Aku tidak mungkin lupa bagaimana Adrian menyilakan aku keluar lebih dulu dari pintu lift. Sekarang dia melakukan hal yang sama, hanya saja aku lebih menyukainya dibanding tadi. Dia menengadahkan tangan. Tanpa berpikir berpikir dua kali aku menyambut uluran tangannya. Adrian tersenyum—saking kuat pesonanya aku mampu memandanginya sepanjang hari tanpa merasa bosan. Ada lagi yang lebih penting.
Aku membalas senyumnya bahkan lebih hangat dan sumringah daripada yang ia berikan padaku. Aku tak peduli. Oksigen di sekitarku terasa menipis tapi dengan kesadaran penuh aku bisa melihat jelas bagaimana ia tak mengedipkan mata melihatku. Mungkin ia bisa menangkap bagaimana pipiku memerah sepanjang malam ini.
Masa bodo.
Adrian memindai wajahku dengan alasan agar ia makin hafal rupa wajahku seandainya suatu saat kita bertemu lagi. Bohong. Aku tau dia tertarik. Dan seperti dua kutub magnet yang berlainan, aku pun juga tertarik ke arahnya.
Aku ingin menyimpan potongan malam ini untuk hidangan makan malamku esok harinya. Karena sebelumnya, aku tidak percaya aku bisa menyerah pada ego untuk akhirnya menyukai cowok asing seperti Adrian. Ia pasti sudah memberi racun di setiap percakapan kami. Biarpun aku hanya menghabiskan beberapa gelas soda saat itu, aku merasa dimabukkan. Adrian memang bahaya yang dibungkus pesona. Semesta mengirimnya sebagai kado padaku. Aku pasti sudah kehilangan akal sehat karena aku tak bisa berlama-lama curiga padanya. Yang aku ingat hanyalah tiba-tiba aku merasa jatuh dan nyaman.
"Kita harus balik lagi. Nggak apa-apa kan, Drea?"
Harusnya tidak perlu ditanyakan. Aku masih mau berlama-lama di rooftop. Berdiam diri tetapi kedua tangan kami bertaut seolah takut kehilangan momen singkat ini. Adrian dan aku menyaksikan bintang cemerlang bercerita dua orang asing yang baru saja bertemu tetapi saling percaya. Sepanjang malam, bintang mengejek kami yang terlalu naif terbawa suasana. Aku harap Adrian merasakannya juga, semoga dua kali lipat lebih hebat daripada perasaanku.
"No problem. Makasih udah ngajak gue ke atas. Pemandangannya nggak bikin bosen kayak lagi di party," aku berusaha menghargai ajakannya. Sayang, yang seperti ini nggak bakal terjadi lagi.
Tetapi aku nggak bakal lupa awal perkenalan kami. Dan aku harus akui sekarang, aku suka sekali panggilan 'Drea' yang dia pakai saat bersamaku. Sudah mutlak, aku melarang siapa pun memakai nama panggilan itu. Aku menuntut lebih. Yang aku inginkan adalah Adrian-lah satu-satunya orang yang memanggilku seperti itu. Aku tidak terima mendengar 'Drea' jika tidak keluar dari mulutnya.
Sialan.
Aku memang sudah gila malam ini. Adrian juga sama-sama gila. Kalau ingin lebih sempurna, aku akan ceritakan ide gilaku pada kalian sekarang juga. Aku. Mau. Kejutan. Kecil. Misalnya dia meraih tanganku saat aku sedang lengah.
Adrian menekankan telapak tangannya padaku dan mengaitkan jemarinya dengan sempurna. Ini bahaya. Jangan-jangan Adrian bisa baca pikiran? Aku baru saja memikirkan ini dan dalam hitungan detik dia melakukannya!
"Makasih udah mau nemenin gue ke atas," dia berkata tulus. Aku senang dia ikut senang karena aku mau menghabiskan waktu bersamanya.
Aku menikmati bagaimana tangannya yang hangat menyentuh telapak tanganku. Aku bahkan tidak lagi mendengar klakson kendaraan yang bersahut-sahutan di bawah sana, aku hanya mendengar hembusan napas kami yang seirama.
Aku memberanikan diri menatap matanya saat mengatakan, "Tapi gue yang lebih berterima kasih."
Adrian menggeleng cepat. Dia nampak tidak senang pendapatnya dibantah. "Seharusnya gue, karena lo langsung percaya gue bukan orang jahat. I had so much fun this night. We should do this again sometime."
Genggamannya makin erat. Aku menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Karena kenyataannya, aku terkejut dan takut-takut dengan kedekatan ini.
Belum lagi kata-kata manisnya. Aku tidak perlu selimut malam ini. Aku hanya butuh Adrian di sampingku untuk menjagaku tetap hangat.
Aku mengerti maksudnya barusan, tetapi aku ingin memancingnya agar dia mengajakku dengan jelas dan terang-terangan
"Maksudnya?"
"Ya, kita harus main ke rooftop lagi kapan-kapan." Adrian memberi senyum yang jauh lebih hangat.
"Ke rooftop?" ulangku tak yakin.
"Ke rooftop mana pun. Nggak perlu ke sini kalau lo nggak suka," dia mengoreksi. Mungkin ini pertama kalinya aku melihat dia gugup dan panik.
Jangan salah sangka, Adrian. Aku suka di sini. Aku suka lampunya yang temaran tapi dibantu lampu-lampu dari gedung lain. Aku suka di sini, menghitung banyak bintang yang bisa kita lihat di kota yang penuh polusi seperti ini.
"Oke. Tawaran diterima," jawabku akhirnya.
"Jadi...lo mau, Drea?"
Aku mengangguk pelan. Melihatku setuju justru membawa kesenangan tersendiri buatnya. Aku melihat Adrian senyum dengan penuh kemenangan. Aku sadar dia juga membuat gestur mengepalkan tangan sambil bersorak 'yes!', namun dengan suara yang dipelankan.
Oke, sikapnya lucu.
Tak perlu dihitung berapa kali aku terbuai karenanya. Soal dia mengajakku lain kali—yang hampir membuatku berteriak mendengarnya—kutanggapi dengan senyuman lebar. Apakah ini artinya dia juga mencari kemungkinan kita bersama?
"Mungkin. Kalau kita masih punya lain waktu."
"Kita pasti ketemu lagi," ucapnya sebelum kami berbelok ke lorong kamar apartemen Nando.
"Kenapa lo bisa begitu yakin?" aku tertantang bertanya demikian, "gue baru kenal lo dalam hitungan jam, Adrian."
"Tapi dari beberapa jam itu gue merasa terkoneksi sama lo, Drea." demi mengatakan itu, dia berhenti. Kami memandang satu sama lain. Aku mencari kesungguhan di matanya. Tetapi itu tidak perlu. Begitu ia menepuk kedua pundakku, seketika aku merasa yakin dia tidak membual atau sekadar berkata manis.
Adrian berdeham singkat sebelum mulai bicara lagi. "Drea? Gue boleh minta bantuan sama lo?"
Aku mendadak ragu dengan permintaan Adrian yang kelewat aneh. "Boleh. Kalau gue merasa mampu bantuin lo, pasti gue lakuin."
"Oke. Gue minta lo janji sama gue tentang satu hal, Drea."
Dia menatapku begitu serius. Aku tidak bisa menebak ke mana arah percakapan ini.
"Janji dalam hal?"
Adrian menghapus jarak di antara kami. Aku bisa melihat matanya yang menatapku tajam, dan alis yang tebal. Aku mengamati fitur wajahnya dengan seksama. Aku tidak berlebihan saat bilang wajah dan gayanya serasa—dia tampan di segala hal.
"Janji untuk mau ketemu sama gue lagi. Tolong jangan kabur dari gue suatu saat lo papasan sama gue."
Aku sempat memikirkan bantuan yang sulit, tapi rupanya dia meminta aku berjanji tentang hal sederhana.
"Itu bukan janji, Adrian. Itu keharusan kalau gue ketemu lagi sama lo."
"Tapi lo harus tau satu hal," Adrian menepuk puncak kepalaku pelan. "Gue mau pas gue ketemu sama lo lagi, lo tetap kayak gini—Andrea yang baru gue kenal dalam beberapa jam terakhir. Yang agak sinis, tapi juga manis tiap senyum ke arah gue."
Oke, selanjutnya apa? Apa dia bakal muncul di depan rumahku saat aku berbisik rindu sebelum tidur?
Aku berharap malam ini tidak bisa berakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments