Enough
Tari duduk dengan kaki menjuntai, menatap ke bawah dari lantai tiga puluh lima di atas jalanan ibu kota, ia memikirkan tentang bunuh diri.
Bukan, bukan...
Tari tak bermaksud ingin membunuh dirinya sendiri, ia cukup senang dengan kehidupannya dan berktekad untuk melanjutkan hidupnya sampai dengan selesai.
Tari hanya sedang berfikir tentang orang-orang di luaran sana yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Apakah mereka menyesalinya, saat detik-detik tubuh mereka terhempas?
Kurasa ya, karena semua masalah pasti akan ada jalan keluarnya.
Tari seringkali memikirkan soal kematian, khususnya hari ini dimana seorang pengusaha real estate paling sukses di Ibu kota, serta suami dari Surinala Embun Pagi, dan ayah dari Dia Tarisma Jingga, seorang gadis aneh berambut pirang, yang pernah jatuh hati pada seorang preman pasar senen hingga membuat keluarganya malu.
Ya ini lah aku, Dia Tarisma Jingga, dan Banyugeni ayahku.
Setelah menghadiri upacara pemakaman ayahnya, Tari membajak rooftop apartement. Sekali lagi bukan karena ia ingin bunuh diri atau atau berencana terjun dari rooftop apartement ini. Tari hanya benar-benar butuh udara segar, dan keheningan yang tidak bisa ia dapatkan di dalam apartement yang masih ramai dengan suara isak tangis keluarga besarnya.
Sialnya Tari tak menyangka jika di atas ketinggian tersebut benar-benar sangat dingin dan membuatnya tak nyaman, namun ini masih jauh lebih baik karena di atas ketinggian Tari masih bisa melihat bintang-bintang dan kemegahan alam semesta ini, dan Tari sangat menyukai hal itu, ia menyukai langit lantaran langit bisa membuatnya merasa sangat kecil dan tidak penting.
Di tengah keheningan malam yang Tari rasakan, tiba-tiba saja pintu rooftop tebuka dengan sangat kencang, seketika Tari menoleh ke arah pintu tersebut dan menunggu sesosok manusia keluar dari pintu tersebut, namun yang ia dapatkan hanyalah bunyi suara langkah kaki.
Tari kembali menatap langit, karena siapa pun yang datang, kemungkinan besar tak menyadari keberadaanku karena Tari berada di atas banguan kecil di atas rooftop. Ia mendesah tanpa suara, memejam kan matanya dan menyandarkan kepala ke dinding berplester semen kasar yang berada di belakangnya, sembari bergerutu karena orang itu telah merusak keheningan malam yang ia rasakan, namun ia berharap siapa pun yang datang itu adalah seorang perempuan bukan laki-laki.
Suara langkah kaki itu semakin lama semakin mengganggu Tari, hingga akhirnya mata Tari pun mengembara ke arah siluet yang bersandar di tepi tembok, dan ternyata doanya tak terkabul, seseorang yang datang adalah seorang pria.
Dengan jelas Tari melihat tubuh tingginya, bahunya yang bidang sangat kontras dengan caranya yang rapuh memegang kepalanya dengan satu tangannya sementara tangan yang satu laginya memegangi satu kantong kresek putih, entah apa yang pria itu bawa. Tari juga melihat punggung pria tersebut yang secara perlahan naik turun saat ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar, pria itu tampak di ambang luapan emosi.
Tari menatap pria itu lebih lama lagi, ia penasaran apa pria itu akan bergerak dari tempatnya berdiri atau akan berada di situ lebih lama lagi.
Ya kenyataannya pria itu hanya berdiri di sana, memasukan tangan kirinya di saku celananya. Untuk pertama kalinya Tari menyadari bagian lengan atas kemeja yang di kenakannya terlihat sangat sempit. Pakaian itu terlihat sangat pas di bagian lain, tapi tidak di lengan kekarnya. Ia mulai merogoh-rogoh katong kresek putih yang di bawanya, kemudian ia membuka satu kaleng minuman beralkohol. Tari menganggap itu mungkin usahanya untuk melepaskan emosinya, pria itu meminum minumannya.
Tahun ini usia Tari genap 27 tahun, ia sudah lulu S1 dan sedang menyelesaikan program study S2nya dan tentu saja ia pernah mencoba semua jenis minuman beralkohol, sehingga Tari tak akan menghakimi pria tersebut, baginya hal wajar ketika seseorang sedang berada dalam masalah, lalu kemudian ia merasa perlu melepaskan emosinya dengan minum sendirian di tempat sunyi.
Tapi masalahnya di tempat itu tak sunyi, ada Tari yang belum di sadari oleh pria tersebut.
Pria itu kembali merogoh katong kreseknya dan membuka kaleng berikutnya sembari berbalik untuk kembali turun dari rooftop, dan saat ia meminum minumannya, ia melihat Tari.
Langkahnya terhenti dan keduanya saling bertatapan. Raut wajah pria itu tak menunjukan keterkejutan atau pun kegembiraan saat bertatapan dengan Tari. Dia hanya berjarak dua setengah meter dari tempat Tari berada, namun cahaya bulan yang terang, cukup membuat Tari dapat melihat mata birunya, kemudian perlahan menyusuri bentuk tubuhnya yang kekar.
"Siapa namamu?" Tanya pria itu.
Saat Tari belum menjawab pertanyaan pria itu, pria itu kembali meminum minumannya.
"Tari" ucapnya, ia benci dengan suaranya yang terdengar lemah.
Pria itu mengangkat dagunya. "Tari, tolong kau turun dari sana." ucap pria itu, seolah ia takut Tari akan terjatuh, padahal tidak. Masih ada space sekitar tiga puluh centi meter untuk Tari duduk dan ia bisa berpegangan sebelum dirinya terjatuh.
Tari melirik ke arah kedua kakinya yang menjuntai ke bawah, lalu kembali menatapnya. "Tidak, aku sangat nyaman berada di sini."
Sesaat pria itu menoleh ke samping, seolah tak tahan melihat Tari duduk di tempat itu "Tolong turunlah dari situ!" kedengarannya seperti perintah mesikpun ia menggunakan kata tolong.
"Jarakmu kurang dari tiga puluh centimeter sebelum kamu jatuh dan tewas jatuh dari ketinggian. Hari ini aku sudah cukup banyak melihat kematian, dan aku tidak ingin melihatnya lagi." Pria itu memberi isyarat kepada Tari agar ia segera turun.
Tari menghembuskan napasnya. " Kau ini menggangguku saja." ia memutar bola matanya dan kemudian ia melompat turun.
"Puas?" tanya Tari sembari menghampiri pria itu, sesaat ia memalingkan wajahnya ketika ia menyadari begitu manisnya pria tersebut.
Ya pria itu sangat manis dan tampan, beraroma maskulin, dan terlihat usianya beberapa tahun di atasnya. Dari potongan rambut serta kemeja mahal yang ia kenakan, sudah bisa di pastikan ia adalah incaran para gadis-gadis, namun Tari besikap seolah tak terkesan dengan pria itu.
Pria itu kembali meminum minumannya, kemudian ia menawari Tari, namun Tari menolaknya, ia tak ingin mabuk dengan pria itu. Tapi jika boleh jujur, sebenarnya suara pria itu saja sudah memabukannya, dan ia ingin mendengarnya lagi sehingga Tari membuka obrolan basa-basi dengannya. "Tempat yang cukup bagus untuk melepaskan beban pikiran, bukan?" pertanyaan yang menurut Tari bodoh tapi keluar begitu saja dari mulutnya.
Pria itu hanya memandangi Tari, benar-benar memandangi Tari dengan tatapan tajamnya seolah ia sedang membaca seluruh isi pikiran di otak Tari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
CebReT SeMeDi
awal pertemuan keduanya sama² sedang dilanda masalah pelik
2022-12-18
2
⏤͟͟͞R ⸙ᵍᵏℰℒℒᎽhiatus✰͜͡w⃠
kadang beban berat dan tipis nya iman bisa membuat orang dekat mengakhiri hidup nya , tapi dia tak sadar di dunia dia terbebas dari rasa sakit tapi di akhirat derita menanti.
2022-12-17
1
.
mampir kak
2022-12-14
1