"Ada apa ini, Thomas?" Pak Dendy menghentikan keributan.
Pak Dendy menatap satu persatu Kevin, Mila dan juga Thomas dengan tatapan datar. Thomas seolah tak perduli dengan situasi yang terjadi, berbeda halnya Mila menjadi panik takut beasiswanya akan di cabut.
"Tidak ada yang mau menjawab?"
Suasana lapangan mendadak senyap, tidak ada satu pun yang bersuara. Kevin menatap malas Thomas si pembuat onar. Bagian kemahasiswaan mencoba bertanya-tanya ke mahasiswa atau mahasiswi lain yang berada di sekitar, namun tak ada yang mau menjawab.
"Karena tidak ada yang mau menjawab, kalian semua saya sko—"
"Jangan, Pak!" Mila akhirnya membuka suara, karena takut gertakkan Pak Dendy.
"Jelaskan apa yang terjadi, diantara kalian?"
Mila menatap Thomas, Kevin datar. Mila bingung kenapa dua orang cowok di hadapannya ini tak ada yang bersuara, layaknya orang bisu.
"Hanya salah paham Pak. Untuk lebih lanjut silakan tanyakan pada Thomas, karena dialah dalangnya," kata Mila, membuat Thomas menggeram kesal.
"Lo! Bener-bener cewek gi—"
"Hanya sedikit salah paham." Kevin akhirnya buka suara juga.
"Lebih baik kalian lanjutkan acaranya, Kevin kamu silakan kembali ke kelas. Khusus Thomas, kamu ke ruangan saya!" titah Pak Dendy kemudian beserta rombongannya pergi meninggalkan lapangan, melanjutkan rapat yang tertunda.
Thomas menatap kesal Mila, tapi Mila malah mengejeknya sambil menjulurkan lidahnya. "Rasain lo!"
"Tunggu pembalasan gue!" Mila bukannya takut tapi makin mengejek Thomas.
"Sekarang kamu kembali ke kelompok, saya udah ikutin permintaan kamu. Jadi saya tunggu janji kamu. "Kevin berjalan meninggalkan Mila, dengan senyum mengembang di wajahnya.
Thanks ya,semoga gue bisa nepatin janjinya!
•••
Mila mendengus kesal, saat membaca pesan yang masuk ke ponselnya.
Nando:
Sayang, tunggu aku di depan kampus kamu. Sepuluh menit lagi aku sampai.
Biasanya Mila selalu di jemput oleh ayahnya, Mila lebih suka dijemput oleh ayahnya karena setiap pulang ayahnya selalu mengajaknya ke jalan-jalan keliling kota sambil membeli jajan. Tapi berhubung Nando—pacar Mila akan menjemput, mau tak mau ia harus ikut dengannya.
Udah capekgini, masih aja disuruh nunggu. Mila membatin. Satu hal yang Mila benci adalah menunggu, tapi bukan cuman Mila, namun semua orang pasti benci menunggu.
Mila menyapu pandangannya ke sekeliling kampus, sepi. Kebanyakan dari mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online untuk mempermudah kepulangan mereka. Kalau Mila harus pikir dua kali, menghemat pengeluaran.
"Sial! Kenapa gue harus ketemu lo lagi." Mila tersentak kaget karena celetukan sang pembuat onar yang datang bersama dua pasukannya.
"Sial apanya? Cantik gini kok," sahut Adit menaik turunkan alisnya.
"Benci sama cinta itu beda tipis loh bos, setipis pembalut," celetuk Hendy.
Thoma mengerutkan keningnya. "Emang lo pernah pake pembalut?"
"Bodo!" rugut Hendy. Thomas dan Adit tertawa ngakak.
Tomat kalo senyum ganteng juga, eh kenapa gue muji dia? Mila bicara dalam hati.
"Bakalan sial gue hari ini."
"Gue lebih sial, gara-gara lo gue dapat hukuman." Thomas menatap tajam Mila.
"Bukan urusan gue," jawab Mila acuh.
Mila mengacuhkan Thomas dan kedua temannya, dia memilih untuk pergi ke gerbang kampus sambil menunggu Nando.
"Dih kita di cuekin bos, baru kali ini kita dicuekin." Hendy mengeluh.
"Bukannya sering ya, Hen?" celetuk Adit puas.
Hendy berdecak. "Kampret lo, tapi emang bener sih."
"Ributaja lo berdua."
Thomas berniat mengekori Mila, belum puas rasanya menganggunya sejak di lapangan tadi. Namun diurungkannya sampai beberapa saat.
Mil membuang napas lega berhasil lepas dari para penggangu, sudah capek malah di ganggu, buat Mila makin naik darah.
Dua puluh menit lebih menunggu Nando sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya, akibat
terlalu lama Mila terus menghubungi dan menchat pacaranya itu. Dan pastinya, tidak ada balasan.
"Drama banget sih, hidup lo." Thomas menepuk jidat. "Segala main ponsel, sok sibuk."
Mila mengangkat wajahnya dan menatap datar Thomas. "Bisa gak sih, gak usah ganggu gue?"
"Ge'er banget, lo kira gue gak ada kerjaan sampe ngeganggu lo!"
"Terus, ngapain lo di sini?"
"Bukan urusan lo." Thomas ikut duduk di samping Mila.
Setiap kali Mila melirik jam di ponselnya Thomas mengikuti arah pandangnya juga, layaknya orang yang ikut menunggu juga.
"Eh, lo nunggu angkot? Dih berani banget padahal baru-baru ini ada kejadian yang ngeri di angkot," kata Hendy bergidik ngeri.
Mila tak menghiraukan ucapkan Hendy, ia fokus menghubungi Nando yang tak kunjung datang.
"Yah, hujan." Mila mendongkakan kepalanya, menatap indahnya air yang terjatuh dari langit.
"Gue salut sama hujan, rela sakit demi membasahi bumi." Hendy menatap rinti hujan penuh drama.
"Mending pulang bareng gue," tawar Adit ikut duduk di sebelah Mila. Adit berada di sebelah kanan, Thomas berada di sebelah kiri.
"Woi sompret, lu aja nebeng gue!" Sengit Hendy sambil berkacak pinggang.
"Gue lupa, Abang jangan marah." Cengiran tengil Adit membuat Mila jijik.
"Pulang bareng gue." Thomas menarik tangan Mila menuju mobilnya yang sudah bertengger di depan mereka.
Mila menepis tangan Thomas kasar, ia paling benci jika harus dipaksa apalagi dengan orang yang tidak dikenal. "Apaan sih lo! Gue bisa pulang sendiri, pacar gue bentar lagi jemput."
Mobil hitam berkilau mematah berbelok tepat di depan mobil Thomas. Pintu terbuka turun beberapa orang berjas hitam hendak membuka payung namun di tahan oleh seorang cowok tampan.
"Lo semua bikin malu, buang atau pecat?" ancam cowok itu, seketika para priaitu membuka jalannya.
"Ke-kevin," gumam Mila pelan, wajah Thomas berubah kesal melihat siapa yang datang.
"Superhero kita datang." Thomas menepukkan tangannya dengan wajah mengejek.
Kevin tersenyum menatap Mila lalu menghampirinya, mengabaikan Thomas yang sedari tadi mengejeknya. "Mau pulang bareng saya?"
Mila mendadak bimbang, satu sisi ia mau menjauh dari gangguan Thomas. Di sisi lain, Mila mau ikut pulang bersama Kevin tapi, Nando sedang menuju kampus. "Pacar gue jemput kok. Makasih ajakannya." Mila tersenyum, hendak meninggalkannya namun tangannya ditahan Kevin.
"Kamu tunggu di sini aja, saya temani."
"Sok pahlawan, drama banget!"
Hendy mengerutkan keningnya menatap Thomas bingung."Di mana sih dramanya, guegak lihat ada drama Korea deh!"
"Serah lo deh Hen."
"Apaan sih, ceritain woi!" Hendy bingung sendiri.
"Bodo amat, minggir deh jangan nutupin jalan," sergah Adit.
"Bos! Ayo balik kan udah ada ultraman yang jaga bidadari." Adit menaik-turunkan alisnya menggoda, sesekali tertawa cengengesan.
Thomas enggan berdiri, tapi malah di tarik paksa oleh dua kurcaci itu. "Iya ah, minggir gue bisa jalan sendiri!"
"Gitu kek dari tadi, bikin sepet mata gue aja lo dari tadi."
Thomas mengeram marah. "Untung lo itu cewek, kalo cowok udah habis lo di tangan gue!"
"Oh iya?" Mila memutar matanya malas.
"Baek-baek jatuh cinta lo berdua!" celetuk Adit.
"Mending lo balik, daripada ngerusuh buat anak orang naik darah." Kevin berbicara tanpa memandang wajahn Thomas.
Thomas pergi tanpa membantah, seakan menuruti perintah Kevin. Mila terlihat kurang nyaman dengan keberadaan para Pria berjas hitam itu, tentu Kevin merasakannya.
"Ehem." Satu diantara pria tersebut menghampiri Kevin, wajahnya yang datar membuat Mila bergedik ngeri. "Kalian pulang, mobil biar sama gue. Jangan pake protes, kalo Papa tanya bilang aja gue nganter calon pacar."
"Tapi bos, nanti Bap—"
"Bambang! Gue gak terima penolakan! Cepetan pergi sebelum gue suruh Papah buat
peca—"
"Siap bos, saya permisi." Mila tertawa melihat tingkah Kevin dan penjaga itu, terkesan tegas tapi lucu.
"Saya tau, kamu kurang nyaman sama keberadaan mereka," kata Kevin membuat Mila menghentikan tawanya.
"Gue bukannya gak nyaman, tapi rada aneh aja kenapa lo di jaga sebegitunya."
Kevin tersenyum, "Kamu gak usah bingung, mereka itu utusan Papah saya udah menolak padahal."
"Kenapa lo dijaga gitu sih?" tanya Mila lagi karena ia sangat panasaran.
"Simpan pertanyaan itu, kalo ketemu Papa baru tanya lagi. Mau kacang?" Kevin menyerahkan kacang Almond dengan senang hati Mila ikut memakannya.
Mila mendengus. "Jelasin aja sih, kenapa harus ketemu Bokap lo segala."
"Nanti gak seru kalo saya ceritain sekarang."
"Ish, iya deh."
Hujan bukannya mereda malah makin deras, langit juga mulai makin menggelap. Angin berhembus kencang, gemuruh mulai beradu. Belum ada tanda-tandanya Nando sampai, di kampus.
"Kamu yakin mau nunggu?" Mila melamun tersentak mendengar ucapan Kevin, lalu melirik jam ponselnya, benar ini sudah lebih dua jam Mila menunggu Nando.
"Ehm, mungkin pacar gue kejebak macet. Lo balik duluan gue gak apa-apa sendiri."
"Dan artinya saya tinggalin kamu sendiri? Gak mungkin." Kevin tersenyum penuh arti. "Saya mau pulang, tapi bareng kamu. Gimana?"
Mila nampak berpikir, jujur dirinya sudah bosan menunggu kedatangan Nando. "Tapi ruma gue jauh, lo pulang aja biar gue nunggu taksi." Mila berusaha menolak Kevin, tapi Kevin tidak kehabisan akal.
"Pulang bareng saya aja, kalo pacar kamu marah, saya yang tanggung."
Gue mau pulang, tapi gak enak karena baru kenal. Batin Mila.
"Kenapa harus gak enak, ikut saya aja ya?"
Maksa banget sih, tapi gue takut sendirian di sini. Mila berkata dalam hati.
Kevin tersenyum lalu sedikit menjauh dari Mila, "Maaf kalo saya terkesan memaksa, saya temani kamu sampai pacar kamu datang."
Mila melongo mendengar ucapan Kevin. "Lo kok tau apa yang gue bilang?"
"Ah, mungkin cuman kebetulan. Saya cuman menawarkan, mau saya antar pulang?"
"Gak ngerepotin nih?"
"Ayo, oh ... sebentar saya ambil payung dulu."
Kevin menerobos hujan, mengambil payung yang ada di dalam mobilnya. Hujan yang deras tak menyulutkan dirinya.
"Ssshh, ayo sini deketan biar kamu gak kehujanan."
Kenapa harus dempetan sih? Mila kembali berbicara dalam hati.
Kevin seketika tertawa hambar, "Kamu aja yang pakai payung, saya gak pakai payung."
"Bu-bukan gitu, ntar lo sakit. Ehm ya udah deh kita payungnya berdua," putus Mila, Kevin tersenyum.
Kevin mengantar Mila terlebih dahulu, baru hendak masuk payung Kevin sudah di ambil alih oleh para pria berjas yang masih setia menunggunya. "Kenapa kalian gak pulang aja sih, bosen gue ketemu lo mulu!"
"Maaf bos, saya cuman menjalankan tugas negara." Kevin mengabaikan saja, langsung masuk ke mobil.
"Ckck, lo anak pejabat ya? Ampe segitunya di jaga."
"Bukan, Papah saya Dokter. Kalo Papa kamu?"
"Ayah gue supir bank," jawab Mila santai.
Kevin mengangguk tanda mengerti. "Kamu anak tunggal?"
"Gue punya Kakak, tapi sekarang dia udah gak boleh ketemu keluarga gue."
"Kenapa?"
Apa gue harus cerita, kan baru kenal banget. Mila kembali membatin memikirkan apa yang harus ia ambil.
"Gak perlu cerita, biar waktu yang menjawab." Kevin tersenyum melihat wajah Mila melongo.
"Lo bisa baca pikiran ya?" tanya Mila. Kevin hanya mengerdikkan bahunya, sambil senyum meskipun matanya terfokus ke depan.
Perjalanan cukup menghabiskan banyak waktu, karena jalan macet bertepatan dengan jam pulang kerja. Kevin dan Mila sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing, suasana hening terjadi.
"Saya boleh tagih janji kamu?"
"Janji?" tanya Mila bingung.
"Kalo lupa gak apa-apa. Sekarang saya memang di lupakan tapi, gak untuk nanti," sahut Kevin membuat Mila semakin bingung.
"Oh! Gue ingat, janji karena lo udah bantuin gue kan?"
"Saya gak maksa, kok."
"Janji adalah janji, gue bakalan kasih tau lo nanti. Beri gue waktu untuk mikirin di mana tempat yang cocok untuk nepatin janji gue."
"Saya tunggu. Boleh minta kontak kamu, ehm ... untuk mempermudah komunikasi mungkin?" Kevin meragu.
"Boleh." Mila meminta ponsel Kevin, mengetikkan nomer ponselnya. "Udah, simpen gih."
"Kamu aja yang simpen, kasih namanya Mila cabunak."
"Eh apa tuh cabunak?"
"Calon ibu dari anak-anakku," sahut Kevin membuat Mila bungkam, tapi tidak bisa dipungkiri pipinya bersemu.
Setelah membelah kemacetan ibukota akhirnya mereka sampai di rumah Mila, rumahnya sederhana, tidak besar namun nyaman. "Jangan ilfil liat rumah gue ya!"
"Kenapa harus ilfil, biasa aja."
"Makasih tumpangannya ya, maaf udah ngerepotin lo," kata Mila tulus, Mila membuka sabuknya lalu hendak turun namun di tahan oleh Kevin.
"Makasih untuk waktunya, semoga kita bisa ketemu lagi. Mau kan jadi teman saya? Atau ... mungkin bisa lebih jadi teman?" Wajah Mila merona mendengar ucapan Kevin, entah kenapa Mila merasa senang saat berada di dekat Kevin. Berbeda saat bersama Nando yang notabenenya pacarnya sendiri.
"Gue berteman sama siapa aja, cuman orang-orang yang milih temenan sama gue." Mila tertawa hambar.
"Makasih Mil, untuk waktunya." Mila masih tertawa seketika terdiam, saat merasakan
benda kenyal mendarat dengan lembut di keningnya.
Nalurinya membuat Mila memejamkan matanya tanpa diminta, merasakan kehangatan dan kelembutannya. Nando yang notabenenya pacar Mila tak pernah diizinkan untuk mencium, itu pun hanya sebatas pegangan tangan. Tapi, saat Kevin memperlaukannya seperti ini, Mila sama sekali tak bisa menolak.
"Selamat istirahat!" Kevin melepaskan ciumannya.
Mila tak menjawab, ia bergegas turun membuang rasa malunya karena pasrah saat Kevin menciumnya.
"Saya pulang dulu, sekali lagi terima kasih untuk waktu dan kebahagiannya."
Mila tersenyum malu menatap Kevin, perlahan mobil Kevin pergi senyum tak lepas dari wajah keduanya.
"Kenapa tuh senyum-senyum?" tegur bunda Mila yang sudah menunggunya di depan pintu sambil melipat tangnnya di dada.
"Ih Bunda, Mila gak apa-apa." Mila memeluk erat bundanya.
"Bunda tau, kamu mah BAPER!"
"Baper?" Mila sedikit gamang.
"Bawa perasaan sama cowok ganteng tadi, jadi sekarang Nando udah dilupain?" goda Bunda menjadi-jadi.
Mila hanya tersenyum kikuk menanggapi ucapan Bundanya. * Emang gue baper banget, cuman diperlakukan*
gitu bapernya bukan main. Mila membatin, namun senyumnya tak pernah hilang dari wajah chubbynya.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
meandyou
Cabunak
2020-08-31
1
lafyuw
Aku suka ehh ini
2020-07-15
0
ladydian grand
Ini cabunak ga bisa diubah gitu ngakak ahaha
2020-07-14
0