Sebelumnya aku mulai, aku yakin aku hanya menghabiskan paling lama satu jam di rooftop ini.
Topik yang dibicarakan Adrian denganku bukan topik yang berat, kebanyakan cuma kata-kata manis dan aku seolah menolak terbuai padanya. Tidak ada satupun bahasan tentang keluarga, atau teman, atau sesuatu yang paling kita benci dalam hidup. Cuma sekadar percakapan basa-basi. Tanpa bobot. Kadang aku hanya menanggapinya dengan tawa canggung. Bukan salahku kalau menilainya terlalu agresif karena tiap bicara dia menyelipkan pujian.
Bagiku itu tidak perlu. Karena sikapnya itu membingungkan. Adrian sepenuhnya bersalah karena dialah penyebab pipiku memanas. Aku curiga dia punya kesenangan tersendiri jika berhasil membuat cewek terdiam menanggapi kata-katanya yang beracun itu.
Seandainya aku bisa mengetahui motif alasannya mengajakku ke rooftop malam itu, aku pasti akan menolak berbaring dengan dialasi tuksedonya. Jarak kami terlalu dekat. Malam itu angin berembus cukup kencang untuk membuatku kedinginan, tetapi keberadaan Adrian di sampingku mampu menawarkan rasa hangat.
Bodohnya aku karena sama sekali tidak membaca situasi. Adrian menjebakku di tempat yang tidak bisa ditemukan orang lain, dan jawaban apa yang lebih pantas selain dia mau mencari tahu lebih banyak tentangku?
Dengan kata lain, dia melihatku sebagai mangsa yang menarik.
Adrian terlalu pintar mengarang kata-kata. Padahal, kalau dilihat dari auranya dia hanya salah satu dari sekian cowok badung yang biasa aku lihat di kantin sekolah. Salahku aku menilainya terlalu tinggi. Salahku menilainya sebagai pangeran yang membawaku keluar dari musibah.
Sepertinya aku harus cerita lebih banyak kejadian di malam itu.
Adrian belum juga melepaskan tanganku. Jemari kami saling bertaut dalam waktu yang lama. Hangat dan tenang, tidak seperti ruangan apartemen Nando yang terlalu menyilaukan dan pengap.
Aku tidak bisa berbasa-basi dengan borjuis seperti mereka. Di sini, aku ditemani seorang penyelamat menghitung bintang yang dikoleksi langit Jakarta. Dalam hati aku bertanya kepada salah satu dari mereka di atas sana, apakah aku menghabiskan waktu bersama orang yang tepat? Adrian tau persis cara mendekatiku selangkah demi selangkah dan membuatku terbiasa mendengarnya bicara. Masalahnya datang dari bisikan hatiku yang masih terus curiga pada gerak-geriknya, padahal aku berhasil dibuat berdebar.
"Lo suka?" Adrian memecah keheningan. Ketika dia mulai obrolan, aku harus siap dengan kata-kata yang mungkin tidak pernah aku sangka.
"Kita ngomongin apa?"
"Bintangnya, langitnya, suasananya, apa aja. Di mata lo bagus nggak?" Adrian menolehkan kepalanya ke arahku. Aku, yang sadar dihujani tatapan matanya tak berani membalas. Butuh beberapa saat sebelum aku berhasil menormalkan ritme napasku. Sialan. Aku takut, sekaligus dibuat salah tingkah.
Adrian masih sabar menatapku, dia nampak benar-benar menantikan jawaban. "Gue kan udah bilang gue suka. Nggak perlu ditanya malah. Gue suka di sini."
"Berarti nggak sia-sia dong gue ngajak lo ke sini?"
Aku tertawa. Rupanya dia mulai sombong dengan prestasinya membawaku ke atas sini. "Seratus persen seneng," jawabku seadanya. "Lo sering ke sini, ya?"
"Gue temennya Nando, kalo lo lupa."
"Hm, itu bukan jawaban."
"Tapi itu menjawab pertanyaan lo tadi," Adrian terkekeh. Astaga, aku mendengar suaranya dari jarak seberapa senti ini. Aku tidak bisa bohong aku senang dengan tawanya.
"Emang, lo biasanya ngapain tiap ke rooftop?"
"Tau sendiri lah. Kadang kabur ke sini cuma buat nungguin Nando balik ke apartemennya terus gue nginep di tempatnya sampe jam dua."
Entah kenapa aku puas dengan jawaban itu. Rasanya lega karena aku tidak mendengar jawaban ia datang ke sini membawa teman perempuannya. Bayangan seorang Adrian pergi ke tempat seperti ini dengan seorang cewek aku tepis jauh-jauh. Sedikit rasa senang menggenapi hatiku. Di balik semua rasa curiga itu, tumbuh juga rasa gembira karena kedekatan ini.
Seperti sedang berpesta dengan seseorang yang kau kenal, padahal sebenarnya orang itu baru saja mengajakku berkenalan.
Diam-diam kepalaku membentuk pertanyaan yang kuharap bisa kucari jawabannya mendatang. Apa aku cewek pertama yang diajak Adrian ke atas sini?
Adrian berhasil menjelma jadi orang yang aku percaya. Walaupun kata-katanya tidak baik untuk kondisi debaran jantungku. Tetapi, aku nggak harus merasa punya koneksi instan dengan orang yang baru dikenal, kan? Bisa saja aku hanya merasa kelewat senang karena pesta yang sesungguhnya malam ini adalah memandang langit bersama Adrian.
"Andrea."
"Ya?"
"Kasih tau gue yang mana bintang paling terang."
"Gue yakin yang di sebelah sana."
Adrian meneliti bintang yang aku maksud.
"Yakin?"
"Emangnya lo punya pendapat lain?"
"Lo nerima pendapat gue kalo lo itu bintang yang paling terang yang gue liat, Drea?"
Kali ini aku bisa mengendalikan diri. Suatu kalimat yang memang sukses membuatku tersipu, tetapi aku berhasil merespon dengan lebih baik, "Dari seruangan tadi?"
Adrian menggeleng pelan. Pandangannya lurus tepat ke mataku, "Dari dunia yang gue tempati."
Mendengarnya, aku tersenyum. Dan yang lebih mengejutkan, aku juga balas menatapnya. Ternyata aku lebih berani dari yang pernah kuduga. Adrian mengeratkan tautan jemarinya, mencari celah agar lebih erat dan pas pada jemari tanganku. Aku membalas. Genggaman kami lebih hangat dari yang sudah-sudah, dan aku sama sekali tidak keberatan. Mungkin sudah tidak ada lagi yang namanya tembok yang kubuat karena kecurigaan. Aku bisa jatuh dalam waktu yang sesingkat ini. Sesuatu yang menurutku mustahil terjadi.
Dalam tujuh belas tahun terakhir, aku merasa bodoh. Dan sekarang jauh lebih bodoh setelah aku percaya ada sesuatu yang lebih indah setelah pertemuan ini. Ada petualangan yang aku nantikan, hanya saja aku ingin bersama Adrian. Gila. Entah aku jatuh hati pada personanya atau jatuh pada kemungkinan kami bisa bersama?
Aku sudah tidak peduli dengan menit-menit yang terlewati di tempat terbuka ini. Di tengah pesta, aku merasa sesak. Beda cerita saat berada aku di sini, bersama seseorang yang baru kukenal malam ini. Udara dingin dan lembab. Baru kali ini aku menyadari bernapas bisa sebegitu menyenangkan jika bernapas dengan udara yang sama dengannya. Sesekali aku tercekat, dan tak lama aku temukan akal sehatku lagi. Aku melihat Adrian sebagai bab cerita yang menarik untuk dimasuki.
Ini benar-benar gila. Adrian, this is all your fault. Your words drive me nearly crazy. The sky watching us as if we were the actual stars.
Di antara semua debaran, rona merah dan sengatan itu, ada lagi yang lebih hebat. Saat akhirnya Adrian menarikku kembali ke dalam begitu langit semakin gelap. Aku tidak perlu mengucapkan terima kasih karena mataku sudah menyiratkan itu semua. Kami bicara lewat tatapan mata. Mungkin dalam pikirannya, dia bertanya kapan ia punya kesempatan lain untuk menjemputku bertemu bintang-bintang?
Aku menebak saat ini sudah tepat pukul dua belas. Kemana perginya semua waktu dan tidak menyisakan apa-apa? Kenapa yang seperti ini menyimpan ending yang tiba-tiba?
Aku kehilangan kata. Aku tidak mau jadi orang pertama yang mengucap kata sebelum berpisah. Adrian juga seolah tidak mau mengajakku kembali lagi ke pesta yang sesak itu. Cukup lama kami berdiri berhadapan sampai akhirnya Adrian menyampirkan tuksedonya bagai selimut tambahan buatku.
"Kita harus balik lagi. Di sini udaranya makin dingin."
Aku mengangguk pelan. Apakah besok saat terbangun aku akan mengingat semua detail yang terjadi malam ini?
Situasi seperti makin canggung saja. Masing-masing dari kami seakan tidak mau berpisah. Akhirnya aku melangkah lebih dulu melewati pundaknya. Namun, Adrian berhasil menghentikan gerakku begitu tangannya menghampiri pipiku. Mengelusnya lembut seperti menyiratkan selamat tinggal, terima kasih, dan 'pertanyaan kapan aku bisa bertemu lagi'?
Aku tidak bisa menjawab, aku benar-benar tersengat dengan aksinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments