2 — one night stand

Pintu lift terbuka. Adrian membiarkanku keluar lebih dulu. Aku suka gestur tangannya yang menyila dan senyumnya ramah seperti pelayan yang melayani keluarga bangsawan. Anehnya aku menurut. Angin malam berembus menerbangkan helai rambutku yang bergelombang. Rooftop apartemen malam ini sepi, lampunya tidak benderang seperti gedung di sekelilingnya. Yang bisa kulihat adalah samar tanaman rambat dan barisan kursi malas di sudut. Melihat ke bawah, ribuan kunang-kunang menyambut atau biasa disebut lampu neon gedung pencakar langit bagi orang kota.

Pemandangan biasa yang selalu ditampilkan Jakarta malam harinya. Tapi aku tidak punya alasan untuk tidak terpesona. Memang benar, aku butuh keluar dari pesta sialan itu. Aku butuh udara segar dari orang-orang hedon yang jelas bukan tempatku.

Yang jadi soal, aku di sini dengan seorang cowok. Dan kalau fakta itu belum cukup membuatmu terkejut, cowok itu bahkan tidak mengenalku. Begitu juga sebaliknya. Perasaanku gembira juga was-was tentang hal apa yang mungkin ia tanyakan padaku. Aku harap bukan jenis pertanyaan yang membuatku menilainya cowok yang kurang ajar.

Tapi kalau aku melihat ke belakang, dengan fakta dia mengajakku keluar dari kamar apartemen Nando dan berlaku sopan saat di lift, aku menaruh percaya padanya kalau ia cowok baik-baik.

"Jadi, gue belum tahu siapa nama lo," ucapnya membuka obrolan. Sudah kuduga dia akan menanyakan namaku lebih dulu.

"Andrea. By the way, gue harus tanya kenapa kita harus ke sini," aku melipatkan kedua tangan di dada. Terkadang, kita hanya harus tegas sebagai upaya melindungi diri. Meski cowok ini tampak tidak membahayakan, aku harus mampu menjaga diri untuk tidak terlalu dekat dengannya.

"Pertama, gue suka nama lo, Drea. What a cool name, truly. Kedua, bukannya lo sendiri yang bilang lo nggak suka party kayak gitu?"

Sejenak aku tenggelam karena pujiannya. Tapi aku tidak mudah ditaklukkan pria cuma dengan omongan gombal. Setidaknya aku harus berhati-hati dengan cowok yang tidak sengaja kutemui ini.

"Kenapa lo harus ngajak gue keluar?"

"Karena gue nggak mau orang lain punya kesempatan ngobrol sama lo, Drea. Kalau di sini, nggak bakal ada yang nyoba nyari topik obrolan sama lo selain gue."

Oke, itu sedikit menjelaskan. Aku merasa baikan dibanding saat di ruangan tadi, sudah kubilang aku butuh udara segar. Tapi mengapa setibanya di sini aku jadi tercekat? Jangan bilang aku terhipnotis dengan kata-katanya.

"Lo yakin selalu punya topik untuk ngobrol sama gue?" Aku bertanya dengan nada menantang. Tidak ada salahnya menaikkan harga diri.

Adrian menaikkan sebelah alisnya, "Ada yang pernah bilang ke lo kalau lo itu sinis pas ngomong?"

Mendadak aku tertawa. Sepertinya aku tak perlu lagi terlalu curiga padanya. Sudah pasti dia tidak akan bertingkah macam-macam. Dan selera humornya--

"Ada yang lucu?"

"Lo sadar kalo lo itu lucu, Adrian? Cara lo ngomong yang lucu," kataku di sela-sela tawa. Jujur, rasanya aneh menyebut namanya seolah aku ini sudah sangat akrab.

"Berarti gue harus ngomong terus, nggak boleh berhenti?"

Aku bingung menangkap maksudnya, "Biar apa?"

"Biar gue bisa jadi alasan lo senyum begini," balasnya enteng tanpa beban. Seandainya dia tahu apa akibatnya kalimat itu pada pipiku. Beruntung rooftop ini minim penerangan. Aku harap dia tidak menangkap gelagat salah tingkahku di saat aku tengah memerhatikan lampu kota.

Kita benar-benar harus membahas nasihatku yang selanjutnya. Nasihat kedua, jangan mudah terpikat pada perangkap dari orang yang baru saja kau temui. Kuatkan hatimu. Anggap saja semua yang dia katakan hanya kebohongan.

Aku mengalihkan kecanggungan di antara kami. Perhatianku kualihkan ke objek lain. Di atas, langit memayungi kami dan menghiasi malamnya dengan bintang. Mungkin sebab polusi-lah yang membuat bintang 'minor' enggan muncul ke hadapan penduduk bumi. Tapi yang kulihat sudah cukup membuatku terkesima, walau jumlahnya pun bisa dihitung jari.

"Andrea lo bisa berhenti? Lo gemesin kalau lagi serius." ucapnya pelan, namun mampu membuyarkan konsentrasi. Lagi-lagi aku merasa tercekat. Namun, aku sengaja tidak menanggapinya, karena jika iya aku mungkin saja kalah.

Kalah karena sudah jatuh pada rasa senang atas caranya berbicara, misalnya.

"Lo harus lihat mereka," kali ini aku memberanikan diri menoleh padanya. Mamaku pernah bilang itu cara yang bagus untuk menarik perhatian lawan bicaramu agar dia melakukan yang kau mau. Kontak mata adalah kunci.

"Mereka sedikit, tapi tetap kalah pamor sama lampu-lampu jalan, ya kan?"

"Lo suka mandangin bintang?" ucap Adrian dipenuhi tanda tanya. Aku sadar saat itu dia merapatkan tubuh ke arahku.

Aku bukan jenis orang yang suka membaca bahasa tubuh. Tapi kenapa aku menangkap sinyal kalau dia tertarik mengobrol denganku?

Aku melayangkan tatapan aneh. Apa dia lupa semua anak kecil suka melihat bintang, bahkan kebiasaan itu terbawa sampai dewasa? Justru aku yang merasa aneh kalau menemukan seseorang tidak suka mengagumi benda langit.

"Emangnya lo nggak suka? Holy ****, are you for real?"

Adrian seperti siap beradu argumen denganku. "Oke, oke, jangan sembarang judge gue kayak gitu. Gue liat, bintangnya nggak banyak. Asal lo tau, Drea. Justru pemandangan di bawah lo jauh lebih terang."

"Lo lebih kagum sama buatan manusia?" aku menyerangnya balik.

"Maafin gue Andrea. Lo cantik, tapi omongan lo bikin gue takut."

"Kalau gitu lo harus hilang dari pandangan gue," aku menatapnya dengan senyum kemenangan. Tapi tentu saja, aku tidak sungguh-sungguh saat mengatakan itu. Aku senang dengan keberadaan Adrian, setidaknya malam itu. Kalau aku punya keberanian, aku bisa saja berkata: terima kasih sudah membawaku keluar pesta, tapi tolong jangan sering berkata manis.

"Gue tau cara yang lebih bagus untuk stargazing," ucapnya tiba-tiba membawakan ide cemerlang. "Lo nggak perlu bikin pegel badan lo sendiri."

Adrian melepaskan tuksedonya. Aku tidak tau apakah ia sanggup bertahan di cuaca malam hanya dengan selapis kaos polosnya itu. Kalung rantai yang dipakainya serasi dengan tuksedo hitamnya. Buatku itu memberi kesan cool plus badass. Namun kini aku tidak bisa melihat setelan lengkapnya karena ia menanggalkan tuksedonya, lalu menghamparkan ke tanah.

"Buat apa?"

Adrian duduk di lantai rooftop dan menangkap tanganku. Aku terheran, namun tetap mengikuti ajakannya. Dengan tangan yang masih mengait satu sama lain, ia membawaku ikut berbaring beralaskan tuksedonya. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, dan rasanya mendebarkan berada sedekat ini dengannya. Tidak ada jalan keluar, aku terjebak bersamanya menatap langit keunguan, hanya bertemankan bintang dan dinginnya malam.

Masih dengan sisa keterkejutanku, rupanya ia tidak juga melepaskan genggaman kami. Malah, ia turut membawa jemariku untuk menunjuk bintang yang menurutnya paling terang. Sungguh, aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Adakah cara yang sopan untuk memintanya memberi jarak padaku?

Supaya dia tidak melihat pipiku yang makin merah dan memanas.

Adrian tidak bisa bertingkah seenaknya. Ia merasa wajar-wajar saja dengan semua sikap ini, padahal ini sukses membuat napasku tercekat. Begitu dekat, aku bisa mendengar embusan napasnya yang tenang. Ya ampun, aku aku bisa menahan diriku agar tidak diperdaya dengan pesonanya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!