"Lo baik-baik aja kan?" tanya Fira ikut khawatir.
"Axel nggak ngapa-ngapain lo kan?" tanya Dea kembali.
"Gue bener-bener putusin dia dan nggak akan kembali lagi," ujar Syasya sambil menyeka airmata matanya. Ia menarik kursi kemudian duduk menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Lo udah berkali-kali bilang kayak gitu. tapi ujung-ujungnya balikan lagi," kesal Dea karena sudah berkali-berkali-kali meminta Syasya memutuskan Axel.
"Gue udah capek, gue lelah, hubungan kami sudah nggak sehat. Tiap ketemu dia ujung-ujungnya pasti bertengkar."
"Gue setuju Sya, mending lo end, masih banyak cowok yang lebih baik dari dia. Axel memang cowok paling keren disekolah, tampan, tajir, ketua osis dan tim basket, tapi itu saja nggak cukup jika kelakuannya minus, Sya! Sudah jangan buang-buang energi nangisin cowok nggak bermutu itu. Mendingan kita shopping pulang sekolah. Gue yang traktir, Gimana Girls?" ujar Dea. Dia juga kaya sama seperti Syasya. Papanya memiliki perusahaan dan ibunya pemilik butik terkenal.
Mereka kembali menikmati makanan, menit kemudian mereka dikejutkan dengan suara seseorang.
"Heh, gadis cengeng, udah gue bilangin lepasin Axel, lo itu nggak pantes buat dia."
Tiba-tiba Laura berdiri dihadapan mereka, gadis itu teman sekelas Axel sejak kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Laura sangat membenci Syasya karena dengan mudah dapat menarik perhatian Axel sedangkan dirinya selalu gagal mendekatinya. Apalagi Syasya sudah membuat Axel jatuh cinta padanya dan mengabaikan keberadaan Laura.
Laura berkacak pinggang dihadapan Syasya, membuat Syasya menghentikan makannya tapi masih tetap mengabaikan Laura dan hanya diam tanpa menoleh. Bagi Syasya sudah cukup bertengkar dengan Axel membuat perasaannya sakit dan hancur. Syasya tidak mau lagi meladeni Laura.
"Laura, apaan sih lo! kenapa lo terus benci Syasya? jika lo suka dengan Axel, kejar sana." Dea berdiri ikut berkacak pinggang menatap sengit pada Laura. Dea tidak terima sahabatnya dimaki dihadapannya.
"Eh, tutup mulut lo! gue nggak ngomong sama lo ya? ini bukan urusan lo!" tunjuk Laura diwajah Dea.
"Semua yang berhubungan dengan Syasya itu urusan gue. Dasar nggak punya malu, sudah ditolak masih aja ngarep!" balas Dea.
"Apa lo bilang? lo nyindir gue?"
"Kali aja lo ngerasa."
"Kurang ajar!!"
Laura langsung menarik rambut Dea begitupun dengan Dea hingga terjadi jambak menjambak rambut hingga seorang siswa melapor ke ruang guru BK.
"Hentikan! kalian bertiga ikut Bapak ke ruang BK!" bentak Pak Budi begitu melihat perkelahian Dea dan Laura serta Syasya diantara keduanya.
Sekarang mereka bertiga berdiri di hadapan Pak Budi yang sedang mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Mereka menunduk pura-pura takut menatap mata tajam Pak Budi yang sedang mengintimidasi mereka.
Pak budi menghela napas kasar, sebenarnya ia sudah lelah menghadapi Syasya, Laura, Dea dan sahabat-sahabatnya. Sejak kelas sepuluh tiap minggu pasti mereka masuk keruang BK hingga sekarang. Ada-ada saja keributan yang masalah yang mereka lakukan. Pak Budi sudah memberi hukuman membersihkan toilet, panggil orang tua, skors selama tiga hari, berjemur dilapangan sambil hormat pada bendera merah putih yang berkibar ditiang bendera, menyapu lapangan sekolah, berdiri dengan satu kaki selama satu jam sambil memegang kuping, menghafal rumus matematika selama satu hari, menulis permohonan maaf dan tidak akan mengulangnya lagi sebanyak seratus kali, dan masih banyak lagi yang Pak Budi susah untuk mengingatnya.
"Mampus!! disidang lagi kita, kali ini apalagi hukumannya?" Batin ketiganya.
"Masalah apa lagi?" tanya Pak Budi pada mereka dengan menatapnya satu-persatu.
"Laura yang duluan Pak, kami hanya makan dikantin tapi dia tiba-tiba datang memaki Syasya." jawab Laura.
"Benar itu Sya?" kini Pak budi beralih pada Syasya.
"Benar Pak, saya juga bingung, kok ada ya orang yang suka cari masalah dengan saya Pak? padahal Syasya sudah tobat, sudah mau jadi anak yang baik dan penurut, berguna bagi nusa dan bangsa, menjadi kebanggaan sekolah dan tidak mau lagi masuk keruang BK." jawab Syasya dengan wajah teduh.
"Laura?" sekarang Pak Budi ingin mendengar dari sisi Laura.
"Saya cuma berurusan dengan Syasya, tapi Dea tiba-tiba nyolot dan menyerang saya, Pak." ujar Laura.
"Bohong Pak! Laura duluan yang menarik rambut saya, dan saya nggak mungkin diam aja dong Pak. Sebagai seorang perempuan yang membela harga diri, saya harus melawan, ia kan Pak?" sergah Dea.
"Iya, kalian semua benar, dan disini Bapak yang salah!" Pak Budi menekan pelipisnya, berhadapan dengan tiga gadis penuh drama ini membuat kepalanya hampir pecah.
"Kesempatan untuk pergi nih." batin Syasya. "Bapak sakit? saya ke UKS ambilkan obat ya Pak?" ujar Syasya.
"Nggak perlu, kapan kalian bisa akur? jika itu terjadi Bapak akan melakukan syukuran di sekolah. Kalian akur ya?"
"Nggak akan!!" serentak Syasya, Dea dan Laura.
"Jujur Bapak bingung harus beri hukuman apa lagi pada kalian. Semua hukuman dalam sekolah sudah kalian lakukan dengan baik. Apa kalian ada ide?" tanya Pak Budi membuat mereka menahan tawa.
Mereka menahan tawa.
"Kenapa kalian tertawa? Oooo... sekarang Bapak tau hukuman yang pantas untuk kalian." Pak Budi tiba-tiba tersenyum licik karena mendapatkan ide brilian untuk menghukum ketiga gadis nakal dihadapannya.
"Apa Pak?" tanya Syasya.
"Tertawa dilapangan sampai bel pulang berbunyi." tegas Pak Budi.
"Hah?!" Serentak ketiganya dengan mulut terbuka lebar.
"Mana bisa seperti itu Pak? tertawa selama dua jam hanya orang gila yang bisa melakukannya." protes Syasya.
"Iya Pak, saya juga nggak setuju." ujar Dea.
"Saya juga nggak setuju Pak. Hukumannya yang lain saja." timpal Laura.
"Kapan Bapak minta pendapat kalian? Kalian memang orang gila. Hanya orang gila yang selalu membuat ulah. Seharusnya kalian kesekolah untuk menuntut ilmu, belajar dengan baik. Capai cita-cita kalian setinggi langit, bukan setiap hari membuat masalah dan bertemu dengan Bapak."
"Iya Pak, maaf."
"Bapak nggak mau tau, sekarang kalian bertiga keluar dan mulai tertawa."
Mereka bertiga saling melirik, memang susah merubah pendirian Pak Budi. Pak Budi memang baik, sopan, dan tegas pada semua siswa. Tapi tidak ada yang bisa mengubah keputusannya jika sudah mengeluarkan perintah.
"Kenapa masih berdiri disitu? cepat keluar atau hukuman kalian Bapak tambah, mau?"
"Ng.. nggak Pak!"
Mereka langsung keluar, berdiri dilapangan dan mulai tertawa.
"Eh, liat! mereka tertawa kayak orang gila?" Teriak salah satu siswa.
Satu persatu siswa keluar kelas menyaksikan tontonan gratis dilapangan.
"Huuuuhh... ada tiga cewek gila!"
"Huuuuhh...."
"Cantik-cantik kok gila"
"Orang gila.. orang gila..." seru para siswa yang sedang melihat mereka seolah memberi semangat, bahkan ada juga yang mengambil video mereka.
"Eh, awas lo ya kalau berani ambil video, kalian akan berurusan dengan gue!" ancam Fira kemudian merampas ponsel siswa itu kemudian menghapusnya.
Sedang Dea, Syasya dan Laura yang dihukum merasa sangat malu. Ini adalah hukuman yang paling memalukan yang diterimanya.
Selesai meeting Moreno kesekolah Syasya untuk menjemputnya bersama asistennya Daffa.
Moreno membulatkan matanya saat seorang laki-laki memaksa Syasya naik keatas motor sport-nya.
"Itu Syasya Daf, ikuti kemana mereka pergi." perintah Moreno karena penasaran ada hubungan apa Syasya dengan laki-laki itu.
"Sekarang Bos?" tanya Daffa karena seharusnya mereka hanya menjemput Syasya kemudian kembali ke kantor.
"Tahun depan!" Kesal Moreno.
"Cuma memastikan aja Bos, satu jam lagi kita meeting dikantor,"
"Besok aja, cepet sebelum mereka menghilang," perintah Moreno.
Daffa melajukan mobilnya dibelakang motor sport Axel. Terlihat Axel memaksa Syasya memeluknya dari belakang. Entah mengapa melihat itu Moreno tidak suka.
"Gawat! Nona kecil dalam masalah besar!" batin Daffa saat melirik lewat kaca spion diatasnya.
.
.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments