If Tomorrow Never Come
Huuhh! Galuh mengembuskan napas sembari mengusap peluh yang membasahi kening dan lehernya, duduk berselonjor kaki di lantai kamar beralas keramik yang baru selesai dibersihkan.
Hanya tinggal memasang seprai dan kain korden, ruangan itu siap untuk ditempati. Sementara perutnya mulai demo minta diisi, karena sejak pagi ia hanya sarapan sebungkus roti dan air putih saja.
Jarum jam di dinding menunjuk pada angka 11, ia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaannya karena jam dua siang nanti ia harus pergi bekerja.
Galuh memutuskan untuk pindah dan mencari rumah kontrakan baru yang lebih besar dari rumah kos lamanya agar bisa menampung keluarganya yang akan datang dari kampung esok hari.
Tidak terasa sudah hampir tiga jam ia berada di sana. Dan sudah lebih dari tiga hari ini, Galuh harus mondar-mandir untuk memindahkan barang-barangnya yang masih tersisa ke rumah kontrakan barunya.
Beruntung ia memiliki tetangga sopir toko mebel yang setiap hari membawa pulang mobil dan bersedia membantunya, sehingga dua hari sebelumnya barang-barang berat miliknya sudah selesai dipindahkan semua.
Kini ia bisa bebas tinggal di rumah kontrakannya sendiri, melakukan semua hal sesuka hati tanpa takut ada yang terganggu karenanya.
Tok tok ...
Terdengar suara ketukan di pintu diiringi dengan ucapan salam. Galuh mengangkat bokongnya, beranjak berdiri seraya membalas ucapan salam lalu bergegas membuka pintu.
Di teras rumah tampak seorang remaja putri masih memakai seragam putih biru tersenyum malu-malu padanya dengan tangan membawa nampan berisi makanan.
“Dari ibu di rumah,” ucapnya sembari menyerahkan nampan di tangannya pada Galuh.
“Alhamdulillah, dapat rezeki. Memang ada acara apa kok bagi-bagi berkat?”
“Ada syukuran kecil-kecilan buat abang Revan udah diterima kerja di perusahaan asing.”
“Weh, keren dong. Gak gampang loh bisa keterima kerja di sana,” puji Galuh tulus. “Ayo masuk dulu. Kamu bukannya anak ibu Aci, yang punya rumah kontrakan ini kan?” tanya Galuh memastikan, setelah menaruh nampan di atas meja bulat yang ada di tengah ruangan.
“Iya, Kak. Namaku Wendy,” ujarnya memperkenalkan diri, lalu mengulurkan tangannya.
“Aku Galuh,” balas Galuh menjabat tangan Wendy. “Bentar ya, Aku salin dulu makanannya. Ehm, buru-buru gak nih biar Aku cuci sekalian piringnya?”
“Gak usah dicuci, Kak. Soalnya masih mau keliling kasih buat tetangga yang lain.”
“Ya udah, kalau gitu tunggu sebentar ya.”
Galuh segera memindahkan makanan ke wadah lain, lalu menyerahkan nampan yang sudah kosong kembali ke tangan Wendy. “Coklat buat Kamu, sampaikan juga sama Ibu terima kasih banyak. Moga berkah, lancar rezekinya.”
“Amin, makasih Kak.” Wendy tersenyum lebar seraya mengacungkan coklat batangan pemberian Galuh padanya. “Aku pamit ya, Kak. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Galuh menutup pintu dan berbalik menuju dapur rumah, tersenyum lebar melihat makanan di atas meja lalu kembali mengucap syukur. “Alhamdulillah, rezeki hari pertama pindah rumah! Bismillah.” Galuh membasuh tangan dan mulai menyantap makanannya.
Satu jam kemudian Galuh sudah selesai membereskan rumah barunya, tersenyum puas menatap ruangan yang rapi dan bersih tentunya.
Sekarang waktunya untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat kerja. Masih ada makanan yang tersisa, Galuh menaruhnya dalam kotak makan untuk bekalnya nanti malam.
Tiin tiin ...
Galuh memundurkan tubuhnya dan menepi ke pinggir jalan ketika sebuah mobil berhenti tiba-tiba tepat di depannya. Dari balik kaca jendela mobil yang terbuka dilihatnya Wendy melambaikan tangan ke arahnya. “Kak Galuh! Kakak mau ke mana?” seru Wendy lantang memanggil namanya.
“Wendy!” Galuh berjalan cepat menghampiri.
“Rapi banget, Kakak mau kerja?”
“Iya nih, shif malam. Kalian mau ke mana?”
“Kami mau ambil makanan pesanan ibu buat acara nanti malam di daerah Rapak Indah, Kakak bareng kami aja yuk, sekalian biar dianter bang Revan. Kan ngelewatin tempat kerja Kakak, mau ya Kak?” ajak Wendy.
“Dek, Abang mesti buru-buru mau jemput Mitha juga di rumahnya, nih dari tadi telepon terus orangnya.” Lelaki di samping Wendy menyela ucapannya tanpa melihat pada Galuh yang berdiri setengah menundukkan bahunya di depan mobilnya.
“Mendung, Bang Revan. Coba lihat langit, gelap gitu. Kasihan kan Kak Galuh harus jalan jauh nunggu angkot di depan sana, mending bareng kita. Searah kan!”
“Sstt!” ucap Revan memberi tanda untuk diam pada adiknya itu. “Ya, sayang. Sepuluh menit lagi Aku nyampe rumah Kamu, ini lagi di jalan. Sabar ya,” ucapnya terdengar lembut, lalu tak lama kemudian ia menutup teleponnya dan wajah itu kembali datar menatap ke arah jalanan di depannya.
Galuh hanya diam memperhatikan perdebatan dua orang kakak beradik di depannya itu, ia memutuskan tidak mengikuti ajakan Wendy untuk naik ke dalam mobilnya.
“Ya udah, buruan naik. Keburu hujan nanti!” suara Revan terdengar lagi. Kali ini ia menatap langit yang terlihat menghitam dan membenarkan ucapan adiknya itu, lalu beralih menatap Galuh yang masih berdiri diam di tempatnya. “Ayo, kok bengong?”
“Ayo, Kak. Bareng kami aja.”
Galuh tersenyum tipis, “Terima kasih, tapi lebih baik Aku naik angkot saja. Kebetulan ada teman satu kerjaan lagi nunggu juga di sana, bye!”
Galuh berjalan cepat meninggalkan keduanya, sedikit kesal dengan sikap Revan padanya. “Mau ngajak bareng saja pakai acara debat segala, niat gak sih!” rutuk Galuh dalam hati.
Di dalam mobil, Wendy melancarkan aksi protes pada Revan. “Abang itu gimana sih, Adek kan jadi malu sama kak Galuh. Sudah maksa ikut bareng kita, eh malah gak jadi.”
“Lah, kok jadi nyalahin Abang sih. Dia yang nolak, kok.”
“Emang Abang yang salah! Dah lah, lanjut jalan. Entar si ayang ngambek lagi kelamaan dijemputnya!” cibir Wendy, sebal dengan sikap abangnya yang bucin parah sama pacarnya.
Revan kembali melajukan mobilnya, dari balik spion mobilnya ia melihat Galuh berjalan cepat di sisi jalan raya. Sempat ingin berhenti dan menawarkan tumpangan lagi, tapi terpaksa ditahannya karena melihat wajah masam adiknya yang duduk di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Maaf, lain kali gak bakal gitu lagi. Janji!” rayunya memasang senyum semanis mungkin.
“Telat!” jawab Wendy ketus.
“Astaga!” Revan menggelengkan kepala sambil menarik napas dalam seraya mengusap dada.
Sementara Galuh, berhenti sejenak untuk menunggu angkot lewat. Saat tiba di depannya, angkot itu telah penuh penumpang yang kebanyakan adalah pelajar yang baru pulang sekolah.
“Ayo Neng, masih muat kok. Hei, itu yang duduk di belakang bisa geser dikit biar si Eneng masuk!” perintah sopir angkot.
Galuh celingukan, perutnya tiba-tiba mual. Bau asap rokok dari salah satu penumpang menerpa wajahnya. Galuh langsung mundur selangkah, “Gak jadi, biar Saya naik yang lain aja.”
“Yaah, si Eneng!”
“Ayo jalan, Pir. Penuh gini masih aja dibilang muat, mau ditaruh di mana. Di atap?” protes penumpang lainnya, membuat sang sopir hanya bisa nyengir.
“Oke lanjut!”
Tik tik ...
Galuh menengadah, seketika matanya menyipit saat tetes hujan mengenai wajahnya.
“Yaah, hujan!”
Hanya berselang dua menit, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Galuh berlari kecil menuju halte yang hanya berjarak beberapa meter saja darinya itu untuk berteduh, sembari menutup kepalanya dengan tas ransel yang dibawanya. Rambutnya yang panjang berombak basah kehujanan, dengan gusar disibaknya agar tak menutupi pandangan matanya.
Byurr!
Galuh memalingkan wajahnya cepat, tidak sempat menghindar lagi saat sebuah mobil berwarna hitam melintasi genangan air di dekatnya dan memercik tepat mengenai pakaian yang dikenakannya.
“Asyemm!” umpat Galuh kesal sambil mengepalkan tangan kuat.
Seorang laki-laki memakai jaket hoody dengan kacamata hitam dan masker di wajahnya turun menghampirinya. “Maaf, Aku gak sengaja. Pakaian Kamu jadi basah semua, di mana rumahmu. Biar Aku antar ke sana,” ucap lelaki itu tanpa melepas masker di wajahnya.
“Gak perlu, Aku bisa pulang sendiri. Taksi!” tolak Galuh dan langsung mengangkat tangannya saat melihat sebuah angkot lewat di depannya dan langsung masuk ke dalamnya meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri diam di tempatnya.
“Woi Za, ayo balik. Kayak bocah aja lo pakai acara hujan-hujanan segala!” suara lain memanggilnya dari dalam mobil, lelaki itu tersadar dan berlari menuju mobilnya.
Di dalam angkot, Galuh sudah tidak peduli harus berdesakan dengan penumpang lain. Pikirannya saat ini bagaimana mencari cara agar ia bisa cepat sampai di tempat kerjanya dan terhindar dari kemarahan pak Susilo atasannya. Membayangkannya saja membuat tubuhnya lemas seketika.
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ilham Risa
hadir kak, jodoh Galuh udah dateng kayak nya😂
2023-01-31
0
wong
hadir thor
2022-11-09
1
Brav Movie
hadir
2022-11-09
1