Suzanne membuka matanya perlahan, ia terkejut ketika melihat Lucian tidur tepat di sebelahnya.
"Astaga, Lucian, kapan dia masuk ke sini?" Suzanne berucap dengan suara lirih, ia tak mau membangunkan adiknya yang tampak sangat lelap.
Suzanne bangkit, ia membuka pintu kamarnya sedikit dan meminta Doreen dan beberapa maid yang sudah berada di depan pintu kamarnya untuk masuk dan membantunya bersiap.
"Jangan berisik, lakukan semuanya dengan tenang, Lucian masih tidur," titah Suzanne.
Doreen dan para maid mengangguk, mereka mulai membantu Suzanne bersiap tanpa menimbulkan suara sekecil apa pun.
"Hari ini Anda akan melakukan apa, Tuan putri?" tanya Doreen.
"Bukankah seharusnya aku ada kelas?" Suzanne bertanya balik.
"Ah, saya sudah membicarakannya dengan Baginda Kaisar, awalnya kami berpikir untuk mengulang kelas etiket Anda, tapi sepertinya etiket Anda masih bagus, mungkin kehilangan ingatan tidak membuat Anda melupakan pelajaran. Jadi kami memutuskan untuk memulai kelas pengetahuan umum untuk Anda, tapi kami belum mendapatkan guru yang cocok untuk Anda, jadi kami masih mempertimbangkannya," jelas Doreen.
"Ah, jadi jadwalku akan kosong kan ya?" tanya Suzanne.
"Benar, Yang mulia," jawab Doreen.
"Kalau begitu aku mau berlatih pedang," ucap Suzanne semangat.
"Baiklah, berlatih ... apa?!" Doreen berseru kaget.
Suzanne mendelik garang, "jangan berisik!"
"Tuan putri, Anda tidak boleh berlatih pedang, Anda bisa terluka," ucap salah satu maid, khawatir.
"Tidak masalah, aku tetap mau berlatih pedang," balas Suzanne kekeh.
"Kenapa harus pedang? Kamu punya kakak, ayah dan juga pengawal yang hebat, jadi kamu tidak perlu berlatih pedang,"
Suzanne menoleh, ia menatap kakaknya yang sedang berdiri bersandar di pintu kamarnya.
"Sejak kapan kakak ada di sana?" tanya Suzanne.
"Sejak kamu bilang kamu mau berlatih pedang," jawab Oliver.
"Sebelum mengomentari keinginanku, sebaiknya kakak belajar mengetuk pintu dulu sebelum masuk ke kamarku," sarkas Suzanne.
Oliver tertawa, "oke, oke, maaf karena asal masuk, tapi kenapa kamu ingin belajar berpedang?
"Aku hanya ingin bisa berpedang, aku ingin menjadi sword master," jawab Suzanne santai.
"Wow, kenapa tiba-tiba mau jadi sword master?" tanya Oliver.
"Kak, aku mau jadi Sword master, itu cukup menjadi alasanku untuk mempelajari pedang," jawab Suzanne jengkel.
"Baiklah, lakukan saja."
Suzanne menatap ayahnya yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.
"Benarkah? Boleh?" tanya Suzanne semangat.
"Ayah!" Oliver berseru protes.
"Oliver, kamu juga memutuskan untuk menjadi sword master, ayah bahkan tidak akan melarang ketika Lucian memutuskan untuk belajar sihir, jadi jangan membatasi keinginan Suzanne," ucap Kaisar Taylor bijak.
Suzanne tersenyum senang, "kalau begitu aku mau Grand Duke,"
"Hah?!" seisi ruangan berseru kaget.
"Yag mulia, apa maksud Anda, Grand Duke sudah terlalu tua untuk Anda!" seru Doreen heboh.
"Dayangmu benar, Grand Duke sudah terlalu tua untukmu, apa tidak ada pria lain yang kau inginkan? Ah, tidak, sebaiknya kamu tidak usah menikah," Oliver mengoceh sendiri.
"Kalian ini bicara apa? Aku mau Grand Duke sebagai guru berpedangku, bukan sebagai kekasih atau sebagainya," ucap Suzanne kesal.
Oliver dan Kaisar Taylor menghela nafas lega, "astaga, kamu membuat kami terkejut," ucap keduanya kompak.
"Jadi gimana? Bisa kan?" tanya Suzanne.
"Tentu saja, apa pun untuk putriku," jawab Kaisar Taylor.
Suzanne berlari memeluk Kaisar Taylor, "terima kasih, Papa,"
Kaisar Taylor membalas pelukan putrinya, "sama-sama, Sayang,"
Oliver berdehem, "kamu tidak mau memeluk kakak?"
Suzanne melepas pelukan Kaisar Taylor lalu beralih memeluk Oliver. Oliver membalas pelukan Suzanne dengan senang, sementara Kaisar Taylor melirik putranya itu dengan tatapan mematikan.
"Ah, kakak, kenapa tidak membangunkanku?"
Suzanne melepas pelukan oliver, ia langsung mendekati Lucian yang baru saja bangun.
"Apa suara kakak membangunkanmu?" tanya Suzanne.
"Tidak," jawab Lucian pelan.
"Lucian, apa yang kau lakukan di kamar Anne?" tanya Oliver.
Lucian mengucek matanya, "semalam aku mimpi buruk, jadi aku ke kamar kakak dan tidur di sebelahnya. Tadinya aku mau membangunkan kakak, tapi kakak terlihat lelah, jadi aku langsung tidur saja," jelas Lucian.
"Sudahlah, kalian berdua kembali bekerja sana, Papa juga jangan lupa beri tahu Grand Duke soal latihanku, lalu Doreen, panggil pelayan pangeran Lucian agar mereka bisa membantunya mandi," titah Suzanne.
"Baiklah, kami kembali dulu, nanti kita bertemu lagi saat makan malam," Oliver mengecup dahi Suzanne sebelum meninggalkan kamar Suzanne.
"Papa akan segera mengabari Kenneth setelah ini, sampai jumpa saat makan malam,"
*
Sebulan sudah berlalu sejak Suzanne mulai berlatih pedang, kesehariannya mulai kembali normal, ia juga sudah memulai kela pelajaran umumnya, jadi akhir-akhir ini Suzanne memang cukup sibuk.
Pagi tadi, saat sarapan, Suzanne tidak sengaja menumpahkan tehnya ke gaunnya, lalu saat ia akan mengganti gaun, ternyata gaunnya sudah banyak yang kekecilan, dan itu membuat Doreen dan para maid ribut menyuruhnya membeli gaun baru. Awalnya, Doreen mau memanggil designer langsung ke istana, tapi Suzanne menolak karena ia sendiri sedang ingin berjalan-jalan ke ibu kota.
Meski Suzanne memang ingin jalan-jalan ke ibu kota, tapi ia mau menjadikan butik sebagai tujuan terakhirnya, dan tentu saja Doreen menolak, ia mengajak Suzanne ke salah satu butik paling terkenal di ibu kota. Butik yang menjadi tujuan setiap bangsawan, Doreen memberi tahu bahwa butik itu milik Countess Sylvia Harper, nona bangsawan pertama yang mewarisi gelar dari ayahnya dan menjadi Countess tanpa harus menikah.
Walaupun malas, tapi mau tak mau Suzanne tetap masuk ke dalam butik itu, di dalam ia di sambut langsung oleh sang pemilik butik, yaitu Countess Sylvia Harper.
"Selamat datang di butik kami, Tuan putri," sambut Countess Sylvia.
"Aku tidak ingat aku mengabari Countess bahwa aku akan ke sini," Suzanne melirik Doreen tajam.
"Saya tidak tahu apa maksud Anda, Tuan putri," balas Doreen mengelak.
"Ah sudahlah, carikan saja gaun yang cocok untukku," titah Suzanne.
Untungnya aku punya banyak pengalaman sebagai nona bangsawan di kehidupanku sebelumnya, jadi setidaknya aku terbiasa dengan semua kemewahan yang gila ini, batin Suzanne lega.
Setelah cukup lama memilih dan mencoba banyak Gaun, Suzanne akhirnya keluar dari butik dan mulai berjalan-jalan di pasar mencoba berbagai kuliner jalanan.
"Doreen, kamu dulu juga nona bangsawan kan?" tanya Suzanne.
"Saya putri Baron, Tuan putri," jawab Doreen.
"Berarti kamu juga tidak pernah merasakan kesenangan ini kan? Berlarian di jalanan, makan tanpa harus memikirkan berat badan, memakai pakaian yang kita mau. Semuanya terlihat lebih menyenangkan daripada kehidupan bangsawan yang aku lihat di istana," ucap Suzanne.
Doreen hanya tersenyum kecil, beberapa hari belakangan ini memang banyak bangsawan yang mendatangi istana putri hanya untuk basa-basi dan sekedar memberikan selamat agar terlihat baik di depan keluarga kekaisaran. Meski Suzanne memang tidak pernah mau keluar dan menemui para bangsawan itu, tapi mereka cukup membuat tuan putrinya itu terganggu.
Suzanne menghentikan langkahnya ketika tiba-tiba saja seorang anak jatuh teat di depannya.
"Astaga, kau baik-baik saja?" tanya Suzanne cemas.
Suzanne menyerahkan makanan yang ia pegang pada Doreen, ia lalu membantu anak perempuan itu berdiri.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja," ucap anak perempuan itu ketakutan.
"Memangnya siap yang salah? Kenapa minta maaf, kamu kan hanya jatuh di depanku," balas Suzanne santai, tangannya sibuk menepuk-nepuk baju anak itu untuk membersihkan debu yang menempel.
"Jangan begitu Nona, tangan Anda bisa kotor," anak perempuan itu memegang tangan Suzanne, mencegah agar Suzanne tak lagi menepuk-nepuk bajunya.
"Astaga, kotor bisa di cuci, biar aku lihat lututmu sini," ucap Suzanne sembari menyingkapkan baju anak itu.
Suzanne tertegun melihat lutut anak perempuan itu yang terluka cukup parah.
"Doreen, bawa anak ini ke klinik terdekat," titah Suzanne.
"tapi ..."
"Doreen, kalau dibiarkan seperti ini, dia bisa infeksi," sambar Suzanne cepat.
"Baiklah, Yang mulia," balas Doreen menurut juga.
"Aku akan menunggu di sini bersama Doughlass," ucap Suzanne.
"Nona, saya tidak memerlukan perawatan apa pun, lagi pula saya harus segera pulang, adik saya menunggu," kata gadis itu menolak.
"Siapa namamu?" tanya Suzanne.
"Selena," jawab Selena.
"Selena, di mana orang tuamu?" tanya Suzanne lagi.
"Ibu saya meninggal saat melahirkan adik saya, ayah saya meninggal di medan perang beberapa tahun yang lalu," jawab Selena pelan.
Suzanne tertegun sejenak, ia menatap Selena dengan seksama, dari penampilannya, usia Selena mungkin antara sepuluh, sebelas atau dua belas tahun, terlalu muda untuk mengurus semua kebutuhannya dan adiknya sendirian.
"Selena, kamu punya berapa adik?" tanya Suzanne.
"Dua, Nona," jawab Selena.
"Kalian tinggal di mana?" Suzanne kembali bertanya.
"Kami tinggal di rumah yang di sediakan bagi keluarga prajurit yang gugur di medan perang," jawab Selena.
"Doreen, mendekatlah," titah Suzanne.
Doreen mendekat, Suzanne kemudian berbisik, "menurutmu, bisa tidak jika dia menjadi dayang di istana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments