka bergandengan tangan dengan Lisa di hotel.
"Bukan urusanmu!" ketus Reka. "Lebih baik kamu urus saja dirimu yang mandul." Reka tidak tahu saja ucapannya membuat luka di hati Witma kian bertambah.
"Harus berapa kali aku katakan, aku tidak mandul Mas," ucap Witma bergetar karena ia berusaha menahan isak tangisnya yang ia tahan sejak tadi. "Aku katakan sekali lagi, bahwa aku tidak mandul," sambung Witma. Yang terlihat semakin mendekati Reka.
"Jika kamu tidak mandul, lantas kenapa sampai sekarang kamu tidak bisa memberikan aku seorang anak?" Reka menatap Witma dengan tatapan tajam.
Witma rasanya ingin sekali berteriak di telinga Reka mengatakan kalau sebenarnya Rekalah yang mandul bukan dirinya. Tapi apa daya ia yang tidak ingin menyakiti perasaan sang suami hanya bisa menyimpan rahasia itu sendiri tanpa memberitahu orang lain. Meskipun ia merasa seperti menelan pil pahit ketika mendengar Reka mengejeknya mandul.
"Hampir delapan bulan kita menikah, namun sampai sekarang tanda-tanda kamu akan hamil belum kelihatan sedikitpun." Reka menarik pinggang Witma sehingga posisi tubuh mereka berdempetan. "Jika mandul, tidak usah banyak tingkah. Untung saja aku yang menjadi suamimu yang sabar. Jika orang lain mungkin kamu sudah di campakkan."
Witma mendorong dada Reka supaya mereka memiliki jarak sedikit. "Jika anak yang jadi tolak ukur kebahagiaan, kenapa orang bercerai di luaran sana padahal mereka punya anak? Dan juga hidup mereka dibilang mampu tidak pas-pasan. Tapi kenapa mereka bisa berpisah apa Mas bisa menjelaskannya?" Witma menarik ujung baju Reka meminta penjelasan.
"Karena mereka merasa sudah tidak memiliki kecocokan satu sama lain, atau suaminya berselingkuh karena si istri tidak mampu memuaskan suaminya di atas ranjang," jawab Reka dengan santai.
Witma merasa tenggorokan kering, karena mendengar kata selingkuh membuatnya mengingat Lisa. Ia jadi berpikir kalau Reka sebenarnya memiliki hubungan spesial di belakangnya dengan Lisa.
Reka yang melihat Witma diam saja, menunduk sedikit supaya bisa berbisik di telinga Witma. "Lupakan apa yang tadi kamu lihat di hotel itu, maka aku juga akan melupakan kalau kamu sempat bertemu dengan mantanmu itu." Reka mencubit paha Witma dengan pelan. "Lupakan, apa kamu paham?"
Witma sampai lupa kalau ternyata Reka melihatnya dengan Arash di hotel. "Tidak Mas, aku butuh penjelasan tentang apa yang aku lihat di hotel, dan untuk kak Arash aku lagi-lagi tidak sengaja bertemu dengannya."
"Pintar sekali kamu ngeles, apa jangan-jangan kamu di hotel itu ingin menyewa kamar dan berduaan dengan bedebah itu?" tanya Reka yang malah memutar balikkan fakta. "Jika kamu diam, berarti aku menganggap ucapanku benar apa adanya."
"Bukannya Mas yang berduaan dengan Lisa, kenapa malah Witma yang Mas tuduh yang bukan-bukan." Netra Witma tidak sengaja melihat bekas cakaran di bawah leher Reka. "Apa mungkin Mas sendiri yang telah berzina dengan Lisa di hotel."
Reka terlihat marah pupil matanya berubah. Kini tangannya terangkat dan langsung saja menampar pipi Witma. "Tutup mulutmu, jika kamu masih sayang dengan lidahmu. Jangan sampai aku memotongnya atas ucapanmu yang lancang itu." Reka yang kesal meninju lengan Witma. "Dasar wanita mandul!"
*
*
Pada malam harinya Witma sama sekali tidak bisa memejamkan matanya, karena Reka sampai sekarang tidak kunjung pulang. "Kenapa Mas Reka belum pulang juga?" Witma bertanya pada dirinya sendiri sambil mondar mandir di kamar. "Ya Allah, ini sudah hampir subuh." Witma merasa cemas karena ia juga beberapa kali menghubungi nomor ponsel Reka tapi tidak aktif. "Kemana perginya Mas Reka?" Witma terus saja menghubungi nomor Reka meskipun ia tahu nomor itu tidak aktif. "Ya Allah, lindungilah Mas Reka dimanapun dia berada." Rasa bersalah menusuk ke relung hati Witma. "Apakah Mas Reka marah kepadaku? Sampai dia tidak pulang."
Witma mendengar suara deru motor matic, ia mengira itu adalah Reka. Dengan cepat ia membuka sedikit gorden supaya bisa mengintip. Tapi sayang itu bukan Reka melainkan Badrun yang ingin pergi ke masjid untuk mengumandangkan Azan subuh. "Bukan Mas Reka," kata Witma. Ia kini kembali menutup gorden. "Mas, pulanglah. Aku saat ini sangat mengkhawatirkanmu."
Sebenarnya mata Witma terasa sangat berat sekali namun ia berusaha untuk tetap terjaga, ia berharap Reka pulang karena ia ingin meminta maaf atas apa yang telah ia katakan. "Mulutku ini terlalu lancang, sehingga membuat Mas Reka marah dan tidak mau pulang malam ini," gumam Witma pelan.
Tidak lama ponsel Witma bergetar menandakan ada pesan yang masuk. Witma tersenyum karena ia yakin itu pesan dari Reka. Tapi saat dirinya membuka pesan itu seketika senyumnya yang tadi terukir manis di bibirnya berubah secepat kilat. "Tidak mungkin ini Mas Reka," kata Witma menggeleng-gelengkan kepalanya. "Iya, ini pasti bukan Mas Reka." Sebenarnya perasaan Witma sudah tidak menentu saat melihat sebuah foto dimana Reka sedang tertidur pulas bertelanjang dada sambil memeluk seorang wanita yang wajahnya saja tidak terlihat terlalu jelas.
Satu notif masuk lagi ke ponsel Witma. 'Jika kamu ingin mengetahui kebenaranya, maka datanglah ke alamat ini. Jalan cempaka dengan nomor kamar 304.'
Witma yang penasaran langsung saja menelpon nomor yang mengirimkan dirinya pesan tadi, tapi sama saja nomor itu sudah tidak aktif. "Tidak ada pilihan lain, aku harus pergi ke alamat ini." Witma bergegas ingin ke alamat itu. "Tapi tunggu dulu, jangan-jangan ini hanya orang iseng yang sengaja mengirimkanku pesan." Witma terlihat sedang berpikir. "Jika ini pekerjaan orang iseng, untuk apa dia melakukan ini semua." Witma semakin terlihat kebingungan.
Beberapa saat Witma terdiam, ia merasa ingin pergi tapi benaknya masih ragu untuk mempercayai foto itu. Tapi pada akhirnya Witma memutuskan untuk tetap pergi. "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi, untuk membuktikan kebenarannya."
Baru saja Witma akan memegang gagang pintu, suara poselnya malah berdiring menandakan ada yang menelponnya. ia tanpa berpikir panjang menggeser tombol hijau.
"Ah, rasanya nikmat sekali. Ayolah sayang lebih cepat lagi." Suara Reka terdengar di sebarang sana. "Sayang kamu begitu hebat, beda halnya dengan wanita mandul itu."
Witma yang kaget mendengar itu semua melempar ponselnya hingga hancur, pikirannya kini semkain tidak karuan. "Suara Mas Reka, dan suara desa@han seorang wanita." Sudut mata Witma berair. "Aku harus cepat kesana."
Bersamsung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Andi Fitri
ntar klu raka sdh tau yg mandul siapa menyesal tingkat dewa loe
2023-11-07
1
Saras Wati
menyakitkan bener author😓😭😭
2022-11-30
2