*Area Bandara
Seorang gadis berambut kecoklatan kini tampak melangkah dengan santai melewati kerumunan orang yang lalu lalang di area gedung bandara. Tangan sebelah kirinya menyeret koper sementara sebelah lagi sedang memainkan ponsel.
Gadis itu menghentikkan langkahnya sejenak. Ia meletakkan ponsel di telinganya, menghubungi seseorang. Sembari menunggu, tangannya bergerak untuk melepas kacamata hitam miliknya yang bertengger di pangkal hidung kemudian memasukannya ke dalam kantong jaket miliknya.
Setelah tidak lama menunggu, panggilan itu akhirnya tersambung.
"Halo! Ya, paman, ini aku Evelyn." ujar gadis itu.
"Paman, aku sudah sampai di bandara. Aku akan keluar sebentar lagi. Paman tunggu aku di depan." ujar Evelyn kemudian memutuskan panggilan telepon dan melanjutkan langkahnya.
Evelyn Anderson, nama wanita itu. Seorang gadis berwajah cantik berumur dua puluh satu tahun dengan tipe wajah oriental. Dan baru saja tiba di Indonesia beberapa menit lalu setelah menghabiskan beberapa waktu di luar negeri.
Ia adalah anak tunggal dari salah satu konglomerat terkenal yang sangat berpengaruh di negeri ini. Mungkin akan ada yang bertanya kenapa anak konglomerat seperti Evelyn bisa pergi kemana pun sendirian. Apa orang tuanya membiarkanya hidup bebas tanpa mengganggu privasi?
Faktanya, tak ada satupun orang yang tau siapa dia kecuali beberapa orang berkepentingan, teman-temannya dan dirinya sendiri. Itu adalah permintaan Evelyn sendiri. Sejak ia berumur empat belas tahun ia sudah berani meminta pada ayahnya agar menjaga privasinya dan menolak untuk di sorot oleh kamera wartawan. Alhasil, seperti saat ini ia bisa pergi kemana pun dengan bebas.
"Selamat sore, Nona." sapa supir pribadi Evelyn setelah gadis itu masuk ke dalam mobil.
Evelyn menjatuhkan diri ke kursi mobil lalu melempar tasnya ke kursi sebelahnya dan menatap sang supir. "Sore juga, paman."
"Bagaimana liburannya, nona? Apakah seru di Bali?"
Evelyn mendecih, "Lumayan."
"Lumayan seru?"
"Lumayan membuatku sakit kepala." ujar Evelyn, membuat sang supir terkekeh.
Sejujurnya bicara santai seperti ini adalah hal yang sangat biasa bagi mereka. Evelyn memang dekat dengan orang-orang yang bekerja untuk keluarganya karena mereka sudah bekerja pada keluarga Evelyn bahkan sejak Evelyn masih kecil.
"Kita ke hotel yang biasa saja, paman." ujar Evelyn
"Baik nona."
Evelyn memutuskan untuk tidak langsung menuju rumahnya, melainkan menuju hotel. Ia lebih memilih hotel terdekat karena ingin cepat-cepat istirahat setelah menempuh perjalanan udara berjam-jam lamanya dari Korea.
"Nona yakin ingin ke hotel saja?" tanya sang supir tanpa menoleh ke arah belakang.
"Ya paman," ujar Evelyn sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Maksud saya, bukankah biasanya nona memilih untuk langsung pulang ke rumah dulu."
"Baik nona."
"Tidak apa-apa, paman. Hari ini aku sedikit malas untuk menunggu sampai rumah. Jarak ke rumah masih terlalu jauh dan aku ingin istirahat lebih cepat." jawab Evelyn tampak menatap layar ponselnya, sibuk melakukan sesuatu dengan benda itu.
"Baiklah, Nona." ujar sang supir memilih menurut saja. "Apa nona ingin kita berangkat sekarang?"
"Ya, paman. Semua barang-barangku sudah masuk bagasi kan?"
"Ya, nona. Terakhir koper yang kecil sudah saya angkat juga."
"Setelah mengantarkan aku, paman bawa saja semua barang-barangku ke rumah nanti. Aku tidak ingin repot membawanya ke hotel nanti. Tapi jangan langsung dibereskan. Karena aku yang akan membereskan barang-barangku sendiri nanti."
"Siap nona. Saya akan beritahu pelayan untuk itu. Dan begitu sampai di rumah untuk membawanya ke kamar nona lebih dulu nanti."
"Baiklah. Kita bisa jalan sekarang."
"Baik, nona."
"Tapi bisakah paman jangan menyetir mobilnya terlalu lamban, yah sebenarnya aku agak sedikit sekarang. Aku ingin cepat istirahat."
"Ah, tentu saja, nona."
Sang sopir mulai menyalakan mesin lalu melajukan mobil keluar dari area bandara, menyusuri jalan raya menuju hotel yang dimaksud Evelyn.
"Anda bisa istirahat saja dulu, nona." ujar sang supir setelah beberapa saat mereka menempuh perjalanan.
"Tidak masalah paman, aku akan sekalian tidur di hotel saja nanti. Hotelnya juga dekat sekali, hanya lima belas menit dari bandara."
"Baik, nona."
Saat di perjalanan, Evelyn tampak sedang berkirim pesan singkat dengan temannya. Begitu selesai, Evelyn meletakkan ponselnya dan menghela napasnya perlahan. Ia melirik ke luar jendela mobil. Menyaksikan mobil-mobil lain yang melaju melewati mobilnya. Gerimis mulai turun, perlahan-lahan mulai membuat kaca tertutupi air, mengaburkan pandangan Evelyn keluar mobil.
'Aku pergi ke Korea untuk menyenangkan hatiku. Tapi aku malah merasa bosan. Tak ada yang menyenangkan sama sekali.' batinnya.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Evelyn pergi berlibur ke Korea. Tapi entah kenapa liburannya kali ini terasa berbeda dari liburan-liburan yang sebelumnya. Liburan kali ini sama sekali tak terasa menyenangkan untuk Evelyn.
Ia sudah kehilangan hasrat untuk bersenang-senang. Evelyn sempat berpikir mungkin saja ia butuh suasana baru. Pindah ke tempat yang lebih membuatnya nyaman atau bertemu orang baru yang akan membuatnya bahagia.
Ayahnya selalu membebaskan Evelyn jika ia ingin pergi kemanapun. Tak pernah ada sedikit pun larangan padanya jika ia ingin mandiri. Bahkan saat masih SMA Evelyn tinggal di rumah yang berbeda dengan ayahnya.
Itu sebabnya Evelyn tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Dan setelah ibunya meninggal barulah Evelyn memutuskan untuk kembali ke rumah sementara ayahnya memilih untuk lebih sering melakukan perjalanan bisnis untuk melupakan kesedihan atas kepergian ibunya.
Memikirkan ini membuat Evelyn langsung teringat tentang ayahnya. Bukankah ini ayahnya bilang akan pulang pada minggu-minggu ini.
Evelyn lalu menoleh kembali pada supir pribadinya yang tampak sedang fokus menyetir.
"Apa ayahku sudah pulang dari Singapura, Paman?" tanya Evelyn pada sang supir.
"Ya, Nona. Tuan besar datang dua hari lalu, pada malam hari, tapi beliau sudah pergi lagi."
"Pergi lagi, kapan?"
"Tadi pagi, Nona."
"Dia tak menungguku?"
"Sepertinya tuan buru-buru, Nona. Soalnya pagi-pagi sekali tuan Besar sudah bangun dan meminta pelayan untuk mengemasi semua keperluannya."
Evelyn mengangguk paham. "Begitu rupanya. Apa kali ini ayahku mengatakan akan pergi kemana?"
"Seingat saya tuan Besar mengatakan akan pergi ke Amerika, Nona."
"Amerika?"
"Ya, nona."
"Pantas saja aku tidak bisa menghubunginya sesampainya di bandara tadi. Dia pasti sudah berada di dalam pesawat. Aku bahkan belum bertemu dengannya tapi dia sudah pergi lagi."
"Beliau minta maaf karena tidak bisa bertemu anda. Tapi tuan sempat menitipkan pesan kalau perjalanan bisnis kali ini akan sangat lama dan mungkin saja bisa pulang setelah tiga bulan."
"Ya ampun." Evelyn menghela lelah. "Ayah benar-benar mencari cara untuk melupakan kesedihan atas kepergian mama."
"Benar nona."
Sang supir tampak memasang raut sedihnya.
"Oh iya Nona, tuan Besar bilang nona bisa menyusulnya ke Amerika nanti. Karena tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar kalau dijalani. Tuan tidak ingin nona merasa kesepian karena tuan yang lebih memilih pekerjaanya."
"Ya, aku akan menyusulnya nanti kalau mendapat cuti kuliah."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments