Jambret terpilu
Emir dan kawan-kawan sudah membawa jambret ke hadapan nenek-nenek yang mengaku kalau dompetnya dijambret, walaupun bukan barang berharga tapi itu adalah barang langka yang tidak dengan mudah mendapatkannya.
Emir dan kawan-kawannya menghampiri Pak Rudy yang duduk di sebelah pak sopir yang masih sibuk mendongkrak ban yang dibantu dengan Eko.
“Pak ini jambretnya mau kita apain?” tanya Emir yang masih memegang erat si tukang jambret agar tidak melarikan diri.
“Oh ya Emir dan semuanya terima kasih ya, sebentar lagi kita serahkan si jambret ini pada polisi” ujar Pak Rudy yang menakut-nakuti.
“Jangan pak, tolong saya tidak ingin dipenjara pak. Bagaimana dengan nasib anak saya pak nantinya?” pinta si tukang jambret dengan wajah yang memelas.
“Loh kenapa anda bertanya seperti itu pada saya? Seharusnya sebelum anda bertindak gegabah dengan menjadi pencuri bahkan seorang tukang jambret pikirkan dulu itu anak anda” ucapan Pak Rudy sangat mengena dihati tukang jambret tersebut.
“Ya pak, saya salah seharusnya saya berpikir dulu apabila saya ditangkap polisi pasti anak saya akan hidup sendirian dan nasibnya pasti akan sangat menyedihkan”
“Sudah berapa lama kamu beroperasi?” tanya Pak Rudy menyelidik.
“Baru sekali ini saja pak, itupun langsung ketangkap sama murid-murid anda pak”
“Itu Namanya kamu tidak boleh menjambret untuk memberi nafkah uang haram pada anakmu. Carilah uang halal aga barokah” tutur pak Rudy dan membuat si tukang jambret menganggukkan kepalanya.
“Bolehkah saya pulang pak? Pasti anak saya sekarang mencari keberadaan saya yang tak kunjung pulang. Apalagi anak saya belum makan dari tadi siang” pengakuan si tukang jambret membuat Pak Rudy, Emir, Daffa dan kawan-kawan yang lainnya merasa terharu dan menahan sesak di dada, kk masih ada ya orang yang hidup dibawah garis kemiskinan?
Pak Rudy berfikir sejenak sebelum mengambil keputusan untuk melepaskan si tukang jambret itu. Mungkin dengan melepaskannya dan memberi kesempatan untuk bertaubat dan berubah menjadi orang yang beriman itu lebih baik daripada memenjarakannya dan membuat anaknya semakin dalam kesusahan.
Pak Rudy menghampiri nenek tua yang kejambret tadi, setelah dipertimbangkan dia akan melepaskan pria tukang jambret itu demi anaknya yang masih kelaparan dan hidup sendirian di rumah menunggu bapaknya pulang membawa sebungkus nasi untuk dimakan berdua.
“Bu, saya mohon maaf jika saya tidak jadi melaporkan kasus laki-laki itu, saya memilih melepaskannya. Kasihan anaknya di rumah katanya kelaparan dan sendirian tiada teman” ucapan Pak Rudy menyadarkan nenek tua itu, akhirnya mau tidak mau nenek tua itu menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Baiklah nak kalau kamu merasa kasihan dengan anaknya yang di rumah, kamu boleh melepaskannya dengan syarat….” Perkataan nenek tua itu terjeda, ada baiknya jika usulnya diutarakan agar tidak terjadi korban berikutnya.
“Syarat apa yang harus saya penuhi nek?”
“Kamu antarkan orang ini sampai di rumahnya. Jika benar apa yang diucapkannya tadi, maka berikanlah bungkusan ini padanya agar dijadikan modal untuk apa saja yang penting halal dan tidak merugikan orang lain” nenek tua menyerahkan sebuah bungkusan di kantung kresek kecil yang warnanya hitam pada Pak Rudy.
“Baik nek terima kasih atas kepercayaannya. Kami berjanji jika lelaki itu bohong tentang kenyataannya kepada saya dan murid-muridd saya, maka saya berjanji akan menangkap dia dan menyerahkannya pada pihak yang berwajib”
Akhirnya Pak Rudy, Emir dan Daffa beserta para sahabatnya mengantarkan si tukang jambret it uke rumahnya yang letaknya tak jauh dari ujung jalan.
&&&
Pak Rudy beserta murid-muridnya sudah sampai di depan rumah si tukang jambret, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depannya. Rumah yang sangat kecil dan sudah agak miring dan lampu depan rumah yang tidak begitu terang semakin menambah kesan rumah yang kumuh.
Lantai rumah yang masih ori alias tanah masih terhampar tanpa alas yang halus seperti keramik lantai.
Kriet
Suara derit pintu dari rumah si tukang jambret yang terbuat entah dari kayu apa yang udah kelihatan rapuh, memang benar seperti ungkapan kejujuran dari si tukang jambret dengan keadaan yang dia alami sekarang ini.
“Mari masuk pak, anak-anak semuanya boleh masuk kok. Tapi jangan kaget ya keadaanny serba kurang dan serba lapuk”
Memang sangat miris melihat kondisinya si tukang jambret, ada seorang anak yang mungkin usianya sudah SD tapi masih terbaring tiduran di ranjang yang sudah kelihatan lapuk dimakan usia.
“Pak apakah anak yang tiduran itu anak bapak?” tanya Daffa yang ikut trenyuh melihat kondisi anak kecil tersebut.
“Ya nak, itu anak bapak satu-satunya. Istri bapak meninggalkan bapak dan anak kami saat usianya tiga tahun, dia malu karena memiliki anak yang cacat dan bisu. Yach mau tidak mau saya pun harus membesarkannya sendirian” tes, air mata si tukang jambret lolos begitu saja.
Si tukang jambret meraih tubuh anaknya yang tergolek di atas ranjangnya yang sudah using itu, memangku anaknya dan membuat sang anak tersenyum pasti adalah kebanggaan tersendiri untuk sang bapak, begitupun juga si tukang jambret.
“Oya pak, dari tadi ngomong terus tapi tidak tahu nama dari kita masing-masing, kenalkan saya Rudy, ini Daffa dan Emir juga mereka adalah para sahabatnya” ujar Pak Rudy sambal mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Iya pak, nama saya Santri, ini anak saya namanya Agus. Umurnya sudah tujuh tahun, seharusnya dia sudah bersekolah tapi berhubung keadaan anak saya yang seperti ini dan keadaan ekonomi saya yang dibawah garis rata-rata. Jangankan berobat, untuk makan saja saya masih kesusahan” jambret terpilu yang kisah hidupnya sangat pahit.
‘Namanya aja santri, tapi kelakuannya preman jalanan!’ gerutu Daffa dalam hati. “Astaghfirullah……” cepat-cepat Daffa baca istigfar, tidak baik ngatain orang kayak gitu, memang sebaiknya tidak menilai orang itu dari luarnya tapi juga dalam hatinya.
“Maaf pak apa sebenarnya bapak pernah jualan? Di teras depan saya kok melihat ada gerobak kecil?” tanya Emir sambal bergeser Pindak tempat duduk, pantatnya agak sedikit gatal dan sakit, apakah itu makhluk kecil ciptaan Tuhan yang masih setia di sofa yang sudah kelihatan tak pantas di taruh di ruang tamu.
“He……..he………….he………….saya pernah jualan pentol tapi terus berhenti karena nggak punya modal lagi” ucap pak Santri yang mengenang perjuangannya untuk menghidupi putra semata wayangnya.
“Gimana kalau saya kasih modal pak Santri untuk jualan lagi? Kasihan anak bapak jika diberi makan dari uang haram yang bapak hasilkan” Emir mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah yang bergambar pahlawan proklamator itu pada Pak Santri.
Hiks….hiks……..hiks……
“Terima kasih nak, saya sangat terharu jadi saya nangis dibuatnya. Saya janji nak akan mencari uang dengan jalan yang halal, kasihan anak saya yang sudah cacat tapi saya kasih makan uang haram” pak Santri terkekeh sendiri asking bahagianya.
“Oh ya pak, ini juga ada titipan dari nenek tua yang sudah anda jambret tadi, nggak tau itu isinya apa, nanti boleh anda buka setelah kami sudah berjalan jauh” pinta pak Rudy, “Baiklah pak kalau begitu saya dan anak-anak permisi dulu, semoga uangnya bermanfaat untuk menyambung hidup bapak dan anak bapak dan memanfaatkan sebagai modal” lanjutnya lagi.
Pak Santri mengantar pak Rudy beserta murid-muridnya pulang hanya sampai ke teras rumah saja, dalam hati Pak santri sangat bersyukur sudah tidak dipenjara malah dapat tambahan rejeki berupa uang yang akan ia sisihkan untuk ditabung dan modal untuk membuat pentol seperti dulu.
&&&
Dhiva ikut mendorong gerobak milik Bu marni sambil terengah-enagh nafasnya, mingkin kecapekan karena biasanya Daffa yang akan membawa gerobak jualannya sampai di rumah
“Dhiva sudah, kamu boleh kok pulang duluan jika udah capek mendorong bareng ibu”
“Nggak kok bu, aku malah seneng bisa menjaga ibu walaupun tidak bisa seperti kakak karena kakak laki-laki sedang aku hanya anak perempuan”
“Udah jangan sedih sayang, kalian berdua itu yang terbaik buat ibu” ucap Bu Marni yang masih mendorong gerobaknya.
Dari ujung jalan ada gerombolan ibu-ibu yang berjalan mungkin dari jamaah dis ebuah masjid yang tak jauh dari jalan raya ini.
“Bu Marni baru pulang ya?” tanya salah satu dari gerombolan para emak-emak yang berjalan ke arahnya.
“Oya, baru usai berdagang” jawab Bu Marni singkat.
“Ini Dhiva ya yang ikut jualan ya ? Kenapa nggak Daffa aja yang masih aja jadi pengangguran sampai sekarang?” celetuk salah seorang wanita yang bertubuh gemuk.
“Eh jeng bener itu anaknya tukang jualan gado-gado? Kok nggak ada mirip-mirippnya sama ibunya?” bisik salah satu diantaranya itu juga mengadu ke yang lain.
Bu Marni tak ambil pusing dengan omongan orang lain, yang dirinya dan kedua anak sambungnya sudah sangat merindukan dengan makanan kampung.
“Sayangnya ibu, coba gih telfon kakak kamu. Apakah mendapat juara ataukah tidak, yang penting kakak kamu itu selamat sampai tujan” bu Marni menyemangati Dhiva agar segera mengabari kakaknya.
“Halo kakak………..halo…………….halo……………..”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments