Bagi Galuh, tak masalah jika pakaiannya basah kuyup karena kehujanan. Toh ia masih punya baju ganti di lokernya. Ia juga mengerti tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri ketika berada di dalam angkot, rambut panjangnya bau asap rokok penumpang lainnya. Ia juga tidak mengeluh ketika kalah cepat dengan calon penumpang lain, meski sama-sama berdiri menunggu.
Tapi semua itu terjadi dalam satu hari ini, Galuh mengesah pelan. Sungguh, tak bisakah semesta memberinya jeda?
Ditambah lagi kejadian barusan, ia harus menahan malu karena benda pribadi pilihannya berada di tangan seorang pria asing.
Galuh merasa lantai yang dipijaknya saat itu ditarik dari bawah tubuhnya, ketika ia menatap wajah lelaki di hadapannya itu. Sorot matanya seperti sedang menertawakan dirinya dan bibir tipis itu tak berhenti tersenyum.
Galuh mencondongkan tubuh ke belakang, dengan sebelah kaki menekuk di lantai. Dengan gerakan cepat ia menyambar benda segitiga miliknya dari tangan laki-laki di hadapannya itu.
“Lancang!” Galuh mendelik marah, bergegas berdiri dan menyembunyikan benda miliknya itu di balik punggungnya.
Dari balik dinding ruangan yang tak terlihat mata Galuh, Luna dan Meldy terus memperhatikan ketegangan yang terjadi di depannya. Luna bahkan tak dapat menahan tawanya, melihat Galuh yang sibuk menyembunyikan segitiga miliknya membuat Meldy bergerak cepat menutup mulut sahabatnya itu dengan tangannya.
“Ssttt, ketawa lo bisa direm gak. Kalau begini caranya, kita bakal ketahuan sama Galuh!”
“Maaf, tapi beneran Aku gak tahan. Sumpah, keram perutku Mel. Bisa-bisanya mereka berdebat soal begituan,” sahut Luna.
“Tapi itu cowok sepertinya Aku kenal?” Meldy menajamkan pandangannya, suara Galuh dan lelaki itu terdengar jelas di telinganya. Sepertinya lelaki itu tidak terima dengan ucapan Galuh padanya.
“Hei, Aku tidak bermaksud mengambilnya darimu. Benda ini jatuh tepat di bawah kakiku,” sanggahnya, lalu tak lama kemudian senyumnya berubah menjadi tawa. “Tapi harus Aku akui, seleramu bagus juga.”
Astaga!
Wajah Galuh merah padam, malu setengah mati. Lelaki di depannya itu bicara tanpa beban padanya. “Kamu ... Haish, menyebalkan!”
Tak ingin menjadi bahan tontonan rekan-rekannya yang sudah berdatangan di tempat itu, Galuh balik badan meninggalkan laki-laki itu dan berjalan cepat menuju meja kasir sambil terus merutuk dalam hati.
Masih sempat didengarnya tawa renyah lelaki di belakangnya. “Ish, bikin malu aja. Ngapain juga pakai acara nabrak itu cowok segala.”
“Kenapa Luh, cemberut gitu mukanya?” tanya Ayu, kasir senior di tempat kerjanya.
“Ada cowok rese barusan, Mbak. Sok tau selera orang!”
Ayu senyum dikulum, dari balik meja kerjanya ia bisa melihat apa yang terjadi pada Galuh di sana. “Pasti rese gara-gara ini kan?”
“Kok Mbak Ayu bisa tau, sih.”
“Mata sama telinga Aku ada radarnya,” jawab Ayu setengah berbisik.
“Dih, Mbak Ayu bisa aja. Dah ah, Aku mau ganti dulu.” Galuh menyambar tas kecil di meja kasir, lalu berjalan memutar menuju pintu khusus karyawan yang berada di sudut ruangan.
“Za, lo ngapain di sini? Dicari dari tadi gak taunya malah anteng di sini.”
Dua lelaki muda datang menghampiri Reza, pria yang baru saja bersitegang dengan Galuh.
“Wah, bahaya teman kita yang satu ini. Kayaknya otak mesum lo lagi on fire sekarang. Lo nyadar gak sih di sekeliling lo benda apaan?” tunjuk Aldy pada manekin yang berada tepat di samping Reza.
Bugh! Satu kepalan kuat tangan Reza mendarat sempurna di lengannya, membuat Aldy meringis sambil memegangi tangannya.
“Gue sadar banget, Al. Lo kalau mau ngomong mending dipikir dulu, deh. Kalau gak tau masalahnya mending mingkem!” sembur Reza.
Danil langsung merangkul bahu Reza, “Tenang, Bro. Lo punya masalah apa sampai harus ke stan ini. Cerita deh sama kita.”
“Sorry Za, Gue canda barusan. Lo serius amat nanggapinnya,” ucap Aldy meminta maaf seraya menepuk bahu Reza.
“Lo kalau minta maaf ya minta maaf aja, gak usah banyak alasan segala!”
“Dih, ngambekan jadi cowok.”
Danil hanya menggelengkan kepala melihat sikap kedua sahabatnya itu, mereka lalu berjalan menuju kafe yang ada di mall.
“Kalian ingat cewek yang basah kecipratan mobil gue pas hujan tadi siang? Gue penasaran, nah barusan ketemu. Ternyata itu cewek kerja di mall ini,” jelas Reza, ketika mereka sudah berada di kafe mall menikmati secangkir kopi.
“Karyawan bokap lo dong, Za.”
Reza mengedikkan bahunya, “Maybe yes, maybe No. Soalnya Gue gak lihat seragam dia, bajunya masih putih hitam.”
“Lo tertarik sama itu cewek? Tumben perhatian. Biasa juga cuek, ini kecipratan dikit langsung turun nyamperin!” Aldy melirik sahabatnya itu yang sedang menatap ke luar, semakin sore semakin banyak pengunjung yang datang ke mall meski hanya sekedar untuk jalan-jalan.
“Entahlah, mungkin hanya rasa penasaran saja.” Reza tersenyum tipis. Melihat Galuh ia seolah melihat seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang begitu berarti baginya dan selalu mengisi hari-harinya, namun hubungan mereka harus berakhir.
Rencana pernikahan gagal, setelah pengakuan Reza tentang dirinya yang tersimpan rapat selama ini membuat kekasihnya itu berpikir ulang tentang hubungan mereka selama ini dan pada akhirnya memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan mereka.
Sementara Galuh yang sudah berganti pakaian dan bersiap ke stan pakaian tempatnya bekerja harus menahan diri dari serbuan pertanyaan kedua sahabatnya yang penasaran dengan Reza. Terutama Meldy yang mengetahui kalau Reza adalah pemilik kafe tempat biasa ia nongkrong dengan teman-teman komunitasnya.
“Serius Kamu gak pernah ketemu Reza?” tanya Meldy setengah tak percaya.
“Serius Mel, Aku beneran gak tau siapa dia. Ketemu barusan tadi, itu juga gara-gara insiden renda biru.” Galuh mencebik mengingat kejadian siang tadi.
“Sekarang Kamu sudah tahu siapa dia, berminat gak buat mengenal dia lebih jauh lagi?” Meldy bertanya sambil merapikan letak pakaian di dalam rak.
Galuh menggeleng kuat, “Tujuan Aku ke kota ini buat bekerja, cari duit buat bantu orang tuaku di kampung juga buat bantu biaya adikku yang masih sekolah. Aku belum kepikiran buat dekat sama yang namanya cowok.”
“Yess, Aku setuju. Fokus buat bantu keluarga dulu, itu jauh lebih penting ketimbang sibuk mikir soal asmara. Kalau memang jodoh pasti gak akan ke mana juga,” sambung Luna mengacungkan jempolnya.
“Tumben kali ini omongan Kamu bener, Lun. Biasanya suka ngaco!”
Luna meringis dan Galuh tertawa mendengarnya, bayangan wajah ibunya terpampang jelas di depan mata. Tiba-tiba rasa kangen menguasai hatinya. Sudah hampir tiga bulan ini ia tidak pulang kampung. Dan esok hari ibunya akan datang menjenguknya.
Galuh Nanda
Fahreza Raka Mahendra
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Allent
😂😂😂
2022-11-16
1
Moba Analog
😎😎😎
2022-11-16
1
Maya
🤭🤭🤭
2022-11-16
2