SESUDAH DIBACA, USAHAKAN LIKE DAN KOMEN.🤗🌹
Kebetulan Badrun ingin mengambil air minum yang ketinggalan di meja dapur, tidak sengaja ia melihat pintu kamar Witma sedikit terbuka. Ia juga mendengar suara Reka yang tertawa tidak seperti biasanya sehingga ia memutuskan untuk sedikit mendekat dan mengintip.
Setelah mengintip Badrun begitu terkejut di saat melihat Reka mencekik leher Witma dengan sangat kencang, Badrun yang takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan suara melengking berteriak di ambang pintu. "Reka!! Apa yang kamu lakukan?"
Reka langsung melepas cekikannya, ia kemudian sedikit menyunggingkan senyum simpul. "Bapak, Reka sama Witma sedang bercanda. Iya 'kan. Sayang?" Mata Reka melotot ke arah Witma yang sedang memegang leher.
"I-iya," jawab Witma gugup.
"Jangan berbohong Reka, lihat leher istri mu sampai merah begitu." Badrun menunjuk leher Witma. "Itu bukan bercanda Reka, apa jangan-jangan kamu mau membunuh istrimu?" Tebakan Badrun sama sekali tidak meleset. "Kenapa diam jawab Bapak, Reka?"
"Bapak apa-apaan sih, kita cuma bercanda. Jangan berlebihan begitu," kilah Reka. "Ayo, sayang, kita pergi kerumah Ibu," ajak Reka yang membantu Witma untuk berdiri.
"Jika kamu sudah tidak cinta dan sayang kepada Witma, pulangkan saja dia dengan baik-baik," kata Badrun.
"Witma nggak apa-apa kok, Pak. Benar apa kata Mas Reka, kalau kita tadi cuma bercanda." Witma memaksakan bibirnya untuk tersenyum, supaya Badrun percaya.
"Tuh, Bapak dengar sendiri 'kan." Reka kemudian melingkarkan tangan di pinggang Witma. "Jangan didengar ucapan Bapak. Ya, sayang. Karena mau sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mau berpisah dengan mu."
Witma hanya bisa mengangguk, karena rasa sayangnya terhadap Reka begitu besar lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.
"Baiklah, Bapak harap ini kejadian yang pertama dan terakhir. Kamu jangan pernah mengulanginya lagi Reka, karena itu termasuk perbuatan KDRT." Badrun tahu kalau saat ini Witma hanya berpura-pura tersenyum. "Witma, olesi lehermu dengan salep yang ada di kotak P3K, supaya bekasnya memudar. Bapak tidak mau Ibu kamu melihat bekas cekikan Reka."
"Tidak usah Pak, Witma akan menutupnya pakai syal," jawab Witma yang mendapat cubitan kecil dari Reka.
"Kalau begitu Bapak mau pergi ke sawah dulu," pamit Badrun. "Kalian hati-hati di jalan, kamu Reka bawa motor jangan ngebut-ngebut." Pak Badrun selalu memperingati Reka, jika akan pergi menggunakan motor metiknya.
"Apa bensin sudah full?" Seperti biasa Reka akan menanyakan bensin full atau tidak. Supaya ia tidak perlu mengisinya lagi.
"Bapak kemarin lupa isi, kamu saja yang beli ke POM." Badrun memberikan Reka satu lembar uang. "Beli pakai uang Bapak saja, kamu jangan bilang-bilang sama Ibu." Badrun pergi setelah mengatakan itu.
Reka memiringkan kepalanya untuk memastikan Badrun sudah benar-benar pergi. Setelah mendengar suara pintu tertutup Reka mendorong Witma lagi. "Ini uang buat ongkos ojek, kalau pulang nanti mita ongkos ke Ibumu."
Witma mengambil uang lima ribuan yang Reka berikan. "Kurang Mas, ongkos ke rumah ibu dua puluh ribu."
"Sudah kukatakan! Minta sama Ibumu. Aku tidak punya uang lagi." Reka menyambar jaket yang ada di atas ranjang. "Langsung pulang, tidak usah menginap. Oke!"
Witma diam, karena ia tadi melihat di saku celana Reka ada beberapa lembar uang yang berwarna merah.
"Aku pulang larut malam, kamu seperti biasa tunggu aku pulang baru tidur." Reka selalu berpesan kepada Witma seperti ini setiap akan bepergian.
"Baik Mas." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Witma.
*
*
Terik matahari yang begitu menyengat membuat Witma beberapa kali mengusap keringatnya. "Tinggal satu pengkolan, aku akan sampai ke rumah Ibu," ucap Witma. Yang memutuskan untuk berjalan ke rumah ibunya karena uang yang diberikan Reka tidak cukup. Ditambah ia juga tidak mau meminta uang kepada ibunya yang juga hidupnya pas-pasan.
Witma yang berjalan sambil melamun, hampir saja di serepet oleh sepeda motor. Ia yang kaget spontan mengucapkan dua kalimat syahadat. "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah." Sambil memegang dadanya yang terasa jantungnya berdetak begitu kencang.
"Witma, kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki yang hampir saja menyerempet Witma tadi.
Witma yang sepertinya mengenal laki-laki itu dengan cepat memalingkan pandangan. "Maaf, Kak Arash, aku berjalan terlalu ke tengah." Witma malah meminta maaf padahal tadi ia hampir saja di serepet.
"Tidak apa-apa, bukankah kamu mau kerumah Ibu? Sekalian saja aku antar," tawar Arash.
Arash anak kepala desa, yang ternyata adalah mantan Witma. Arash peninggalan Witma dengan status mereka masih berpacaran karena ia harus menyelesaikan kuliahnya. Namun, kenyataan pahit harus Arash terima setelah beberapa tahun ia di luar Negri ia malah mendapat kabar dari kedua orang tuanya kalau Witma sudah menikah dengan laki-laki lain. Padahal Arash sudah berjanji akan menikahi Witma ketika Witma sudah tamat SMA, ia juga berjanji akan membiayai Witma kuliah kalau mereka sudah menikah. Tapi sayang keinginan itu harus Arash kubur dalam-dalam karena semesta sepertinya tidak merestui hubungan mereka.
"Tidak usah, kak." Witma tidak berani menatap bola mata Arash laki-laki baik yang telah ia khianati itu. "Witma, jalan dulu kalau begitu. Permisi kak."
Arash memegang tangan Witma, wanita yang telah ia damba-dambakan menolak banyak wanita cantik dan sexsi hanya demi seorang Witma gadis yang masih seumuran dengan adiknya itu. "Biar aku antar, sekalian aku ingin mengantar surat undangan pengajian ke rumah Ibu." Jujur sampai sekarang Arash tidak bisa melupakan sosok Witma yang telah berhasil memporak porandakan hatinya.
"Kak, tolong singkirkan tangan kakak, malu dilihat orang. Witma juga sekarang sudah menjadi istri orang," ucap Witma takut-takut.
"Astagfirullahaladzim." Arash mundur beberapa langkah, setelah melepas cengkramannya dari tangan Witma. "Maaf, kakak tidak sengaja."
"Kakak bisa langsung pergi kerumah Ibu, biar nanti Witma menyusul belakangan," ujar Witma.
Arash malah menatap penampilan Witma yang sudah berubah, tidak memakai jilbab lagi. Lalu ia bertanya, "Apakah jilbab menghalangi kecantikanmu?"
Witma menggeleng, mana mungkin ia mengatakan kalau Reka tidak suka melihatnya memakai jilbab. "Bukan begitu kak, Witma cuma gerah menggunakan jilbab." Witma terpaksa berbohong.
"Gerahmu di dunia, tidak sebanding dengan panasnya kobaran api neraka." Arash merasa Witma sedang menyembunyikan sesuatu karena ia tidak sengaja melihat tanda kemerahan di leher Witma.
"Witma duluan kak, Assalamu'alaikum." Witma tidak mau membuat Reka cemburu, karena ia tahu mata-mata Reka ada di mana-mana.
"Witma!!" teriak Reka dari atas motor metiknya.
Witma menoleh. "Mas Reka," gumamnya lirih. Ia tahu Reka pasti akan menghukumnya.
"Pulang cepat!" Terlihat mata Reka sudah merah menyala. "Wanita gatal!" pekiknya yang bisa didengar oleh Arash.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Andi Fitri
witwa jilbab wajib seharusnya yg di perintahkan suami mu itu jgn di ikuti cinta sich cinta tpi itu sdh ga bener..
2023-11-07
2
Sumarni Al Fa
terbuat dari apa harimau , sampai di perlakuan bagiti dengan suami cuma diam, kaya saya, wajah sih ya walau ga witma
2023-01-13
1
teti kurniawati
sudah saya tambahkan ke favorit ya😊
2022-12-23
2