part 4

Suzanne tersenyum melihat Selena yang mulai bekerja sebagai dayang pribadinya, tentu saja, ia tidak menggantikan Doreen, ia hanya menambahkan Selena sebagai teman untuk Doreen.

Awalnya tentu saja Selena terkejut, ia tidak menyangka nona yang ia tabrak ternyata satu-satunya putri di kekaisaran, dan ia juga sangat terkejut ketika Suzanne menawarinya untuk menjadi dayang pribadinya.

Namun, dibandingkan Selena, Suzanne bahkan lebih terkejut lagi saat tahu bahwa usia Selena ternyata sudah menginjak usia ke lima belas.

"Wah, adikku sangat baik ternyata," ucap Oliver saat Suzanne menceritakan kronologi ia yang tiba-tiba merekrut dayang baru saat makan malam.

"Tapi bagaimanapun juga, bangsawan-bangsawan yang kamu tolak pasti akan sangat kesal," ucap Kaisar Taylor.

Ah, benar juga, akhir-akhir ini banyak bangsawan yang melamar posisi dayang pribadi untuk putri mereka. Tentu saja, aku menolak karena kupikir aku tidak butuh dayang tambahan, batin Suzanne.

"Ya, walaupun mereka kesal, tapi memangnya mereka bisa apa, tidak ada yang bisa menentang keputusan tuan putri, kecuali kaisar dan putra mahkota," balas Suzanne sombong.

"Wah, berarti aku tidak bisa menentang keputusan kakak?" tanya Lucian.

"Tentu saja tidak, kamu adikku," jawab Suzanne enteng.

"Putriku sungguh tahu posisinya ternyata," puji Kaisar Taylor.

Suzanne tersenyum bangga.

"Omong-omong, sebulan lagi Anne ulang tahun, apa ayah sudah mempersiapkan pestanya?" tanya Oliver.

"Sebulan lagi aku ulang tahun? Oh, aku tidak tahu itu," ucap Suzanne sedikit bingung.

Kaisar Taylor, Oliver dan Lucian hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Suzanne. Sebelum kehilangan ingatannya, Suzanne selalu menjadi orang yang paling berantusias saat ada pesta, entah itu pesta ulang tahun, pesta kemenangan, pesta pelantikan atau bahkan pesta peringatan berdirinya kekaisaran.

Suzanne akan menyarankan semua dekorasi-dekorasinya dan membantu para pekerja istana untuk mempersiapkan pesta meski usianya masih sangat kecil. Biasanya, ratu akan menemani Suzanne yang terus-terusan berkeliling tanpa lelah.

Tahun ini adalah tahun pertama Suzanne akan merayakan ulang tahun tanpa sang ibu, dan juga tanpa ingatannya.

"Anne ..."

"Bisakah, kita membuat pesta dalam skala yang kecil saja? Aku masih kurang nyaman dengan para bangsawan. Bagaimana jika pesta kita berempat saja? Piknik di taman atau berburu di hutan, atau berlibur ke Villa?" sambar Suzanne memotong perkataan Oliver.

Kaisar Taylor dan kedua putranya terdiam, menatap Suzanne dengan tatapan yang sulit di jelaskan, membuat wajah Suzanne berubah murung.

"Ah, kurasa tidak bisa. Baiklah, terserah kalian saja, aku tinggal mengikutinya saja," ucap Suzanne pelan.

"Ah, tidak. Kita akan melakukannya."

Suzanne menatap ayahnya yang baru saja berbicara.

"Melakukan apa?" tanya Suzanne.

"Piknik dan berburu," jawab Kaisar Taylor.

"Benarkah? Bisa?" tanya Suzanne penuh semangat.

"Tentu saja bisa, tidak ada yang tidak bisa untuk putri ayah," jawab Kaisar Taylor.

"Oke, deal. Terima kasih, Papa," seru Suzanne senang.

Suzanne bangkit dari kursinya lalu berlari memeluk sang ayah.

"Anne sayang papa," Suzanne mengecup pipi sang ayah sebelum berlari keluar ruang makan.

"Hei, itu tidak adil!" seru Oliver dan Lucian kesal.

"Kali ini ayah pemenangnya," ucap Kaisar Taylor sombong.

Ayah sialan!

*

"Mama, Papa, aku pulang," Hye-rin kecil memasuki apartemennya dengan riang.

Lee Ga-eun, teman Hye-rin mengerutkan keningnya saat menyadari bahwa apartemen temannya itu terlihat sangat berantakan.

"Hei, bukankah harusnya ada orang di sini?" tanya Ga-eun.

"Ya, hari ini mama dan papa tidak bekerja, jadi harusnya mereka di rumah," jawab Hye-rin.

Ga-eun menatap Hye-rin dengan tatapan bingung, tapi Hye-rin hanya mengabaikannya dan langsung menuju kamar orang tuanya yang berada tepat di ujung lorong.

Saat Ga-eun dan Hye-rin sampai di depan kamar orang tuan Hye-rin, keduanya terdiam melihat orang tua Hye-rin yang terbaring di lantai dengan bersimbah darah.

Hye-rin terduduk lemas, sementara Ga-eun segera meraih telepon rumah dan menghubungi nomor darurat.

"Hallo, namaku Lee Ga-eun, aku sedang berada di apartemen temanku di xxx, orang tua temanku terluka, mereka terbaring di lantai yang penuh darah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi apartemennya sangat berantakan, sepertinya baru ada perampok atau semacamnya, tolong kirimkan seseorang ke sini,"

"Hei, tenang dulu, apa temanmu sekarang bersamamu?"

"Ya, dia sedang menangis saat ini, sepertinya dia bahkan tidak bisa berdiri,"

"Apakah para perampoknya sudah pergi?"

"Aku tidak tahu, saat kami pulang sekolah, kami hanya menemukan apartemen yang berantakan dan orang tua temanku yang sudah tergeletak di lantai,"

"Oke, siapa nama temanmu?"

"Kim Hye-rin,"

"Ga-eun, mereka tidak bernafas, apa yang harus kulakukan?" teriak Hye-rin di sela tangisannya.

"Mereka tidak bernafas?" tanya operator.

"Ya, itu yang Hye-rin katakan, kapan bantuannya akan datang?"

"Bantuan sudah di jalan, aku hanya memastikan kamu tetap di telepon sampai bantuan datang, oke. Berapa usia kalian?"

"Sepuluh tahun,"

"Oke, kamu hebat karena langsung menghubungi kami, bagaimana dengan temanmu, apa dia baik-baik saja?"

"Entahlah, dia masih menangis dan mencoba membangunkan orang tuanya, apa mereka sudah meninggal?"

"Hei, tenanglah, paramedis dan polisi sudah ada di depan apartemen, sekarang bisa beri tahu aku, kalian ada di unit nomor berapa?"

"Unit 113,"

"Baiklah, mereka menuju ke unitmu,"

*

Suzanne bangun dengan nafas terengah, ia segera meraih gelas dan meminum airnya sampai habis.

"Tuan putri Anda baik-baik saja?" tanya Selena yang sedang membersihkan kamar Suzanne.

"Ya, hanya mimpi buruk," jawab Suzanne pelan.

"Anda mau minum lagi?" tanya Selena.

"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku," titah Suzanne.

"Baik, Tuan putri,"

*

"Aku sudah siap,"

Kaisar Taylor tersenyum melihat putrinya yang terlihat sangat bersemangat untuk piknik hari ini.

"Tapi Papa, kenapa ada Grand Duke?" tanya Suzanne.

"Kamu tidak mau membawa Doughlass atau pengawal mana pun, jadi Grand Duke harus ikut sebagai pengawal," jawab Kaisar Taylor.

"Ah, baiklah," Suzanne mengangguk paham.

"Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?" celetuk Oliver.

"Baiklah, ayo!"

*

Suzanne berseru senang ketika sampai di tempat piknik yang telah ayahnya siapkan. Tempatnya adalah sebuah padang rumput luas yang terletak di ujung area istana kekaisaran, terdapat bunga-bunga cantik yang tumbuh di sekitarnya, dan itu terlihat sangat cantik.

Suzanne duduk dan merangkai bunga-bunga itu menjadi mahkota bunga, ia kemudian menyerahkan mahkota bunga itu kepada sang ayah dan juga kedua saudaranya.

Suzanne tertawa kecil, "cantik," ucapnya.

"Siapa?" tanya Lucian.

"Tentu saja mahkotanya," jawab Suzanne dengan tawa jahilnya.

Lucian tertawa, ia melepaskan mahkota bunganya lalu memakaikannya pada Suzanne.

"Kakakku sangat cantik," ucap Lucian tulus.

Suzanne tertawa kecil, lihatlah betapa menggemaskannya dia, aku pasti akan membenci diriku sendiri jika aku benar benar membunuhnya nanti, batin Suzanne.

"Lucian, kau sangat menggemaskan," ucap Suzanne sembari mencubit pipi Lucian.

"Ah, sakit, lepaskan," seru Lucian kesal.

Suzanne terdiam ketika ia tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa di dadanya. Tangannya bergerak meremas gaunnya dengan erat, membuat ekspresi keluarganya berubah.

"Anne, ada apa?" tanya Kaisar Taylor cemas.

"Sakit," lirih Suzanne nyaris tak terdengar.

"Sakit? bagian mana yang sakit?" tanya Oliver sama cemasnya dengan sang ayah.

"Kenneth, apa yang kau lakukan, cepat panggil dokter," titah Kaisar Taylor.

Grand Duke Kenneth membungkuk sopan, "baik, Yang mulia," ucapnya sebelum berlari meninggalkan keluarga kerajaan.

"Papa, ini sangat sakit," lirih Suzanne sembari meremas tangan sang ayah.

Apa yang terjadi? Rasanya seperti ada yang meremas jantungku, ini sangat menyakitkan, batin Suzanne.

"kakak, di mana yang sakit? Ayo beritahu kami," Lucian menatap Suzanne cemas.

"Rasanya sangat menyakitkan, jantungku ... rasanya seperti dihancurkan," lirih Suzanne terbata.

"Anne, ayo kembali ke istana, dokter pasti sudah menunggu di sana."

Kaisar Taylor menggendong Suzanne, ia berlari menuju istana, di depan kamar Suzanne sudah ada Grand Duke dan seorang dokter yang menunggu mereka. Kaisar Taylor meletakkan putrinya di kasur dan membiarkan dokter memeriksanya.

Suzanne menggenggam tangan ayahnya dengan erat, ia tidak membiarkan sang ayah menjauh darinya.

"Make it stop," lirih Suzanne tanpa sadar.

Kaisar Taylor membeku, ia baru saja mendengar putrinya menggunakan bahasa dari barat, yang ia sama sekali tidak ingat pernah mengajarkan bahasa itu pada putrinya.

"Aaaahhh!" Suzanne berteriak keras sebelum akhirnya tidak sadarkan diri sepenuhnya.

Lucian bergerak mundur, ingatannya kembali memutar saat-saat terakhir ibunya, ia takut, ia takut kakaknya tidak akan pernah membuka matanya lagi.

"Lucian, hei!" Oliver berjongkok di depan adiknya, mengguncang bahu sang adik, mencoba menariknya dari lamunannya.

"Kak, bagaimana jika Kak Anne tidak membuka matanya lagi?" racau Lucian kalut.

"Hei, Lucian!" Oliver berseru keras, membuat Lucian menatapnya dengan tatapan kalut, "dengar, Ane akan baik-baik saja, dia itu kuat, oke," hibur Oliver.

"Oliver, bawa Lucian keluar," titah Kaisar Taylor.

"Ayah, aku tidak mau meninggalkan kakak," protes Lucian.

"Oliver!"

Oliver mengangguk, ia membopong Lucian keluar tanpa menghiraukan seruan protesnya.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Kaisar Taylor pada sang dokter.

"Malefair," lirih dokter pelan.

"Apa katamu?!" Kaisar Taylor berseru murka.

"Saya sangat menyesal karena harus mengatakan ini, Yang mulia, tapi Tuan putri Suzanne mengidap Malefair," jelas sang dokter dengan suara bergetar.

"Jangan sembarangan! Putriku tidak mungkin terkena kutukan mengerikan itu!" seru Kaisar Taylor murka.

"Yang mulia, di sekitar dada sang putri ada tanda kutukan itu," lirih Dokter.

Kaisar Taylor maju, menatap dada putrinya dengan perasaan kalut, dan benar saja, di sana ada tanda kutukan seperti yang dokter katakan.

Malefair, sebuah penyakit yang tidak pernah diketahui obatnya meskipun sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, orang-orang mulai menyebutnya kutukan sang peri karena pengidapnya akan bersikap sangat bertolak belakang dengan sifat aslinya, seakan-akan seorang peri telah mengutuknya.

Penyakit itu datang dengan sebuah tanda unik yang berada di sekitar dada pengidapnya tanda yang berbentuk seperti sayap peri itu juga salah satu alasan mengapa Malefair di sebut kutukan sang peri.

Malefair sangat menyakitkan, penyakit ini menyerang inti mana penggunanya dan membuat inti mana tidak stabil. Hal ini bisa mengakibatkan inti mana meledak dan menghancurkan pemilik mana itu sendiri. Pengidap penyakit Malefair bertahan paling lama 3 tahun sebelum akhirnya ia melebur bersama mananya.

"Bagaimana bisa putriku mengalami hal segila ini?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!