Radit menepikan mobil ke pinggiran jalan.
"Lo bisa diam gak?"
"Gak. Gue gak akan diam sebelum pintu mobil dibuka. Gue benci banget sama lo. Gue mau keluar" Jelita meracau dengan intensitas nada semakin tinggi. Ia tidak peduli dengan segurat amarah di wajah kakaknya.
"Gue bilang diam atau gak....
"Atau apa? Lo mau mukul gue. Pukul kalau berani" Jelita memotong ucapan Radit lalu mendekatkan wajahnya menantang.
Tiba-tiba Radit menarik kencang leher gadis di sampingnya dan melesatkan kecupan dalam di bibir ranum Jelita.
Ciuman pertama gue, batin Jelita dengan mata melotot.
Sepasang bibir itu menempel beberapa saat sebelum Radit menarik diri. Setelahnya, kakak adik itu tidak saling bicara, tidak juga menatap hingga tiba di rumah.
"Kalian sudah pulang. Ayo kita makan malam. Mama sama papa sengaja nunggu kalian"
Jelita nyelonong begitu saja tidak menghiraukan ajakan mamanya. Ia mempercepat langkah menuju kamarnya.
"Dit, kenapa adik kamu?" tanya Surya heran.
"Radit yang salah, pa"
"Kamu apa'in adik kamu sampai mukanya kusut gitu?" timpal Laura sedikit khawatir. Tidak biasanya sang putri pulang dengan wajah begitu.
"Nanti saja, ma. Radit mau bicara sama Jelita dulu"
Tok! Tok! Tok!
Tidak ada respon dari dalam. Radit kembali mengetuk pintu. Sekitar lima menit lamanya, Radit berusaha membujuk Jelita agar membukakan pintu hingga buku-buku tanganya memerah. Namun orang di dalam kamar tidak menyahut sama sekali. Seakan tidak ada kehidupan di dalam sana.
"Ta, please buka pintunya sebentar. Gue mau ngomong sama lo. Gue mau minta maaf, Ta" ucap Radit sungguh-sungguh.
Di dalam kamar, Jelita menutup telinganya dengan bantal agar tidak mendengar suara di luar kamarnya. Tapi tetap saja suara itu terdengar dan semakin menganggunya. Jelita pun tidak bisa memejamkan mata. Padahal ia ingin sekali tidur agar dapat melupakan sejenak kejadian sore tadi.
"Jelita masih belum keluar?" tanya Laura seraya melangkah menghampiri Radit.
"Ya, Ma" jawab Radit lesu.
"Jelita, keluar dulu yuk nak. Kita makan malam sama-sama" bujuk Laura lembut.
Jelita beranjak dari kasur dan melangkah mendekati daun pintu.
"Jelita belum lapar, ma. Tadi siang Jelita sudah makan. Sekarang masih kenyang" sahutnya dari balik pintu.
"Ya sudah kalau gitu. Tapi kamu keluar dulu sebentar. Ini kakak kamu dari tadi nungguin kamu di luar"
"Gak mau, ma. Jelita lagi gak mau ngomong sama kak Radit. Please ya ma, sekarang jangan paksa Jelita. Nanti kalau sudah tenang, Jelita pasti keluar kok"
Jelita kembali berbaring di kasur nyamannya. Pandangannya kosong dengan pikiran yang mengawan. Ia bingung dengan sikap Radit padanya. Apakah wajar seorang kakak mencium bibir adiknya? Kenapa perlakuan Radit sedikit berbeda dan itu terlalu intim?
Sebenarnya apa sih kak maksud lo ngelakuin itu?, batin Jelita gusar.
Lo tahu, itu first kiss gue. Tapi apa itu bisa disebut first kiss? Kan kak Radit kakak gue. Bukan pacar gue. Apalagi saat itu, gue belum siap, lanjutnya membatin.
Pertanyaan dan pikiran-pikiran itu memenuhi kepala Jelita. Bukan seperti itu proses ciuman pertama yang ia harapkan. Ia ingin moment spesial itu terjadi dalam keadaan sadar tanpa paksaan. Rasanya akan menjadi kenangan tak terlupakan jika melakukan ciuman pertama dengan pria yang benar-benar kita cintai. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan Radit kakaknya sendirilah yang menjadi pemilik ciuman pertamanya. Jelita sangat menyesalkan hal itu.
...***...
Pagi menyapa dengan cuaca cerahnya. Langit tampak indah tidak ada awan hitam seperti pagi kemarin. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Entahlah, mungkin saja.
Radit membuka matanya perlahan. Tubuhnya menggeliat sejenak untuk meregangkan otot-otot persendiannya yang kaku. Setelah beberapa saat, Radit bangun dari pembaringannya dan menyingkap horden yang menutupi jendela kamarnya. Seketika cahaya silau menerpa wajah tanpa kasihan. Belum puas ia menikmati angin sejuk yang menusuk kalbu. Pikirannya teralihkan pada seorang gadis yang sejak semalam menganggu batinnya. Tentu saja Jelita orangnya.
"Gue harus ngomong sama Jelita sebelum dia berangkat kuliah"
Tok! Tok! Tok!
"Siapa?"
"Bi Asmi non"
Krekkk
Mata Jelita terbelalak. Ternyata tidak hanya bi Asmi, ada Radit juga di depan kamarnya. Jelita yakin, Radit sengaja memanfaatkan bi Asmi untuk menemuinya.
Dengan sigap Radit menahan pintu sebelum Jelita menutup pintu kembali.
"Minggir gak"
"Kita harus bicara" dengan satu dorongan saja, pintu menganga lebar. Radit menyerobot masuk.
"Kalau lo gak mau keluar, gue yang keluar"
Krekk
Radit mendorong pintu lalu mengambil kunci setelah memastikan pintu terkunci.
"Kak, lo apa-apaan sih? Setelah pulang dari New York, lo suka maksa gini. Gue gak suka ya" katanya mendelik.
Radit bersikap masa bodoh dengan protes sang adik. Ia tetap santai seperti tidak terjadi apa-apa. Dan berbaring di atas kasur dengan tubuh bagian atasnya tanpa busana. Entah disengaja atau tidak. Mungkin Radit sedang menyombongkan perut kotak-kotaknya di depan Jelita.
"Bangun gak lo dari kasur gue" Jelita menarik kuat lengan Radit.
Sekuat tenaga ia berusaha menyingkirkan Radit dari sana namun sang kakak tidak bergerak sedikitpun. Seakan kekuatan Jelita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tubuh kekar Radit. Ternyata meskipun ia pernah mengikuti taekwondo, tenaga Radit tetaplah lebih kuat darinya.
"Kak, keluar dari kamar gue. Aahh" desah Jelita saat tubuhnya hilang keseimbangan dan jatuh di atas tubuh Radit.
Jelita ingin berdiri namun Radit dengan cekatan memutar tubuh ringan adiknya itu menjadi di bawahnya. Seketika Jelita diam seribu bahasa. Wajahnya terasa panas dan matanya tidak berhenti berkedip.
"Lo selalu diam kalau sudah begini" ucap Radit dengan suara ngebassnya yang mampu mengguncang jiwa seorang wanita.
Jelita benar-benar membisu. Saat ini pikirannya begitu kacau. Ia tidak mengerti, kenapa bisa mati kutu seperti ini. Padahal selama ini ia tidak pernah kehabisan bahan jika sedang berdebat dengan siapapun.
Tidak terasa satu menit berlalu dengan posisi yang sama, keduanya tidak saling bicara dan hanya bertatapan saja.
"Kak...
"Hmmm"
"Lo bisa minggir gak sih" Jelita dengan bringas mendorong tubuh kakaknya jatuh ke lantai.
Ia kemudian menindih tubuh Radit untuk mengambil kunci kamarnya yang disembunyikan Radit di saku celana.
Aaahhh
Teriak Radit kesakitan saat kupingnya digigit Jelita secara membabi buta. Untung saja kupingnya tidak putus. Tanpa belas kasih, Jelita pun menyeret Radit keluar kamar.
"Sumpah, lo itu resek banget, kak. Super duper nyebelin. Untung orang kayak lo cuman satu. Coba kalau ada sepuluh, bisa hancur lebur otak gue" racau Jelita penuh kemarahan dan kekesalan yang bercampur menjadi satu.
Radit hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan gadis muda di hadapannya. Memang sudah seharusnya ia dimarah habis-habisan seperti ini. Karena memang dirinyalah yang bersalah. Jika di posisi Jelita pun, ia akan melakukan hal yang sama bahkan lebih parah. Gimana gak marah, jika ciuman pertama yang selama ini disimpan rapat, dirampas begitu saja oleh pria tak terduga.
...***...
"Jelita, hari ini Zain gak jemput kamu kan? Jadi kamu kuliahnya diantar Radit ya. Soalny pak Sopian lagi izin pulang kampung, anaknya sakit" tutur Laura sembari mengambil nasi goreng untuk Surya.
"Ma, kenapa harus kak Radit sih. Ya udah kalau gitu, Jelita nyetir sendiri saja" Jelita terang-terangan menolak usulan sang mama.
Radit tiba di ruang makan.
"Kamu kan baru bisa nyetir. Ntar kalau nabrak gimana? Pokoknya kamu kuliah diantar Radit"
"Tapi ma...
"Jelita dengarin mama. Pokoknya kamu pergi pulang kuliah sama Radit" timpal Surya tegas.
"Hah! Pulang juga sama dia" Jelita mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Radit.
Radit menghempas kasar tangan Jelita. Ia tidak suka ditunjuk begitu.
"Heh, bonak...
Jelita memutar bola matanya. Coba mencerna ucapan Radit barusan.
"Apa itu bonak?"
"Bocah nakal. Emang kenapa kalau pulang sama gue? Gue gak gigit kali" sambung Radit sedikit kesal.
"Hei, gue bukan bocah ya. Gue udah gede. Lo gak lihat. Buta mata lo?"
"Sudah...sudah. Gak baik ribut-ribut di meja makan. Jelita, pokoknya selama pak Sopian masih di kampung, kamu pulang pergi kuliah sama Radit" ujar Surya lagi-lagi jadi penengah.
Jelita menghela nafas pasrah. Satu lawan tiga, ya jelas kalah. Ia merasa dongkol sekali. Semuanya membela Radit. Tidak ada satupun yang mendengarkannya. Mama papanya bertindak semaunya saja. Seakan-akan keputusan itu yang terbaik untuk putri kesayangan mereka. Padahal belum tentu begitu.
"Jelita"
"Stop. Gue gak mau bicara sama lo"
Radit mengangguk patuh. Ia kemudian menghidupkan musik dengan volume penuh. Bunyi musik yang nyaring sangat menganggu Jelita yang sedang ingin menyepi. Jelita menutup kupingnya dengan kedua telapak tangan. Tapi itu percuma, alunan musik rock masih bisa menembus kupingnya.
"Uuhhh kak" teriaknya sambil menghentakan tangan. "Bisa gak sih kecilin musiknya. Kuping gue mau pecah rasanya"
"Ha..ha...haah apa?"
Jelita memutar tombol volume ke kiri. Kemudian Radit memutar tombol volume ke kanan. Hentakan musik rock kembali memenuhi mobil.
Tiba-tiba Jelita tertunduk lemah sambil memijit keningnya.
"Jelita kamu gak papa?" tanya Radit khawatir. Ia pun mengecilkan habis volume musik. "Kamu sakit? Tapi badan kamu gak panas" lanjutnya heran setelah menyentuh kening Jelita. Suhu tubuh adiknya normal-normal saja.
"Prankk. Haha, emang enak gue kerjaan" ucap Jelita puas.
"Dasar bonak" ledek Radit sambil menyentil kening Jelita.
"Aww sakit. Kasar banget sih lo" kata Jelita sembari menggosok kening mulusnya. "Kak, gue mau nanya serius sama lo"
Radit menghela nafas. Ia tidak yakin dengan gadis di sampingnya.
"Gue gak yakin lo bisa serius. Tapi ya sudahlah. Lo mau nanya apa?"
"Lo pas di New York beneran kuliah gak sih? Kok pas disini, lo ngintilin gue terus? Emangnya gak ada gitu perusahaan yang mau nerima lo kerja? Dasar pengangguran"
Hmmm
"Benar kan. Lo kapan seriusnya? Lo itu bisanya menghina gue doang" Radit sudah curiga sebelumnya.
"Mana ada gue menghina lo. Emang kenyataannya lo pengangguran"
Ucapan Jelita ada benarnya. Karena sampai sekarang, pekerjaan Radit cuma mondar mandir di rumah saja plus antar jemput Jelita. Belum ada tanda-tanda ia akan memulai pekerjaan baru. Padahal selama di New York selain kuliah, Radit juga bekerja part time di salah satu perusahaan di sana.
"Karena lo sudah bahas ini. Gue mau nanya sama lo"
"Apa?"
"Lo salah kalau lo bilang gak ada perusahaan yang mau rekrut gue. Justru gue punya 4 perusahaan besar yang siap nerima jasa gue....
"Ya sudah kalau gitu, lo kerja sana. Ngapain ngintilin gue" sambung Jelita dengan mimik masam.
"Dengerin gue dulu. Bisa gak sih kalau ada orang ngomong, lo gak main potong gitu aja" Radit sedikit kesal dengan sifat Jelita yang satu ini.
"Ya sorry. Terus masalahnya apa?"
"Gue sebenarnya sudah nentuin satu perusahaan tapi kemarin, mama minta gue buat bantu papa di perusahaan. Katanya papa sudah tua dan gak boleh terlalu capek. Makanya mama minta gue buat kerja di perusahaan papa saja"
"Ya sudah kalau gitu kerja saja di perusahaan papa. Mama benar, papa sudah tua, kasian" tutur Jelita setuju dengan saran mamanya.
"Tapi gue mau mandiri. Gue mau sukses di atas kaki gue sendiri. Gue mau meraih kesuksesan gue dari nol bukan nebeng dari kesuksesan papa" sambung Radit resah dan bimbang.
"Ribet banget sih lo. Ada cara mudah, malah milih cara yang susah. Udah ah malas gue dengar curhatan melow lo itu. Dan lo jangan senang dulu, gue masih marah banget sama lo. Ntar pulang kuliah, gue akan bunuh lo" ancam Jelita ngeri.
Radit tersenyum simpul mendengar tanggapan Jelita. Gadis di sebelahnya memang benar-benar adiknya. Seperti inilah Jelita, gadis ceplas ceplos yang terkadang tidak memandang usia lawan bicaranya.
Tanpa terasa mobil itu sudah sampai di Universitas Liberty dimana Jelita menuntut ilmu. Mendadak Radit bergerak maju membuat Jelita refleks mundur. Hal itu menghapus sekat diantara keduanya.
"Benar kan gue bilang. Bawel lo itu akan berhenti kalau kita sedekat ini. Yakin mau bunuh gue?" kata Radit lirih seraya menyelusupkan tangan kanannya ke ceruk pinggang Jelita.
...***...
Menjelang sore sekitar pukul 15.00 pm, Surya dan Laura berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak. Semilir angin dan nyanyian dedaunan yang saling bersahutan menemani perjalanan mereka hingga tiba di sebuah pemakaman tunggal. Ya, hanya ada satu makam di sana. Keduanya bersimpuh di sisi makam lalu Laura mengusap nisan lebih dulu. Raut wajah sepasang suami istri itu tampak murung seperti orang yang telah memendam kesedihan teramat dalam.
"Pa, andai saja hari itu....
"Cukup ma, jangan di teruskan"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Pasti itu makam ortunya Jelita,Apa jangan2 ortu jelita meninggal karena kecalakaan,Dan kecelakaan itu di sebabkan oleh mereka,Karena rasa bersalah mereka mengadopsi Jelita..Aku cuma bisa menerka2 aja ya..😁
2024-10-20
0
Qaisaa Nazarudin
Biasanya anak yg baru pulang kuliah dari luar negeri itu langsung di sibukkan dengan kerja,Lha ini Radit ini langsung jadi pengangguran..🤦🤦
2024-10-20
0
vietha
wah ada rahasia apa ini
2022-12-08
1