Bertulang Baja Sejak Kecil

...>>> Happy Reading <<<<...

Senandung suara adzan subuh berkumandang, pertanda matahari akan menyambut pagi dengan riang. Dengan alarm alaminya, Aini membuka mata dari terbenamnya dunia. Sambil mengusap mata seakan mengembalikan nyawa yang hampir lepas dari raga. Merajut kembali pandangan yang memudar, menyambut nyawa yang mulai kembali dengan senyuman.

Tubuh mulai berdiri tegak sambil meraih gayung tempat di mana Aini menyimpan peralatan mandinya. Ketika tepat berada di depan pintu kamar mandi, Aini merasa bimbang. Mengadu pikiran dengan keadaan, menaruhkan mandi dan tidak. Karena udara pagi yang begitu dingin hingga menusuk-nusuk tulang, yang akhirnya Aini mengurungkan niatnya untuk mandi pagi.

"Dah, yakin aku tidak mandi pagi kali ini," hatinya angkat bicara.

Dengan memberanikan diri Aini melewati pintu kamar mandi yang berada tepat di hadapannya,

"Wow," Aini kaget dengan hawa dingin yang melebihi dinginnya sebelum melewati pintu kamar mandi itu.

Baru beberapa menit setelah menginjakkan kaki di dalam kamar mandi berukuran 2x3 meter itu, Aini sudah setengah menggigil. Padahal dia baru hanya mengusap wajahnya dengan satu kali usapan.

Demi cintanya pada Tuhan,

"Air dingin hanyalah air dingin yang tidak sepatutnya ditakuti," menguatkan niatnya untuk mengambil air wudhu.

Namun siapa sangka, kata-kata yang barusan Aini katakan...

"Eeeeeemm,"

"Apa hayoo?"

Ternyata untaian kata yang terucap hanyalah untuk menguatkan niatnya dalam menjalankan kewajiban serta kebutuhannya yaitu madep mantep marang Gusti yang artinya "Menghadap dengan keyakinan terhadap Tuhan."

Usai berdialog dengan Tuhannya, Aini mencoba keluar rumah untuk menikmati udara pagi yang memang begitu asri. Bolak-balik dia menarik ulur hembusan di hidung istimewanya.

"Hmmmmmm," hembusan nafasnya terlihat begitu dinikmati, dan sesekali dia mengucapkan,

"Alhamdulillah, masih diberikan nikmat terbesar di dunia ini."

Selain orang tuanya, nikmat terbesar menurut Aini adalah diberikannya kenikmatan sehat lahir dan batin. Sehingga dalam menjalankan aktivitas yang begitu padatnya juga terasa baik-baik saja, meskipun lelah pasti ada.

Bukan Aini namanya kalau hanya diam di rumah, sejak usia SD dia sudah mulai aktif menjalankan aktivitas layaknya orang dewasa dan meninggalkan permainan masa kecilnya.

Wajar saja, Aini hanyalah gadis desa; yang mana sekali minta tidak selalu langsung ada. Adakalanya menunggu masa niat orang tua mengabulkan, adakalanya belajar melupakan apa yang diminta; karena ya entah orang tuanya lupa, sengaja dilupakan, atau bahkan orang tuanya mengganggap kalau dirinya sudah lupa atas permintaan yang diajukan, atau juga memang dananya selalu mengalir untuk kebutuhan yang lain.

Aini sejak masuk kelas empat Madrasah Ibtidaiyah atau lebih singkatnya MI, sudah mulai mengikuti giat bekerja di toko kecil tetangga depan rumahnya.

Aini mulai melakukan aktivitas bekerja itu setelah dia pulang sekolah, tidak ada tidur siang dalam masa kecilnya.

Bermain dengan teman sebayanya diminimalisir.

"Dia tidak malu melakukan pekerjaan itu?"

Buat apa malu, justru dia sering dipuji banyak orang orang. Masih kecil udah pinter gini, udah pinter gitu.

Akan tetapi dia sendiri aja tidak pernah berpikir bahwa itu suatu pekerjaan, yang dia tahu hanyalah; saat membantu tetangganya dagang atau hanya sekadar membantu buat pengemasan jajan seperti halnya; kripik pisang, jagung goreng, kacang goreng, dan sebangsanya pasti selalu dikasih uang. Ketika itu paling sehari dapat 2-3 ribu rupiah, kadang juga tidak langsung dikasih dalam sehari itu. Paling ya 3 hari gitu baru dikasih uang 1 lembar berwarna ungu.

Bukan hanya pengemasan, terkadang dia juga membantu dalam penggorengan jajanan yang sudah saya sebut tadi. Nah, yang lebih uniknya lagi; pada kisaran kelas 5-6 dia sudah bisa melepaskan kelapa dari tengkorak atau kulit kerasnya.

Mulai dari terjun di dunia pekerjaan; Aini bisa menabung untuk dirinya sendiri, uang yang didapatkan dari jerih payahnya sendiri. Tanpa harus merengek, pura-pura nangis sampai menangis beneran demi uang 500 rupiah.

Ya, keluarga Aini pada masa itu hanyalah orang biasa yang ekonominya masih terbilang sangat minim. Serumah dihuni 7 orang yang semua itu makan nasi dan butuh lauk, sedangkan yang bekerja hanya 1 orang; bapak sahaja. Kala itu Masih gemar dibuat bahan omongan tetangga dan kurang pekanya pada usia 17 masuk 18 tahun dia baru tahu akan hal itu.

Ekonomi yang mulai berada di tengah, di waktu senggang, hanyalah seorang ibu dan Aini semata; tiba-tiba Ibu Aini curhat perihal keuangan.

"Sekarang sudah terbilang ekonomi lumayan, tidak begitu parah dibandingkan beberapa tahun lalu,"

Aini merasa penasaran, sehingga dengan leluasa mendekatkan diri lebih dekat di depan mulut ibunya sambil menjulurkan telinganya sampai hanya berjarak satu jengkal, dia pun bertanya,

"Bagaimana lho, Bu?"

Si ibu menjawab dengan penuh renungan,"Dulu tetangga sebelah itu ke sini mau pinjam uang 5.000 rupiah buat ngasih uang saku anaknya yang mau sekolah. Sedangkan di dompet nggak ada uang sama sekali, sehingga tetangga memutuskan buat menurunkan nominal yang akan dipinjam menjadi 2.000 rupiah."

"Hmmmm," sejenak ibu menghela nafas.

Kemudian ibu Aini melanjutkan curhatannya,"Ya aku bilang nggak ada. Batinku,"Jangankan 2.000, 500 rupiah saja tidak ada."

Tapi tetangga tidak percaya akan hal itu dan bilang ke orang-orang bahwasannya Ibu itu pelit, dipinjami uang 5.000 sampai turun ke 2.000 saja tidak dibolehin."

"Nah, miris nggak dibilang seperti itu? mengiris hati rasanya. Padahal di dompet benar-benar tidak ada uang sepersen pun, kalau ada ya pasti aku kasihkan."

Seketika Aini menahan tangis, tidak mungkin dia tiba-tiba menumpahkan air mata di hadapan ibu tercintanya.

Aini cukup menyadari, bahwa tingkah lakunya dahulu telah menambah beban pikir orang tuanya. Keegoisan dalam meminta sesuatu, telah memeras tenaga orang tua lebih dalam.

"Oh ternyata selama ini perlakuan orang tuaku?" hatinya ikut teriris mendengar curhatan dari surganya.

Mengingat kembali masa di mana seorang Aini selalu membantah perkataan orang tuanya, jika keegoisannya naik yang bergerak adalah tangan bergantian; entah dari seorang bapak ataupun ibunya yang memang sudah panas, bahkan sangat panas dalam mengahadapi sikap Aini.

Lagi-lagi dia bilang terhadap dirinya sendiri,"Ternyata aku telah membuat keadaan menjadi lebih tidak baik-baik saja dalam masa itu."

Hal yang lebih disesali yaitu kenapa diusia yang sudah terbilang bisa menjaga sikap dan tutur kata, Aini baru tahu akan kejadian itu. Kenapa tidak kemarin-kemarin saja, agar Aini bisa belajar menahan nafsunya dalam meminta a, b, c dan kawan-kawannya.

Sesal saja percuma, Aini pun bangga dengan surganya yang begitu sempurna. Berjalan di atas duri-duri tajam, namun masih bisa berdiri dengan begitu gagah.

Sekarang, ada beberapa poin menjadi tanda tanya besar dalam hati Aini;

"Apakah menjadi orang yang terbilang biasa saja dengan ekonomi sederhana tidak pantas diperlakukan dengan bijaksana?"

"Apakah menjadi orang ditingkat terbawah tidak bisa naik ke level teratas?"

"Bukankah bumi selalu berputar? bukankah keadaan bisa berubah-ubah dalam waktu sekejap mata hanya dengan kunfayakun-Nya?"

Manusia memang hanya bisa menduga-duga, yang tahu pasti akan keadaan manusia sebenarnya hanyalah Tuhan semata.

>>>Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!