Tentang Aruna

"Lo kenal dia, Dit?" Pertanyaan yang sejak tadi membuat penasaran akhirnya terucap. Adit mengangguk.

Dia mengambil kopi favoritnya lalu menyeruput perlahan, menghirup asap yang masih mengepul dari cangkir warna putih, menikmati aroma kopi yang memanjakan hidung.

"Kenal dimana?" tanyaku lagi membuat Adit heran.

"Emang lo kenal dia?" Adit balik bertanya.

"Enggak, hehe." jawabku canggung.

"Lah, terus kenapa lo penasaran? Jangan bilang lo naksir dia?" celoteh Adit menggoda, dia meletakkan cangkir kopi di posisi sebelumnya.

Adit merogoh saku, mengeluarkan sebatang rokok filter mint, menyalakan, menyesap hingga kepulan asap menyeruak dari mulutnya. Begitu santai, tanpa berpikir ucapannya tadi membuatku salah tingkah.

"Nggak salah kalau lo naksir dia, karena emang dia cantik banget." ucap Adit menyusul ucapannya tadi.

Aku diam mematung, mataku mengikuti setiap gerak-gerik Aruna yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Kenapa Adit diam? Dia tidak menjawab rasa penasaranku. Dia malah asyik merokok sambil memainkan gawai.

"Lo kenal dia di mana?" ku ulangi dengan santai pertanyaan yang belum dia jawab.

"Dia tetangga gue, tapi dulu. Suaminya teman masa kecil gue. Sayangnya belum lama ini dia meninggal. Dia didiagnosis tumor mediastinum stadium akhir. Kondisinya sudah kronis, mustahil untuk diselamatkan. Gue lebih kasihan saat dia di usir oleh keluarga suaminya, padahal dia masih berduka. Lo bayangin aja, suaminya baru meninggal tiga hari, dia udah disuruh keluar dari rumahnya sendiri." Aku mendengarkan dengan jeli ceritanya.

"Kenapa keluarganya bersikap begitu?" tanyaku penasaran,

"Karena sejak awal keluarga Bastian tidak merestui hubungan mereka."

"Kenapa nggak direstui?" Aku menatap Adit, berharap dia akan menceritakan semua yang diketahuinya.

Aku menyesap asap aroma pisang dari rokok eletrik yang sejak tadi di genggam, dengan antusias menggali informasi tentang Aruna dari Adit. Jelas saja, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk mengenalnya lebih jauh.

"Karena tidak sekufu. Suami Aruna itu lahir dari keluarga kaya, terpandang, dan cukup disegani di daerah gue. Sedangkan Aruna adalah anak dari keluarga serba kekurangan, katakanlah miskin. Dia diasuh oleh nenek dan kakeknya, orang tuanya cerai, yang gue dengar masing-masing dari mereka sudah menikah lagi dan hidup bahagia dengan keluarga barunya tanpa memperdulikan Aruna"

Adit menjeda cerita, menyesap kembali asap nikotin dari rokok yang tinggal setengah, sesekali menyeruput kopi, menciptakan perpaduan serasi antara nikotin dan cafein.

"Terus?" tanyaku semakin penasaran.

"Bastian minggat dari rumah, dia memilih Aruna dan melepas keluarganya. Terus Ibunya jatuh sakit, tapi dia tetap tidak mau pulang sampai mendapat restu. Mereka akhirnya mengizinkan Bastian dan Aruna menikah, tapi dengan restu yang terpaksa."

Aku tersentuh mendengar perjuangan Bastian mempertahankan Aruna. Ada desir yang tidak biasa di sini, di dalam hati yang tiba-tiba cemburu.

"Dari tadi lo nyebut Bastian, apa itu nama suami Aruna?" Kini tidak hanya satu pertanyaan yang membuat penasaran. Ada banyak, membuatku bingung harus mendahulukan yang mana.

"Iya, namanya Bastian Wardhani." jawab Adit.

"Terus, lo tau alasan kenapa Aruna di usir oleh keluarga Bastian?"

"Sebenarnya tidak diusir paksa. Yang gue dengar sih keluarga Bastian mengusir dia secara halus. Mungkin mereka takut Aruna akan menguasai rumahnya."

"Maksud lo, rumah yang ditinggali Bastian dan Aruna?" tanyaku heran.

"Iya,"

"Loh, kan itu rumah mereka."

"Salah bro, rumah itu dibangun pakai duit orang tuanya Bastian."

"Kan ada anaknya?"

"Ya, itulah yang membuat orang-orang ngga habis pikir."

Aku membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Aruna. Itu pasti menyakitkan. Dia masih berduka kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Harusnya, jika mereka tidak bisa meringankan beban, setidaknya jangan menambah masalah lain yang bisa membuat luka baru di hatinya.

Ini pasti tidak mudah untuk Aruna, tapi dia bisa melewatinya dengan baik. Setidaknya terlihat baik, entah bagaimana di dalam lubuk hatinya, hanya Aruna yang tahu.

Mendengar lebih banyak tentang Aruna membuatku bertambah kagum pun terpikat dengan kekuatan dan kerja kerasnya.

Aku tidak bertanya lagi, kurasa sudah cukup. Aku bisa mengetahui karakter Aruna dari cerita Adit.

Andai bisa, aku ingin memeluk semua kesedihannya. Menjadi pundak untuk dia bersandar. Menjadi pendengar yang baik dari setiap keluh kesahnya.

Andai bisa, aku ingin menjadi orang pertama yang dia cari saat merasa senang atau sedih. Membuat dia tertawa hingga lupa dengan sakit yang dirasakannya.

Bukankah manusia membutuhkan itu saat mereka terpuruk?

Bisa saja memendam segalanya sendiri, tapi itu akan membuat depresi. Seperti yang sedang dilakukan Aruna saat ini. Dia memamerkan senyum di hadapan banyak orang, tapi di dalamnya ada hati yang hancur, ada luka yang menganga.

"Woy, lo ngelamun Arsen?" Adit menepuk bahu, membuyarkan semua lamunanku, aku melihat dia yang tersenyum simpul, menghabiskan hisapan terakhir dari puntung rokok di jarinya.

"Lo ngomong apa barusan? Sorry, gue nggak denger."

Terlalu larut dalam lamunan, membuatku tidak mendengar apa yang ditanyakan oleh Adit barusan. M

"Kenapa lo penasaran tentang Aruna?" Adit bertanya serius, menelisik, mencari jawaban jujur dari mulutku.

"Tidak ada, hanya penasaran aja."

"Hey, ayolah. Gue sahabatan sama lo udah lama, gue yakin ini tidak biasa."

Adit memang pandai membaca hatiku, atau mungkin aku saja yang tidak pandai menyembunyikan perasaan.

Aku menceritakan kepadanya tentang pertemuan singkat dengan Aruna. Tentang bagaimana aku terpesona kepadanya. Adit mengangguk-angguk mendengarkan dengan seksama, sesekali menyeruput kopi yang hampir habis.

Aku mengagumi kecantikan Aruna, setelah mendengar kisah hidupnya, aku lebih tertarik kepada kepribadiannya.

Wanita baik hati yang dipaksa oleh takdir menjadi janda di usia muda. Pekerja keras dan mandiri, wanita kuat yang menyimpan luka di hatinya. Namun tetap berdiri tegar melawan semua kesedihan.

Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar kemampuannya, begitulah yang sering kudengar dari ceramah. Aruna salah satu manusia terpilih yang berkali-kali dihantam cobaan, menandakan bahwa dia manusia kuat.

Lalu apa kabarnya denganku? Sering mengeluhkan banyak hal saat aku masih bisa tidur di kamar mewah, di atas ranjang yang empuk.

Aku memiliki keluarga utuh, aku pun mendapat limpahan kasih sayang dari mereka.

Tuhan memberikan harta berlimpah tanpa kekurangan. Tapi aku masih tidak pandai bersyukur.

Sungguh aku malu!

'Aruna Rinjani', si pemilik nama itu sangat cekatan mengantarkan pesanan ke sana, ke mari.

Tidak jarang dia digoda oleh pengunjung yang genit. Memang susah bekerja di tempat seperti ini dengan wajah secantik itu.

Aruna tidak menanggapi satupun dari mereka. Dia terlihat dingin dan cuek, sikap yang sama saat aku memakai jasanya waktu itu.

"Sejak di usir oleh keluarga suaminya, dia tinggal di mana?"

Adit menggelengkan kepala, dia menyantap satu potongan kue ke dalam mulutnya.

"Katanya sih tinggal dengan kakaknya. Tapi gue nggak tau pasti rumah kakaknya dimana. Kabar Aruna mulai lenyap setelah dia pindah rumah." Jawab Adit dengan mulut penuh kue.

Sekarang giliranku yang mengangguk-angguk mendengarkan ceritanya.

Untunglah Aruna masih memiliki seseorang yang bisa diandalkan. Tidak bisa dibayangkan kalau dia tidak punya siapa-siapa. Bagaimana nasib dia dan anaknya?

Kenapa keluarga suaminya tidak memikirkan hal ini? Apakah mereka tidak perduli? Apakah mereka tidak memikirkan anaknya? Bagaimana mungkin mereka bisa setega itu mengusir Aruna tanpa belas kasihan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!