Waktu semakin malam, cafe sudah hampir tutup. Adit sudah lebih dulu pulang, tapi aku masih di sini, memperhatikan Aruna yang tengah sibuk bekerja.
Pelanggan satu persatu beranjak pulang, kursi yang sedari tadi ramai, kini lengang menyisakan kesunyian ditengah ramainya jalanan kota.
Aku menuang liquid aroma banana ke dalam rokok elektrik, menyesapnya, mengeluarkan kepulan asap dari mulut. Sudah jam dua belas malam, seluruh karyawan cafe sedang bersiap pulang. Aruna menatapku dari meja barista, menaruh topi dan celemek, kemudian dia berjalan ke arahku.
"Maaf Kak, cafenya akan segera tutup." Ucapnya dengan nada suara yang berbeda saat dia ngobrol dengan Adit__
Terkesan jutek.
Aku menatap wanita di hadapanku, wajahnya begitu kelelahan. Dia membereskan gelas kosong dan sampah yang berserakan di atas meja, setelah selesai membersihkannya dia pergi, tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Aku bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya berkenalan, tapi hilang begitu saja saat Aruna di hadapanku. Payah!
Padahal itu tujuanku tetap di sini hingga cafe tutup. Tapi saat momen itu datang tenggorokan seperti tercekat, lidah tiba-tiba kelu.
Aku membereskan tempat duduk, lalu pergi keluar menuju parkiran. Jika tahu akan seperti ini, seharusnya aku pulang sejak tadi.
Sedetik sebelum pergi, mataku menangkap sosok Aruna yang baru saja keluar mengendarai motornya. Dia menarik gas, melajukan motor hendak pulang.
Aku membuntuti dari belakang, menjaga jarak kendaraan supaya dia tidak curiga aku sedang membuntutinya.
Tapi tunggu, untuk apa aku melakukan ini? Seperti penguntit saja. Karena mencoba berpikir rasional, aku memilih untuk pulang, berbalik arah menuju apartemen. Tapi hatiku berisik sekali, seolah memaksa harus mengikuti Aruna.
Aku membanting setir, berbelok lagi mengikuti Aruna. Bodoh bukan? Tidak apa, bukankah cinta memang seperti itu? Membuatmu buta dan bodoh.
Laju motornya semakin melambat, memasuki perumahan yang sepi dari keramaian. Dia menepi di taman komplek.
Di sana ada banyak wahana bermain anak, dari ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, rumah-rumahan dari plastik, dan yang lainnya.
Aruna turun dari motor, melepas helm dan masker, seketika wajah cantiknya terlihat, aku memperhatikannya dengan seksama dari dalam mobil dengan jarak sekitar lima meter, cukup jauh tapi aku bisa melihat kecantikannya dengan jelas di bawah remang-remang cahaya lampu taman.
Dia menuju ayunan, melajukannya pelan-pelan, wajah cantik itu mendongak ke atas langit menatap hamparan bintang. Entah apa yang sedang dipikirkan, harusnya dia segera pulang mengistirahatkan badan, bukannya malah duduk di taman semalam ini.
Tak ada satupun gerakan Aruna yang luput dari perhatianku. Seperti orang pengangguran saja, padahal besok ada meeting penting yang akan membahas proyek ekspor.
Aruna turun dari ayunan, kupikir dia akan pulang, tapi dia malah berjongkok, membenamkan kepala di tangannya yang memeluk lutut, dia menangis.
Aruna menangis ditengah malam, menumpahkan seluruh kesedihannya sendirian. Sepertinya dia ingin membuang beban melalui air matanya.
Ingin rasa menghampiri dia dan memeluknya, menenangkan dia sambil mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Lima belas menit berlalu, dia masih larut dalam tangisnya. Melihat pemandangan ini hatiku ikut nyeri. Aku hanya bisa memperhatikannya dari sini, diam-diam dengan hati yang sama remuknya.
Dari persimpangan jalan, tiga orang lelaki mabuk memperhatikan Aruna, mereka hendak menghampirinya, seperti kawanan buaya lapar mengincar mangsa. Aruna tidak menyadari dirinya dalam bahaya, dia masih larut dalam kesedihannya.
Merasa ada yang tidak beres, aku turun dari mobil. Menyenderkan badan di atas kap mobil, memperhatikan tingkah mereka dengan tangan menyilang di dada.
Ada kerikil cukup besar di depan kaki, aku menendangnya ke arah mereka, hingga kerikil itu mengenai lutut salah satu diantaranya.
"Jangan ganggu dia woy! Itu pacar gue! Kita lagi marahan, makanya dia nangis di sana." Aku menunjuk ke arah Aruna, jarak kami cukup jauh, dia tidak bisa mendengar dan melihat kejadian di sini.
Orang yang terkena hantaman batu terlihat emosi, dia hendak menyerang tapi kedua temannya menahan. Mereka berbisik-bisik entah membicarakan apa. Tidak lama setelah itu, mereka pergi.
Aku kembali masuk ke dalam mobil, mataku berat menahan kantuk. Mulutku menguap beberapa kali, sudah setengah jam Aruna tidak beranjak dari sana.
___
Tok...tok..tok..
Aku ketiduran. Sampai kemudian petugas keamanan komplek mengetuk-ngetuk kaca mobil membangunkanku. Aku menggeliat sebentar melemaskan otot pundak yang terasa pegal.
"Maaf Pak, sepertinya anda bukan warga komplek sini? Apa anda tersesat?" tanya petugas keamanan yang mengenakan baju serba hijau menelisik wajahku.
"Tidak, Pak. Saya sedang menunggu pacar saya di sana, kami sedang bertengkar jadi dia menangis di sana." Ucapku berbohong sambil menunjuk ke arah taman.
Petugas keamanan menengok ke arah yang dimaksud, mengernyitkan dahi dan menunduk lagi ke kaca mobil.
"Tidak ada siapa-siapa Pak di sana." Ucap dia keheranan. Aku keluar dari mobil, menyisir pandangan ke seluruh bagian taman mencari Aruna, tapi dia tidak ada di sana.
Kulirik jam tangan, sudah pukul tiga pagi. Astaga, aku ketiduran hampir dua jam lamanya, sampai tidak tahu kemana dan kapan Aruna pergi.
Aku menepuk dahi merasa bodoh, menghembuskan nafas dengan kasar, merasa semua yang kulakukan malam ini sia-sia.
"Sepertinya saya ketiduran Pak, pacar saya sudah pergi hehe."
Petugas keamanan itu menggeleng menatapku heran.
"Ya sudah, pulang sana, ini sudah pagi, saya mau lanjut patroli."
"Baik, Pak terimakasih."
Aku segera pergi meninggalkan komplek, menyusur jalanan kota di pagi hari buta. Udara dingin terasa menusuk tulang, jalanan sangat lengang membuat mobil melaju cepat tanpa hambatan.
.
.
Setibanya di apartemen, aku merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit dengan tatapan kosong, memikirkan Aruna yang tadi menangis sendirian, wanita yang terlihat kuat dan tegar di luar, ternyata begitu rapuh di dalam.
***
Jam istirahat sudah tiba, para peserta meeting satu persatu beranjak keluar ruangan. Layar persentasi ditutup sementara, aku beranjak ke cafe tempat Aruna bekerja, jaraknya tidak jauh dari perusahaan, hanya terhalang tiga gedung.
Aku menyusuri trotoar, memasuki cafe yang sangat ramai. Banyak karyawan menatap kedatanganku, semua terlihat sungkan dan segan.
Kupilih meja yang berada di pojok, mengeluarkan laptop untuk mengecek laporan yang masuk lewat email dari anak cabang perusahaan.
Seorang waitress datang, seperti biasa dia membawa nota yang menggantung di leher, aku memesan kopi dan beberapa cemilan, waitress ini dengan teliti menuliskannya, sepuluh menit menunggu, seorang waitress datang mengantarkan pesananku. Tapi bukan Aruna, kemana dia? Sejak tadi aku tidak melihatnya, haruskah aku bertanya?
"Ini pesanannya, Kak."
"Terimakasih," Ucapku
"Oh, ya, hmm.. apa Aruna nggak masuk kerja?" Tanyaku kepada waiters itu.
"Dia karyawan magang, Kak. Jam kerjanya hanya dari jam tujuh sampai jam dua belas malam." Kata dia menjawab pertanyaanku.
"Oh, begitu. Oke terimakasih,"
"Sama-sama, Kak. Ada lagi yang bisa dibantu?"
"Tidak ada."
Setelah selesai menata pesananku di meja, dia pergi. Informasi darinya membuat selera makan tiba-tiba hilang, semangat kerja untuk mengecek laporan tiba-tiba saja lenyap, padahal tadi sudah bersemangat karena kupikir bisa melihat Aruna di sini.
Aruna pasti sedang berada di jalanan, mengantar setiap pelanggan ke tujuan, menjadi ojek online seperti biasanya.
Kopi di hadapanku mengepulkan asap menggoda indra penciuman. Aku meneguknya perlahan, kembali memfokuskan pikiran, kulirik laptop yang masih menyala, ada banyak email yang masuk di sana, laporan dan beberapa dokumen lain yang menunggu untuk di tandatangani.
Setelah menghabiskan kopi, kulipat kembali laptop dan memasukannya ke dalam tas, beranjak pergi kembali ke perusahaan. Aku seorang CEO sekarang, tidak bisa lagi menghabiskan waktu untuk sesuatu tidak penting. Seperti yang Papa bilang, time is money!
Tiba di lobby kantor, seorang cleaning service sedang di marahi seniornya. Dia menumpahkan tumpukan sampah dan map coklat berisi berkas lamaran kerja dari para pelamar yang gugur. Mungkin dia terjatuh.
Langkahku terhenti melihat map coklat yang tidak sengaja terinjak, di atas map itu tertulis nama Aruna Rinjani.
Cleaning service tadi hendak mengambil map yang kuinjak untuk memasukkannya kembali ke tong sampah, sayangnya dia kalah cepat dengan tanganku.
"Ini biar saya ambil," Ucapku padanya.
"Baik, Pak."
__
__
Tiba di ruangan, amplop coklat ini segera di buka. Di dalamnya ada berkas lamaran Aruna, termasuk fotonya berukuran 4X6 yang terlihat sangat cantik dengan senyum yang terpanca.
Aku mengambil foto itu, kumasukan ke dalam dompet, sebagai penawar saat aku merindukannya.
Aku meraih gagang telepon di atas meja, menekan angka tiga untuk melakukan penggilan cepat ke ruangan HRD.
"Selamat pagi, Pak." Ucap seorang pria.
"Pagi juga Pak Lutfi, bisa ke ruangan saya sekarang."
"Baik, Pak, saya segera ke sana."
"Saya tunggu, sekarang!"
Lima menit kemudian dia datang, aku mempersilakannya duduk di kursi tamu, jarak kami hanya terhalang meja kerja saja.
"Ada apa, Pak?" tanya dia gugup.
"Saya melihat banyak map coklat yang hendak di buang, apa perusahaan kita sedang open recruitment? Bukannya seluruh departemen bagian staff dan produksi sudah full?"
"I-iya, Pak. Dua minggu lalu Pak Tony membicarakan ini, dia menyuruh saya mencari sekertaris untuk anda."
Ya, aku memang sedikit kewalahan bekerja tanpa sekertaris, tidak ada yang mengaturkan jadwal dan membantuku banyak hal. Sekertaris Papa dulu mengundurkan diri karena dia membuka usaha sendiri.
"Bisakah Pak Lutfi merekrut dia untuk jadi sekertaris saya?"
Kataku sambil memberikan map yang tadi tidak sengaja terinjak. Dia membuka map itu, mengecek berkas-berkas di dalamnya, matanya sibuk menyisir data yang tertulis di setiap helai dokumen.
"T-tapi Pak, resume ini tidak sesuai kriteria yang dicari perusahaan."
"Kenapa?"
"Dia hanya lulusan D3, sedangkan kita mencari lulusan S1 jurusan administrasi perkantoran. Selain itu dia juga tidak memiliki pengalaman bekerja, itu akan... "
"Bisakah Pak Lutfi atur agar dia menempati posisi ini dengan jalur rekomendasi saya?" Aku memotong pembicaraannya, menatap netra hitam Lutfi dengan tajam, memberi penekanan.
"B-baik, Pak. Saya akan segera memanggilnya untuk melakukan interview."
"Baik, terimakasih Pak Lutfi. Anda boleh pergi, kembali bekerja."
"Saya permisi, Pak."
"Ya."
Aku tersenyum sendiri mendapatkan takdir ini, takdir yang seolah berpihak kepadaku, takdir bahwa Aruna sendiri yang mendatangiku setelah sebelumnya sangat sulit kutemui.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
nanayju
Terimakasih, Kak. Enjoy reading 🙏🏻🥰
2022-12-13
0
Nurjanah Nur
cara penulisannya enak di baca,,ceritanya bagus ,ringan ....pokok e baguslah
2022-12-13
0