Keputusan Papa

Mobilku melaju menyusuri kota yang padat karena kesibukan pagi hari. Hilir mudik pelajar mulai terlihat sejak libur sekolah minggu lalu. Pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam sarapan berjejer di pinggir jalan, mataku tertuju pada sebuah gerobak kupat tahu yang merupakan salah satu makanan favoritku.

Dulu, Mama sering mengajakku makan di sini, menikmati tiap sendok kenikmatan yang tercipta dari paduan lontong dan bumbu kacang yang gurih juga legit, sambil bercengkrama membicarakan banyak hal.

Meski Papa seorang pengusaha besar, tapi Mama tipe orang sederhana, dia tidak sungkan makan di pinggir jalan, mengobrol dengan tukang sapu jalan sambil menyelipkan uang jajan untuknya, hal inilah yang kupelajari dari Mama, untuk tetap rendah hati kepada setiap orang, karena sejatinya harta hanyalah titipan.

Lampu sein kiri sudah menyala, aku memutar setir mobil dan menepi tepat di depan gerobak kupat tahu, gerobak dengan banyak kursi dan meja berjejer di belakangnya, atapnya ditutup dengan terpal besar agar teduh.

Lelaki setengah baya tengah sibuk menyiapkan pesanan pelanggan yang sudah mengantri sejak tadi, aku termasuk salah satunya.

Setelah menunggu hampir setengah jam, satu porsi kupat tahu dengan bumbu kacang yang kental tersaji di depan mata, harum aroma bawang goreng yang ditabur di atas piring menyeruak menggodaku yang semakin tidak sabar ingin segera menyantapnya, aku makan dengan lahap, merasakan cita rasa yang memanjakan lidah karena kelezatannya.

"Pak, kupat tahu satu, ya. Tolong sambelnya agak dibanyakin." Ucap salah seorang perempuan, perlahan dia membuka helm dan maskernya, mataku terbelalak melihat sosok itu, Aruna.

Dia mengenakan celana jeans dan jaket hijau khas ojek online, rambutnya yang panjang dan lurus melambai-lambai mengikuti arah angin.

Melihat Aruna membuatku teringat lamaran kerjanya tempo hari, mengapa sampai saat ini dia belum datang ke perusahaan? Apakah pihak HRD masih belum melaksanakan perintahku?

Fokusku hilang begitu saja saat melihat Aruna, aku hanya memainkan potongan lontong di piring tanpa menyantapnya.

Haruskah aku menyapa? Atau haruskah aku tawari dia untuk langsung saja bekerja? Ah, pikiran-pikiran ini membuatku serasa gila.

Aruna duduk tepat di sebelahku, dia terlihat sangat lahap menyantap makanannnya, entah karena kupat tahu ini yang terlalu enak, atau dia yang sedang kelaparan.

Aruna tetap tidak mengenaliku meski kami sudah beberap kali bertemu, dia terlalu cuek sampai tidak menyadari orang-orang yang memperhatikan bahkan mengaguminya.

Dalam hitungan menit, piring Aruna sudah kosong, begitupun dengan gelas minumnya, ponsel dia berbunyi, sepertinya menandakan orderan masuk, dengan tergesa Aruna membayar makanan lalu pergi, dia hilang dari pandangan sebelum aku sempat menyapanya, aku senyum-senyum sendiri menyaksikan pemandangan indah pagi ini.

Entah mengapa sejak pertama kali melihat dia jantung ini berdetak dengan irama tidak karuan, dalam hati ingin sekali mengobrol dan membicarakan banyak hal dengannya, tapi lidah mendadak kelu ketika sorot matanya menyihir penglihatan.

Pagiku menjadi lebih cerah setelah melihat dia meski hanya sekilas. Aruna berhasil mencuri hatiku hanya dengan kali pertama melihatnya, apalagi setelah mengetahui latar belakang kehidupan dia yang banyak dihantam cobaan, namun dia tetap berdiri kokoh melawan kehidupan, itu membuatku semakin mengaguminya.

Ponselku berdering, benda pipih ini membuyarkan seluruh lamunanku tentang Aruna, terlihat nama si pemanggil di layar, "Papa". Ah, sial! Lagi-lagi aku lupa hari ini ada meeting, Papa pasti sudah menunggu di kantor untuk mendampingi.

"Ya, Pah." Sapaku

"Lima belas menit lagi meeting di mulai, kamu masih dimana?"

"Lagi sarapan, lima menit lagi sampai kok."

"Oke cepat, jangan terlalu sering membuang waktu."

"Siap, Pah."

Sambungan telepon terputus, aku pergi menyisakan makanan yang belum selesai dihabiskan, semua ini gara-gara Aruna, jika saja dia tidak datang mungkin aku bisa dengan santai menikmatinya.

__

.

__

"Pak Lutfi bilang kamu merekomendasikan orang untuk menempati posisi sekertaris, benar?"

Pertanyaan Papa menyapaku ketika sampai di ruang kerja, dia terlihat serius membolak-balikan resume milik Aruna.

Papa tipe orang perfeksionis, dia tidak akan sembarangan mempekerjakan orang yang tidak sesuai kriteria, sekalipun itu rekomendasi dari seseorang yang sangat dipercaya olehnya.

Ini juga tidak mudah bagiku membawa Aruna ke perusahaan untuk dipekerjakan sebagai sekretaris. Pengalaman kerja Aruna masih nol, terlebih strata pendidikannya tidak sesuai dengan yang ditetapkan perusahaan.

Aku menghela nafas, berpikir alasan paling logis agar mudah diterima oleh Papa, tapi otakku buntu, aku tidak menemukan kelebihan apapun dari resume Aruna yang bisa di unggulkan di hadapannya, tidak mungkin kan jika aku memberi tahu Papa bahwa aku menyukainya? Menyukai perempuan yang baru pertama kali dikenal sungguh tidak masuk akal, tapi entah kenapa sulit sekali mengenyahkan dia dari pikiran.

"Apakah karena dia orang spesial?"

Tatapan Papa begitu tajam menelisik, dia meletakkan resume di hadapanku, lalu duduk dengan menyilangkan kaki kanan di atas kaki kirinya, tangannya yang melipat di atas dada membuat dia terlihat sangat berwibawa.

Aku masih belum mampu menjawab rasa penasarannya, hubunganku dengan dia tidak sedekat hubunganku dengan Mama, aku tahu dia sangat menyayangiku, tapi aku tidak terbiasa membicarakan masalah pribadi dengannya, itu membuatku tidak nyaman.

"Diam berarti benar." Ucapannya kini benar-benar tepat sasaran, seperti anak panah yang melesat kemudian mendarat persis di titik utama.

Kini hatiku sedikit tidak tenang, aku takut dia akan mengusik kehidupan Aruna. Karakter Papa sangat berbeda dengan Mama yang sederhana, seperti yang kubilang tadi, dia adalah orang perfeksionis, apakah dia akan diam saja mengetahui aku menyukai seorang wanita dari kalangan biasa-biasa? Apalagi dia seorang janda anak satu? Jelas itu akan merusak harga dirinya.

Kenyataan bahwa Aruna orang biasa saja menjadi masalah untuknya, ditambah status Aruna yang merupakan seorang janda sudah pasti Papa akan melakukan seribu satu cara mengembalikanku ke level kehidupan yang seharusnya. Dia tidak akan mudah menerima begitu saja, kehidupanku sudah diatur olehnya sejak dalam kandungan, dan ini membuat jalan kehidupanku sangat datar, membuatku sangat muak!

"Ini temannya Adit Pah, dia yang mohon-mohon agar aku mempertimbangkan wanita ini. Papa kan tahu Adit sahabat baikku, ngga enak kalau aku tolak gitu aja." Akhirnya kebohongan meluncur begitu saja dari mulutku.

Aku berusaha bersikap biasa, menyembunyikan kenyataan bahwa tuduhan Papa memang benar, Aruna adalah orang spesial.

"Apa dia bisa menjamin orang yang direkomendasikannya memiliki skill yang kita butuhkan?"

"Mana mungkin dia merekomendasikan orang ngga bener untuk perusahaan sekelas kita, Pah."

Papa berfikir sejenak, menggoyang-goyangkan kakinya sambil tidak berhenti menatapku.

"Baiklah, panggil dia dan pastikan pekerjaannya memuaskan."

Aku terperanjat mendengar keputusannya, semudah itu? Benarkah?

"Oke, Pah."

Ada rasa bahagia yang menelusup di dalam dada, pekerjaan ini akan membantu keuangan Aruna menjadi lebih baik, dia tidak harus panas-panasan mengojek, dan bekerja paruh waktu di cafe hingga larut malam menyita waktu istirahatnya.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!