Kartu Nama

Sejak hari itu, aku lebih suka berangkat kerja menggunakan ojek online, berharap bertemu wanita itu untuk kedua kalinya.

Aku juga berharap dia akan menghubungiku melalui kartu nama yang diselipkan di tas punggung miliknya.

Saat membayar jasa ojek tempo hari, aku memberi tip cukup banyak, kupikir dia butuh uang untuk kebutuhan anaknya. Anggap saja penghargaan atas kerja keras mengantarku pagi-pagi sekali.

Rupanya, selang satu jam dia mengembalikan uang itu. Kau tahu? Itu membuatku semakin tertarik kepadanya.

Kemana lagi aku bisa menemukan dia? Wanita berkulit putih, yang memiliki hidung mancung, bibir tipis, alis tebal, rapi meski tanpa pensil alis, bulu matanya lentik alami seperti menggunakan eyelash.

Sekilas aku menatap matanya yang berbentuk almond dengan pupil warna coklat. Cantik sekali.

Wajah itu selalu terbayang mengganggu konsentrasi, terkadang membuat tidak nafsu makan. Yang lebih menjengkelkan saat di rumah, wajah itu seperti menghiasi setiap sudut ruangan, rasanya aku akan gila karena melihat wajahnya dimana-mana.

Aku mengacak rambut kesal, mengenyahkan wajah itu dari bayangan. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar, tenang sebentar, lalu bayangan itu muncul kembali, astaga.. Aku benar-benar sudah gila.

Drrtt.. Drrttt..drrttt

Ponsel bergetar menandakan panggilan masuk.

"Halo, kenapa Dit?"

Aku menyapa Aditya Pradana, sahabat sejak kami SMA. Orang paling setia kawan dari yang lainnya, orang paling tulus berteman denganku tanpa melihat siapa aku dan harta kekayaan orang tuaku.

Sedikit flashback, sejak SD hingga masuk SMP aku sering di hianati teman-teman. Aku mengira mereka tulus berteman denganku, ternyata tidak. Mereka hanya memanfaatkan harta dan nama besar Papaku untuk kepentingannya sendiri.

Masuk ke SMA, aku memutuskan menyembunyikan identitas asli sebagai anak pengusaha ternama. Aku mengaku sebagai anak biasa-biasa saja, lebih nyaman seperti itu, bisa bergaul dengan siapa saja tanpa disegani. Lalu akhirnya bertemu dengan Aditya dan bersahabat baik dengannya sampai saat ini.

"Sibuk nggak?" Aditya bertanya, sambil sesekali menyesap rokok.

"Nggak, kenapa emangnya?"

"Ngopi yuk, bete nih." Ajaknya mengepulkan asap nikotin ke udara.

"Nggak jaga emangnya?" Tanyaku, biasanya jam segini dia sibuk di rumah sakit melayani pasien yang datang silih berganti.

Aditya seorang dokter jaga IGD sebuah rumah sakit swasta cukup ternama di kota ini, biasanya dia selalu sibuk.

"Lagi kebagian cuti, seminggu kemarin gue kerja full, lembur sampai nggak tidur. Hari ini, giliran istirahat, tapi malah bete nggak ada kegiatan." Keluhnya.

"Mau ngopi dimana?" Tanyaku mengiyakan, kebetulan aku juga memang sedang kalut, bayangan wajah wanita itu muncul di mana-mana, membuat frustasi.

"Cafe biasa, gue on the way sekarang."

"Oke, gue juga."

Klik.. Sambungan telepon diputus. Aku mengambil hoodie, bercermin untuk merapikan rambut, mengambil weistbag, pergi menuju parkiran.

Akhirnya ferrari merah ini keluar, sudah lama dia terongok menjadi penghuni besment. Dia menemaniku melewati gelapnya malam menembus jalanan yang cukup lengang.

Gas diinjak, jarum spedometer berada diangka 80. Aku menikmati semilir angin dari kaca mobil yang dibiarkan terbuka. Kepulan asap dari rokok elektrik menguar wangi pisang dari mulutku, sedikit menghangatkan badan dari cuaca malam ini.

Aditya sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, aku memberi tahu dia saat kami melanjutkan ke Universitas. Tidak ada perubahan, dia masih memperlakukanku seperti biasanya. Jadi, Adit tidak akan kaget melihatku membawa Ferrari.

Lima belas menit menyusuri jalan, tibalah di cafe tempat kami biasa ngopi. Ah, tapi kenapa malam ini ramai sekali pengunjungnya? Padahal sudah jam sepuluh, ini akan sangat tidak nyaman kalau mereka mengenaliku. Akhirnya aku menggunakan topi hitam, masker dan kacamata, menyamarkan penampilan agar tidak ada orang yang mengenaliku.

Sejak acara pergantian CEO banyak orang meminta foto bersama, itu cukup menggangu.

Di sini tidak tersedia ruangan VIP, semua yang datang sama rata, tidak ada pilihan selain menyamarkan penampilan agar aku bisa nyaman berlama-lama di sini.

Cafe ini sudah lama berdiri, kopinya enak. Mereka memiliki menu yang beragam, setiap bulan mereka berinovasi membuat menu baru, agaknya itulah yang membuat cafe ini tidak pernah sepi pengunjung.

"Arsen," Aditya memanggil dengan mengangkat satu tangannya. Dia duduk di meja dekat dengan pantry, lalu mengajakku pindah ke smoking area.

Kami duduk menghadap pintu kaca yang tembus pandang ke jalanan kota, hilir mudik kendaraan masih terlihat ramai meski waktu sudah semakin malam. Gemerlap lampu kota menambah indah pemandangan, langit gelap terlihat cantik dengan hamparan bintang dan cahaya bulan yang hampir membulat sempurna.

Adit memanggil waiters, seorang wanita menghampiri dengan dua buku menu ditangan, ada nota kecil dan balpoint yang menggantung di leher untuk menuliskan pesanan. Dia memakai topi warna merah bergambar logo cafe.

"Silahkan, Kak." Wanita itu menyodorkan satu buku menu kepada Adit, lalu satu lagi kepadaku.

Aditya membolak-balik halaman, mencari santapan yang pas untuk suasana hatinya malam ini, begitu juga denganku. Setelah menentukan pilihan, kami menyebutkan pesanan. Waiters itu mencatatnya di nota kecil. Dia membacakan ulang pesanan kami, memastikan tidak ada yang kurang atau salah, setelah itu berlalu menuju pantry.

Lima belas menit berlalu, pesanan datang di tangan waiters lain. Dia membawa nampan berisi makanan yang kami pesan.

"Eh, Aruna. Kamu kerja di sini?" Aditya menyapa setelah mengalihkan pandangannya dari jalanan kota ke waiters di hadapan kami.

Ada nametag yang terpasang di baju seragamnya, di sana tertulis 'Aruna Rinjani'

Nama yang cantik bukan?

Sapaan Aditya membuatku refleks memandang wanita itu. Dahiku mengernyit, mataku menyipit, memperhatikannya, hingga aku yakin wanita itu yang sudah mengganggu pikiranku beberapa hari ini, wanita si ojek online.

Ada debar yang sulit dijelaskan, ada rasa gembira yang tidak bisa digambarkan, akhirnya aku bertemu kembali dengannya. Wanita cantik si pemberi kesan dalam di hatiku sejak pertama bertemu.

Dilihat dari raut wajahnya, dia sedang kelelahan.

Sejak tadi pengunjung tidak pernah sepi, dia sibuk mengantarkan pesanan, membereskan meja, menyapu lantai yang berserakan sampah. Kasihan sekali. Tenaganya pasti terkuras habis. Tapi wajahnya tetap terlihat cantik, teduh dan manis.

"Iya, Kak. Baru seminggu." Ucapnya tersenyum kepada Aditya. Senyum yang membuatnya terlihat tambah cantik.

"Pantes sekarang jarang kelihatan," Adit membalas senyum.

Dalam hati, aku juga ingin menyapa seperti Adit, dan berharap dia akan menjawabnya dengan ramah. Tapi di urungkan, nyaliku tidak sebesar itu. Harus dengan alasan apa aku menyapa dia? Bilang terus terang kalau aku ingin kenalan? Tidak, tidak, aku tidak seberani itu. Harus diakui kalau aku payah soal perempuan.

Sepertinya dia sama sekali tidak mengingatku. Wajar sih, setiap hari dia banyak bertemu customer baru. Mana mungkin dia mengingatnya.

"Yaudah, permisi dulu ya." Aruna pamit setelah selesai menata pesanan kami di atas meja. Dia pergi sebelum aku berhasil menyapanya.

Aku belum puas memandang wajahnya. Tidak bisakah dia berlama-lama di sini? Tidak masalah dia tidak mengenaliku, melihat wajahnya saja sudah cukup menyenangkan.

Tapi setidaknya aku sudah tahu namanya, sudah tahu harus mencarinya di mana. Pesona wanita itu sungguh membuat gila, pesona janda muda yang berhasil menyentuh hatiku sejak pertemuan pertama.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!