If Tomorrow Never Come

If Tomorrow Never Come

Bab 1. Hujan

Huuhh! Galuh mengembuskan napas sembari mengusap peluh yang membasahi kening dan lehernya, duduk berselonjor kaki di lantai kamar beralas keramik yang baru selesai dibersihkan.

Hanya tinggal memasang seprai dan kain korden, ruangan itu siap untuk ditempati. Sementara perutnya mulai demo minta diisi, karena sejak pagi ia hanya sarapan sebungkus roti dan air putih saja.

Jarum jam di dinding menunjuk pada angka 11, ia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaannya karena jam dua siang nanti ia harus pergi bekerja.

Galuh memutuskan untuk pindah dan mencari rumah kontrakan baru yang lebih besar dari rumah kos lamanya agar bisa menampung keluarganya yang akan datang dari kampung esok hari.

Tidak terasa sudah hampir tiga jam ia berada di sana. Dan sudah lebih dari tiga hari ini, Galuh harus mondar-mandir untuk memindahkan barang-barangnya yang masih tersisa ke rumah kontrakan barunya.

Beruntung ia memiliki tetangga sopir toko mebel yang setiap hari membawa pulang mobil dan bersedia membantunya, sehingga dua hari sebelumnya barang-barang berat miliknya sudah selesai dipindahkan semua.

Kini ia bisa bebas tinggal di rumah kontrakannya sendiri, melakukan semua hal sesuka hati tanpa takut ada yang terganggu karenanya.

Tok tok ...

Terdengar suara ketukan di pintu diiringi dengan ucapan salam. Galuh mengangkat bokongnya, beranjak berdiri seraya membalas ucapan salam lalu bergegas membuka pintu.

Di teras rumah tampak seorang remaja putri masih memakai seragam putih biru tersenyum malu-malu padanya dengan tangan membawa nampan berisi makanan.

“Dari ibu di rumah,” ucapnya sembari menyerahkan nampan di tangannya pada Galuh.

“Alhamdulillah, dapat rezeki. Memang ada acara apa kok bagi-bagi berkat?”

“Ada syukuran kecil-kecilan buat abang Revan udah diterima kerja di perusahaan asing.”

“Weh, keren dong. Gak gampang loh bisa keterima kerja di sana,” puji Galuh tulus. “Ayo masuk dulu. Kamu bukannya anak ibu Aci, yang punya rumah kontrakan ini kan?” tanya Galuh memastikan, setelah menaruh nampan di atas meja bulat yang ada di tengah ruangan.

“Iya, Kak. Namaku Wendy,” ujarnya memperkenalkan diri, lalu mengulurkan tangannya.

“Aku Galuh,” balas Galuh menjabat tangan Wendy. “Bentar ya, Aku salin dulu makanannya. Ehm, buru-buru gak nih biar Aku cuci sekalian piringnya?”

“Gak usah dicuci, Kak. Soalnya masih mau keliling kasih buat tetangga yang lain.”

“Ya udah, kalau gitu tunggu sebentar ya.”

Galuh segera memindahkan makanan ke wadah lain, lalu menyerahkan nampan yang sudah kosong kembali ke tangan Wendy. “Coklat buat Kamu, sampaikan juga sama Ibu terima kasih banyak. Moga berkah, lancar rezekinya.”

“Amin, makasih Kak.” Wendy tersenyum lebar seraya mengacungkan coklat batangan pemberian Galuh padanya. “Aku pamit ya, Kak. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Galuh menutup pintu dan berbalik menuju dapur rumah, tersenyum lebar melihat makanan di atas meja lalu kembali mengucap syukur. “Alhamdulillah, rezeki hari pertama pindah rumah! Bismillah.” Galuh membasuh tangan dan mulai menyantap makanannya.

Satu jam kemudian Galuh sudah selesai membereskan rumah barunya, tersenyum puas menatap ruangan yang rapi dan bersih tentunya.

Sekarang waktunya untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat kerja. Masih ada makanan yang tersisa, Galuh menaruhnya dalam kotak makan untuk bekalnya nanti malam.

Tiin tiin ...

Galuh memundurkan tubuhnya dan menepi ke pinggir jalan ketika sebuah mobil berhenti tiba-tiba tepat di depannya. Dari balik kaca jendela mobil yang terbuka dilihatnya Wendy melambaikan tangan ke arahnya. “Kak Galuh! Kakak mau ke mana?” seru Wendy lantang memanggil namanya.

“Wendy!” Galuh berjalan cepat menghampiri.

“Rapi banget, Kakak mau kerja?”

“Iya nih, shif malam. Kalian mau ke mana?”

“Kami mau ambil makanan pesanan ibu buat acara nanti malam di daerah Rapak Indah, Kakak bareng kami aja yuk, sekalian biar dianter bang Revan. Kan ngelewatin tempat kerja Kakak, mau ya Kak?” ajak Wendy.

“Dek, Abang mesti buru-buru mau jemput Mitha juga di rumahnya, nih dari tadi telepon terus orangnya.” Lelaki di samping Wendy menyela ucapannya tanpa melihat pada Galuh yang berdiri setengah menundukkan bahunya di depan mobilnya.

“Mendung, Bang Revan. Coba lihat langit, gelap gitu. Kasihan kan Kak Galuh harus jalan jauh nunggu angkot di depan sana, mending bareng kita. Searah kan!”

“Sstt!” ucap Revan memberi tanda untuk diam pada adiknya itu. “Ya, sayang. Sepuluh menit lagi Aku nyampe rumah Kamu, ini lagi di jalan. Sabar ya,” ucapnya terdengar lembut, lalu tak lama kemudian ia menutup teleponnya dan wajah itu kembali datar menatap ke arah jalanan di depannya.

Galuh hanya diam memperhatikan perdebatan dua orang kakak beradik di depannya itu, ia memutuskan tidak mengikuti ajakan Wendy untuk naik ke dalam mobilnya.

“Ya udah, buruan naik. Keburu hujan nanti!” suara Revan terdengar lagi. Kali ini ia menatap langit yang terlihat menghitam dan membenarkan ucapan adiknya itu, lalu beralih menatap Galuh yang masih berdiri diam di tempatnya. “Ayo, kok bengong?”

“Ayo, Kak. Bareng kami aja.”

Galuh tersenyum tipis, “Terima kasih, tapi lebih baik Aku naik angkot saja. Kebetulan ada teman satu kerjaan lagi nunggu juga di sana, bye!”

Galuh berjalan cepat meninggalkan keduanya, sedikit kesal dengan sikap Revan padanya. “Mau ngajak bareng saja pakai acara debat segala, niat gak sih!” rutuk Galuh dalam hati.

Di dalam mobil, Wendy melancarkan aksi protes pada Revan. “Abang itu gimana sih, Adek kan jadi malu sama kak Galuh. Sudah maksa ikut bareng kita, eh malah gak jadi.”

“Lah, kok jadi nyalahin Abang sih. Dia yang nolak, kok.”

“Emang Abang yang salah! Dah lah, lanjut jalan. Entar si ayang ngambek lagi kelamaan dijemputnya!” cibir Wendy, sebal dengan sikap abangnya yang bucin parah sama pacarnya.

Revan kembali melajukan mobilnya, dari balik spion mobilnya ia melihat Galuh berjalan cepat di sisi jalan raya. Sempat ingin berhenti dan menawarkan tumpangan lagi, tapi terpaksa ditahannya karena melihat wajah masam adiknya yang duduk di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Maaf, lain kali gak bakal gitu lagi. Janji!” rayunya memasang senyum semanis mungkin.

“Telat!” jawab Wendy ketus.

“Astaga!” Revan menggelengkan kepala sambil menarik napas dalam seraya mengusap dada.

Sementara Galuh, berhenti sejenak untuk menunggu angkot lewat. Saat tiba di depannya, angkot itu telah penuh penumpang yang kebanyakan adalah pelajar yang baru pulang sekolah.

“Ayo Neng, masih muat kok. Hei, itu yang duduk di belakang bisa geser dikit biar si Eneng masuk!” perintah sopir angkot.

Galuh celingukan, perutnya tiba-tiba mual. Bau asap rokok dari salah satu penumpang menerpa wajahnya. Galuh langsung mundur selangkah, “Gak jadi, biar Saya naik yang lain aja.”

“Yaah, si Eneng!”

“Ayo jalan, Pir. Penuh gini masih aja dibilang muat, mau ditaruh di mana. Di atap?” protes penumpang lainnya, membuat sang sopir hanya bisa nyengir.

“Oke lanjut!”

Tik tik ...

Galuh menengadah, seketika matanya menyipit saat tetes hujan mengenai wajahnya.

“Yaah, hujan!”

Hanya berselang dua menit, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Galuh berlari kecil menuju halte yang hanya berjarak beberapa meter saja darinya itu untuk berteduh, sembari menutup kepalanya dengan tas ransel yang dibawanya. Rambutnya yang panjang berombak basah kehujanan, dengan gusar disibaknya agar tak menutupi pandangan matanya.

Byurr!

Galuh memalingkan wajahnya cepat, tidak sempat menghindar lagi saat sebuah mobil berwarna hitam melintasi genangan air di dekatnya dan memercik tepat mengenai pakaian yang dikenakannya.

“Asyemm!” umpat Galuh kesal sambil mengepalkan tangan kuat.

Seorang laki-laki memakai jaket hoody dengan kacamata hitam dan masker di wajahnya turun menghampirinya. “Maaf, Aku gak sengaja. Pakaian Kamu jadi basah semua, di mana rumahmu. Biar Aku antar ke sana,” ucap lelaki itu tanpa melepas masker di wajahnya.

“Gak perlu, Aku bisa pulang sendiri. Taksi!” tolak Galuh dan langsung mengangkat tangannya saat melihat sebuah angkot lewat di depannya dan langsung masuk ke dalamnya meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri diam di tempatnya.

“Woi Za, ayo balik. Kayak bocah aja lo pakai acara hujan-hujanan segala!” suara lain memanggilnya dari dalam mobil, lelaki itu tersadar dan berlari menuju mobilnya.

Di dalam angkot, Galuh sudah tidak peduli harus berdesakan dengan penumpang lain. Pikirannya saat ini bagaimana mencari cara agar ia bisa cepat sampai di tempat kerjanya dan terhindar dari kemarahan pak Susilo atasannya. Membayangkannya saja membuat tubuhnya lemas seketika.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Terpopuler

Comments

Ilham Risa

Ilham Risa

hadir kak, jodoh Galuh udah dateng kayak nya😂

2023-01-31

0

wong

wong

hadir thor

2022-11-09

1

Brav Movie

Brav Movie

hadir

2022-11-09

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. Hujan
2 Bab 2. Segitiga biru
3 Bab 3. Kangen
4 Bab 4. Assyeeem!
5 Bab 5. Ngantuk
6 Bab 6. Best friend forever
7 Bab 7. Penasaran
8 Bab 8. Kesal
9 Bab 9. Hanya ingin mengenalnya
10 Bab 10. Mules
11 Bab 11. Maunya Reza
12 Bab 12. Marah
13 Bab 13. Penasaran
14 Bab 14. Kamu lagi!
15 Bab 15. Tanya dalam hati
16 Bab 16. Meeting dadakan
17 Bab 17. Pertanyaan Reza
18 Bab 18. Asisten pribadi
19 Bab 19. Jawaban sebuah pertanyaan
20 Bab 20. Kecewa
21 Bab 21. Bertemu kamu lagi di sini
22 Bab 22. Diculik
23 Bab 23. Alasan sebenarnya
24 Bab 24. Meyakinkan calon istri
25 Bab 25. Because I love you
26 Bab 26. Gelisah
27 Bab 27. Tak bisa menghindar lagi
28 Bab 28. Calon suami
29 Bab 29. Mencoba menerima
30 Bab 30. Baik-baik saja
31 Bab 31. Fall in love with you
32 Bab 32. Modus Abang Reza
33 Bab 33. Cuti lebih cepat
34 Bab 34. Pulang
35 Bab 35. Bantuan Reza
36 Bab 36. Jalan-jalan
37 Bab 37. Pulang bareng
38 Bab 38. Undangan di rumah Reza
39 Bab 39. Berubah pikiran
40 Bab 40. Status sosial
41 Bab 41. Menjadi pelayan dadakan
42 Bab 42. Air tumpah
43 Bab 43. Pandangan orang
44 Bab 44. Pertengkaran
45 Bab 45. Dipanggil menghadap bos besar
46 Bab 46. Promosi jabatan
47 Bab 47. Lihat saja nanti
48 Bab 48. Takut khilaf lagi
49 Bab 49. She's my only one
50 Bab 50. Waktu untuk berpikir
51 Bab 51. Dilema
52 Bab 52. Kapan Kau mau menikah denganku?
53 Bab 53. Kenyataan yang sebenarnya
54 Bab 54. Rencana pernikahan
55 Bab 55. Menuju hari H
56 Bab 56. SAH
57 Bab 57. Mencintaimu
58 Bab 58. Merah kebiruan
59 Bab 59. Tamu bulanan
60 Bab 60. Mual-mual
61 Bab 61. Dua kabar berbeda
62 Bab 62. Oma kritis
63 Bab 63. Berharap untuk kesembuhan oma
64 Bab 64. Yang pergi untuk selamanya
65 Bab 65. Sakit parah
66 Bab 66. Tolong selamatkan suamiku
67 Bab 67. Rindu padanya
Episodes

Updated 67 Episodes

1
Bab 1. Hujan
2
Bab 2. Segitiga biru
3
Bab 3. Kangen
4
Bab 4. Assyeeem!
5
Bab 5. Ngantuk
6
Bab 6. Best friend forever
7
Bab 7. Penasaran
8
Bab 8. Kesal
9
Bab 9. Hanya ingin mengenalnya
10
Bab 10. Mules
11
Bab 11. Maunya Reza
12
Bab 12. Marah
13
Bab 13. Penasaran
14
Bab 14. Kamu lagi!
15
Bab 15. Tanya dalam hati
16
Bab 16. Meeting dadakan
17
Bab 17. Pertanyaan Reza
18
Bab 18. Asisten pribadi
19
Bab 19. Jawaban sebuah pertanyaan
20
Bab 20. Kecewa
21
Bab 21. Bertemu kamu lagi di sini
22
Bab 22. Diculik
23
Bab 23. Alasan sebenarnya
24
Bab 24. Meyakinkan calon istri
25
Bab 25. Because I love you
26
Bab 26. Gelisah
27
Bab 27. Tak bisa menghindar lagi
28
Bab 28. Calon suami
29
Bab 29. Mencoba menerima
30
Bab 30. Baik-baik saja
31
Bab 31. Fall in love with you
32
Bab 32. Modus Abang Reza
33
Bab 33. Cuti lebih cepat
34
Bab 34. Pulang
35
Bab 35. Bantuan Reza
36
Bab 36. Jalan-jalan
37
Bab 37. Pulang bareng
38
Bab 38. Undangan di rumah Reza
39
Bab 39. Berubah pikiran
40
Bab 40. Status sosial
41
Bab 41. Menjadi pelayan dadakan
42
Bab 42. Air tumpah
43
Bab 43. Pandangan orang
44
Bab 44. Pertengkaran
45
Bab 45. Dipanggil menghadap bos besar
46
Bab 46. Promosi jabatan
47
Bab 47. Lihat saja nanti
48
Bab 48. Takut khilaf lagi
49
Bab 49. She's my only one
50
Bab 50. Waktu untuk berpikir
51
Bab 51. Dilema
52
Bab 52. Kapan Kau mau menikah denganku?
53
Bab 53. Kenyataan yang sebenarnya
54
Bab 54. Rencana pernikahan
55
Bab 55. Menuju hari H
56
Bab 56. SAH
57
Bab 57. Mencintaimu
58
Bab 58. Merah kebiruan
59
Bab 59. Tamu bulanan
60
Bab 60. Mual-mual
61
Bab 61. Dua kabar berbeda
62
Bab 62. Oma kritis
63
Bab 63. Berharap untuk kesembuhan oma
64
Bab 64. Yang pergi untuk selamanya
65
Bab 65. Sakit parah
66
Bab 66. Tolong selamatkan suamiku
67
Bab 67. Rindu padanya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!