Setiba di rumah, Reka tanpa aba-aba langsung saja menampar pipi mulus Witma hingga tanda merah jelas terlihat di sana. "Wanita murahan! Sudah punya suami tapi masih saja ingin menggoda laki-laki lain!" suara Reka menggema di ruang tamu itu. "Kurang apa aku selama ini, hah?" Reka menjambak rambut Witma.
Witma menggeleng, sambil memegang pipinya yang terasa sangat panas bekas tamparan Reka. Tangannya yang sebelah kiri memegang tangan Reka. "Mas, kamu salah paham, tadi itu aku tidak sengaja bertemu dengan kak Arash." Witma akan menjelaskan supaya Reka tidak salah paham. "Percaya sama aku, Mas." Witma tahu saat ini Reka sedang cemburu. "Mana mungkin aku akan mengkhianatimu di belakang, bukankah Mas sudah tau sendiri. kalau hati ini hanya untukmu seorang." Witma tetap bicara lemah lembut, meski Reka masih saja betah menjambak rambutnya.
"Aku tidak bodoh! Mana mungkin kebetulan. Jangan-jangan kalian sudah janjian. Iya, kan?" tanya Reka yang tidak mudah percaya begitu saja dengan apa yang Witma katakan.
"Demi Allah, Aku tidak berbohong Mas." Witma mencoba melepas tangan Reka dari rambutnya.
"Sekali lagi aku melihatmu, berduaan seperti yang tadi! Aku tidak akan segan-segan mengurungmu di rumah ini, dan jangan berharap kalau aku akan membiarkanmu pergi ke rumah ibumu lagi, paham?"
Witma mengangguk dengan cepat, karena ia takut Reka akan semakin marah. Ia kemudian berkata, "Kita duduk dulu Mas, supaya rasa amarah di hati mu menjadi sedikit berkurang."
Reka melepas jambakannya pada rambut Witma. Kemudian menatap intens Witma dari atas sampai bawah, senyum smirk tiba-tiba saja terukir jelas di bibirnya. "Sudah mandul, banyak tingkah. Dasar murahan!"
Suara Reka bagaikan belati yang menusuk-nusuk relung hati Witma, ia tidak menyangka Reka akan berkata demikian, air matanya yang dari tadi ia tahan akhirnya tumpah membasahi kedua pipi mulusnya. "Aku tidak mandul Mas," lirih Witma. "Hanya saja Allah, belum memberi kita kepercayaan. Disinilah kita harus menempatkan satu kata yaitu kata sabar," sambung Witma.
"Pembelaan yang terus saja keluar dari mulutmu! Bukan hanya sekali tapi berulang-ulang kali. Gendang telinga ku sampai sakit mendengarnya," desis Reka.
"Tugas kita terus berdoa, tawakal, dan berusaha. Selebihnya kita serahkan kepada yang diatas," kata Witma yang selalu saja mengingatkan Reka. Meskipun Reka terlihat bodoh amat, tentang apa yang Witma ucapkan. "Bukankah Allah lebih tahu, jalan hidup kita seperti apa nanti. Maka dari itu kita jangan pernah mendahului takdirnya." Witma meraih tangan Reka. "Percayalah, Allah tidak akan menguji hambanya sesuai batas kemampuannya."
"Eleh, ceramah di masjid jangan di sini!" Reka menepis tangan Witma. "Sok alim, padahal mulutmu selalu di gunakan untuk melawan suami!" cetus Reka.
*
*
Setelah selesai sholat isya dan mengaji, Witma berniat ingin merebahkan tubuhnya, tapi tiba-tiba saja ia mendengar suara Endang yang memanggilnya dari arah ruang tamu, dengan buru-buru Witma keluar. Ia ingin tahu kenapa ibu mertuanya itu tumben memanggilnya dengan suara lemah lembut.
"Nak, Witma kesini cepetan!" seru Endang
"Iya, Bu. Tunggu dulu, Witma sebentar lagi keluar," sahut Witma yang sedang memakai pakaiannya, karena yang tadi ia hanya memakai dalaman saja.
"Witma," panggil Endang sekali lagi.
Witma keluar dengan wajah ceria, begitupun bibirnya yang terukir senyum manis. "Iya, Bu, ini Witma sudah keluar. Ada apa?" tanya Witma ketika sudah menghampiri Endang.
"Sini, kenalan dulu sama calon istri Reka." Suara Endang memang lemah lembut, tapi mampu membuat jantung Witma hampir saja berhenti berdetak. "Kenapa diam, sini dulu, Nak."
Senyum yang tadi terukir indah, kini sudah tidak terlihat lagi di bibir ranum Witma. Setelah melihat wanita yang begitu seksi duduk di dekat Endang. "Bu, apa maksud semua ini. Kenapa Ibu memperkenalkan wanita ini sebagai calon istri Mas Reka?" Witma duduk di sebelah Endang, ia tidak mungkin terus saja berdiri di saat tungkai kakinya terasa lemas. "Bu, tolong jawab Witma." Suara Witma bergetar.
Bukannya menjawab, Edang malah mengajak wanita yang jauh lebih tua dari Witma itu berbicara. "Lisa, kenalin ini istri Reka yang … ." Endang sengaja menjeda kalimatnya, sebelum melanjutkannya. "Maaf dia istri Reka yang mandul itu," bisiknya pelan.
Witma yang mendengar itu, memegang dadanya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Ia tidak menyangka ternyata ucapan Bu Endang pagi tadi tidak main-main. "Bu, Witma tidak akan pernah membiarkan Mas Reka menikah lagi." Witma berusaha berdiri, meski kakinya masih terasa lemas. "Assalamualaikum, Witma tidur dulu," pamit Witma.
Lisa dan Endang sama-sama melongo, setelah Witma pergi dari sana. Sampai-sampai mereka tidak menjawab salam Witma.
*
*
Tepat jam 12 malam, Reka pulang dengan wajah yang begitu berseri-seri. Ia juga tidak sempoyongan seperti biasa, sehingga Witma yang melihat itu menjadi senang. "Mas, kamu sudah makan?" tanya Witma langsung. Saat Reka duduk di sebelahnya.
"Sudah, ini sisa makanan ku yang tadi, aku bungkus. Sayang dibuang." Reka memberikan Witma satu kantong kresek yang berwarna hitam. "Ayo, ambil."
Tangan Witma terulur dan mengambil kresek itu. "Dapat uang dari mana? Bisa beli makanan sebanyak ini?" tanya Witma yang ingin memastikan apakah makanan yang Reka bawa itu dibeli dengan uang halal. Karena selama ini Witma tau Reka akan memiliki uang bila menang main judi.
"Makanlah, ini uang halal. Hasil kerja lemburku malam ini," ucap Reka berbohong. "Jika kamu masih meragukan suamimu ini, jangan dimakan, kasih saja Agung dan Sera yang masih nonton Tv di luar."
Witma terdiam, ia merasa aneh. Kenapa nada suara Reka terdengar berbeda yang biasanya selalu marah-marah kini berbanding terbalik. "Kerja apa, kalau Witma boleh tau?" Witma bertanya was-was, takut Reka kembali ke setelan pabrik. "Nanti dulu dijawab, aku mau kasih ini dulu ke mereka. Kebetulan aku sudah sangat kenyang." Witma berkata jujur.
Reka yang merasa gerah membuka bajunya. "Terserah kamu saja, yang penting aku sudah berusaha menjadi suami yang baik," kata Reka yang merebahkan tubuhnya. "Di saku bajuku yang tadi, ada uang. Kamu kasih ibu semuanya besok pagi, itung-itung uang itu bayar terima kasih kita karena ibu menampung kita tinggal dirumah ini."
"Mas … ." Witma yang mengingat kejadian tadi langsung saja memanggil Reka, ia ingin memberi tahu Reka perihal apa yang telah terjadi.
"Hmm," jawab Reka singkat. Karena ia sudah tau apa yang akan Witma katakan.
"Ibu tadi membawa wanita ke si—"
"Aku sudah tau, kamu nggak usah ambil hati, ambil saja batu, habis itu lempar tuh wanita biar tau rasa," potong Reka cepat. "Lain kali, kalau ibu bawa wanita lain, siapkan pisau," sambung Reka.
Witma tidak henti-hentinya beristighfar, di dalam hatinya. Ia tidak menyangka Reka akan mengatakan itu. "Mas, dari mana kamu tahu?"
"Lisa …," jawab seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments