Pintu terbuka dari dalam. Sontak itu membuat kami terkejut, kami langsung memutuskan kontak mata demi melihat siapa yang berada di balik pintu.
Yang kali pertama kulihat adalah Erika. Nando berdiri di belakangnya, tapi aku nggak lagi peduli dia berada di sana. Aku nggak lagi peduli dengan Erika dan Nando yang saking dekatnya membuatku merasa aku nggak dibutuhkan. Kalau mereka bisa menganggapku seperti orang buangan, aku juga bisa membalas dengan hal yang sama.
Sepertinya pestanya sudah nggak meriah seperti tadi. Ruangan jadi lebih tenang, tidak bising dan penuh sorotan lampu. Aku yakin orang-orang sudah pulang. Dekorasi rumbai dan spanduk sudah tidak beraturan. Plus sampah gelas plastik berserakan di mana-mana. Mungkin yang tersisa hanya Erika dan si tuan rumah.
Nyatanya yang kulihat adalah orang yang sedang tidak ingin kutemui. Kalau tidak ada dia malam ini, aku masih punya waktu berlama-lama di samping Adrian. Aku sempat memikirkan kenapa Adrian tidak mengusahakan cara untuk mengobrol ke sana kemari denganku. Tapi sepertinya, dia cowok yang perhatian. Dia khawatir angin malam bisa membuatku sakit.
Back to the topic. Erika membulatkan matanya melihatku. Entah dia ini berpikir melihat hantu atau semacamnya. Dia memang benar-benar kaget. Di pikiranku, aku melayangkan pertanyaan sarkas padanya apakah dia masih kenal dengan sahabatnya ini setelah menelantarkan aku di tempat yang nggak sudi aku masuki.
Sementara itu, aku bisa melihat sekilas Nando menatapku datar. Lagian, mana dia peduli dengan kehadiranku? Sejak mereka pacaran, aku kurang menyukainya. Statusku sebagai sahabat baik Erika tidak membuat dia menunjukkan sikap bersahabat padaku. Nando orang yang dingin dan tak pedulian. Tapi bagaimana pun, harusnya itu bukan alasan untuk 'memusuhi' orang yang notabenenya bank curhat pribadi pacarnya sendiri.
"Sumpah! Andrea, lo bikin gue jantungan. Dari mana aja lo sampe gue telepon terus-terusan nggak diangkat, hah!?" sembur Erika tanpa malu. Apa dia nggak bisa melihat ada orang lain yang berdiri di sampingku?
Nando bersidekap di belakangnya.
"Lo nyariin gue?" aku bertanya polosnya. Karena dia sudah lama berteman denganku, dia tahu aku bermaksud sarkas. Aku tetap kesal dengan Erika yang memperalatku supaya dapat izin ke pesta Nando. Begitu sampai, dia bahkan tidak peduli denganku.
"Lo pikir? Ya iyalah. Emang gila lo, ya. Gue kayak orang kesetanan nyariin lo takut ada apa-apa," Erika berkata lebih galak.
"Tapi dari tadi lo bahkan nggak nyamperin gue. Gue ditinggal gitu aja sementara lo sibuk sendiri."
"Masalahnya bukan itu ya. Lo pikir aja, lo ngilang nggak ada jejak terus nggak ngasih tau gue, lagi!"
"Nah Erika, sekarang gantian lo yang mikir. Gue keluar karena apa coba? Karena siapa?"
"Lo bawa handphone, kan? Nggak susah cuma untuk--"
"Err, sorry ya. Maaf ngerepotin. Gue yang ngajak Andrea keluar."
Erika terkejut dengan interupsi dari Adrian. Erika menormalkan tatapan garangnya. Sekilas ia menatap Adrian dengan tatapan menyelidik.
"Gue Adrian," sapanya tanpa diminta.
"Gue pernah liat lo sebelumnya?" Erika berusaha mengingat siapa cowok yang ada di hadapannya ini.
"Gue temennya Nando."
Nando merangsak maju ke depan. Ia membuka pintunya lebih lebar agar terlibat pada percakapan.
Nando meneliti temannya dengan tatapan aneh, "lo ngajak Andrea jalan bareng?"
Itu seperti tuduhan, padahal yang terjadi benar begitu.
"Hei. Sorry, bro. Gue keasikan ngobrol sama Andrea tadi."
Aku melirik Erika yang sekarang ekspresinya berubah seratus persen. Ia tersenyum hanya untuk menggodaku.
Adrian berpaling ke arahku. Aku memberi isyarat untuk tidak mengatakan apa-apa lagi tentang kami bersama di rooftop.
"Ya udah masalahnya beres kan?" Nando mengambil alih keheningan di antara kami berempat, "ternyata si Adrian, bukan orang lain."
Masalah? Aku kabur ke rooftop dalam waktu singkat dianggap masalah? Dia lupa, masalah aslinya adalah aku nggak pengin datang ke acaranya?
Erika melingkarkan tangannya ke lengan Nando. "Aku pulang sekarang, ya? Nanti aku telepon lagi. Makasih buat hari ini."
Kalau boleh jujur aku kesal mendengarnya. Lihat, kan? Lihat bagaimana Erika butuh aku saat akan pergi ke sini dan saat pulang.
Erika balik ke dalam dan muncul lagi dengan membawa tas jinjingnya. Nando sempat ingin berkata sesuatu padaku, tapi dia mengurungkannya. Aku sekali lagi mengucapkan selamat ulang tahun dan maaf padanya, walaupun setengah niat di hati. Kalian pasti tahu kenapa, semua itu cuma alasan kesopanan.
Sebelum aku dibawa pergi Erika, langkahku ditahan. Adrian ingin berkata sesuatu sebelum kami berpisah. Adrian melepaskan tuksedonya dan menyerahkannya padaku.
Aku menerimanya dengan tanda tanya, "Kenapa lo ngasih ini ke gue?"
"Gue mau lo bertanggung jawab buat jagain jas gue," katanya tanpa ragu.
"Tapi kenapa?" aku memandang tuksedo dan pemiliknya secara bergantian.
"Lo mau tau, Drea?" Adrian menikmati aku yang tengah kebingungan.
"Of course. What do you mean by that?"
Adrian tampak senang karena berhasil membuatku keheranan. Ia tertawa menikmati ekspresiku yang tidak mengerti yang dia maksudkan.
"Kasih tau gue, Adrian."
"Gue mau lo jagain itu," katanya tegas. Harus diakui aku suka caranya bicara.
"Alasannya?"
"Alasannya?" dia pura-pura berpikir supaya membuatku makin penasaran, "Biar ada alasan untuk ketemu sama lo lagi. Kita bakal ketemu dan gue bakal ngambil jas gue."
Bibirku langsung membentuk lengkungan lebar. Adrian, dia pintar dan banyak ide. Aku suka effort-nya demi aku tertawa di hadapannya.
Sebagai salam perpisahan, Adrian membungkuk seperti memberi hormat. Lagi-lagi perasaan hatiku penuh, dipenuhi kembang api yang terus merekah sampai pagi. Aku terus merasakan ia tersenyum ke arahku bahkan ketika aku sudah mencapai ujung lorong sebelum berbelok menuju lift.
Di dalam lift, aku belum bisa berhenti tersenyum. Erika menggodaku. Aku kesal padanya, tetapi sekarang sudah tergantikan dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih kuat. Sesuatu yang membuat hatiku bersemangat, dan aku yakin aku akan mengenangnya sebelum tidur.
"Kayaknya ada yang lagi kasmaran di sini," Erika buka suara melihatku seperti orang gila yang tidak berhenti tersenyum.
"Lo lagi ngomongin diri lo sendiri?"
"Tepatnya gue ngomongin lo, Andrea."
"Gue baik-baik aja," pandanganku jatuh kepada tuksedonya yang kubawa. "Emang di mata lo, gue udah nggak waras?"
"Lo kayaknya udah di tahap gila."
"Buat gue lo juga udah gila. Tapi gue masih mau temenan sama orang kayak lo," aku menghilangkan semua rasa kesalku pada Erika. Adrian memang punya sihir yang kuat. Pikiranku masih saja tertuju padanya.
"Makasih pujiannya. Dan jangan lupa, lo utang cerita sama gue."
Aku langsung mengerti apa yang dia bicarakan. Aku terdiam beberapa saat, akhirnya aku membalas. Percuma sekali berusaha menyembunyikan sesuatu dari sahabatmu.
"Gue nggak tau. Tapi rasanya, gue mau ketemu dia lagi." aku mengaku.
"Dia bilang apa?" Erika antusias mengorek cerita di antara aku dan Adrian malam ini.
"Kita bakal ketemu lagi. Ini jaminannya," aku menunjukkan Erika tuksedo yang kusangga dengan lengan kananku.
"Lo beruntung malam ini, An." Erika menatapku seperti ekspresi bangga dan turut senang.
Kami tiba di lantai dasar. Rasanya malam ini berlangsung begitu cepat. Kami keluar dari lobi, dan semilir anginnya langsung membawaku kembali teringat saat kami berbaring menatap bintang. Aku mencari keberadaan bintang yang paling terang, seperti yang kami bicarakan tadi. Adrian harus menepati janjinya supaya aku yakin kalau aku tidak jatuh pada orang yang salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments