Chapter 3

"Kenapa? Apa kedengarannya namaku aneh? " tanya Tara.

"Nama kita sama-sama memiliki unsur warna. Dia Tarisma Jingga, itu nama panjangku." Tari bisa melihat jika Tara tersenyum simpul.

"Jingga itu tak akan terpisahkan oleh senja. Keduanya menyenangkan, kadang terang merekah bahagia, namun kadang gelap kelam berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya."

Tari merasa ucapan Tara seperti sebuah gombalan, namun ya harus Tari akui, ia pun menyukai senja yang begitu menenangkan. "Dulu aku pernah bermimpi membuat sebuah kafe tenda di pinggir pantai, yang bukan hanya menawarkan ragam kuliner enak, namun juga menawarkan panorama senja dengan diiringi musik keroncong. Tapi mereka pasti mengira jika aku menjual namaku dan kini aku pun tidak ingin menjadi seorang pelayan kafe."

"Ya mungkin saja, kan hanya menjadi pemilik. Tidak lantas kau yang menjadi pelayannya." ujar Tara. Tanpa sadar Tari berbisik "D'Jingga cafe. Itu memang nama yang cukup keren untuk sebuah kafe pinggir pantai yang indah, tapi sebentar lagi aku akan memiliki gelar magister bisnis administrasi. Itu namanya turun pangkat bukan? Saat ini aku bekerja sebagai Chief Operational Officer/COO di perusahaan teknologi terbesar di Jakarta."

"Punya bisnis sendiri itu bukan turun pangkat." ujar Tara. Tari mengangkat alisnya "Kecuali pembisnis sepertimu."

Tara mengangguk sepakat. "Kecuali pembisnis sepertiku." ulangnya."Jadi siapa yang memberimu nama sebagus itu?"

Hening sejenak. "Ayahku. Sebagai anak tunggal tentu ayahku sangat bersemangat menyambut kelahiran putrinya yang lahir di kala senja yang merekah, dan beliau menjatuhkan pilihannya pada nama Jingga sebagai nama belakangku."

"Ayahmu pasti sangat konyol sekali, memilihkan nama hanya karena kamu lahir saat sore hari." ucap Tara.

"Ayahku baru saja meninggal pagi ini."

Tara melirik ke arah Tari. "Jangan bercanda dengan kematian!"

"Aku tidak bercanda, untuk itulah aku naik ke sini, aku ingin menangis dan berteriak sepuas hatiku dalam keheningan malam." ucap Tari 'Sebelum kau datang mengusik ketenanganku' batinnya.

Sesaat Tara memandangi Tari dengan curiga, ia memastikan jika Tari tidak sedang bercanda, kemudian Tara meminta maaf atas ucapan kurang sopannya yang baru saja ia lontarkan. Ia menatap Tari dengan tatapan penasaran, seolah ia sangat tertarik pada cerita selanjutnya. "Apa hubunganmu dengan ayahmu sangat dekat?"

Itu pertanyaan yang sulit untuk di jawab Tari, ia kembali memandang ke jalan raya di bawah. "Entahlah," jawab Tari sambil mengangkat bahunya. "Sebagai seorang anak, aku mencintainya. Tapi sebagai manusia, aku sangat membencinya."

Tari bisa merasakan jika Tara mengamatinya sejenak, kemudian berkata. "Aku suka kejujuranmu."

Tara suka kejujuranku? Ku rasa saat ini wajahku sedang merah merona.

Tara mencungkil sepotong lapisan dinding semen yang terkelupas dengan jari telunjuknya, lalu ia menyentilnya. "Aku rasa hampir semua orang hidup dalam kepura-puraan, bahkan sebagian lagian pandai menyembunyikannya."

Entah alkohol yang di minumnya mulai bereaksi atau memang dia tipe pria yang suka merenung. Tapi apa pun itu tak masalah, Tari memang menyukai obrolan yang tak berisi jawaban yang sesungguhnya.

"Menurutku bersikap lebih tertutup tidak ada salahnya," ucap Tari. "Karena tidak semua orang harus tahu siapa kita yang sebenarnya."

Tara menatap Tari sejenak. "Kejujuran yang apa adanya," ucapnya. "Aku suka itu." Tara berbalik dan berjalan ke tengah rooftop. Tara membenahi posisi sandaran salah satu kursi santai lipat yang terdapat di rooftop, kemudian ia berbaring dan meletakan kedua tangannya sembari memandangi langit.

Tari pun ikut melakukan hal yang sama, ia juga membenahi posisi sandaran kursi dan berbaring seperti Tara.

"Ceritakan satu kejujuran lagi padaku, Tari."

"Tentang apa?" tanya Tari.

Tara mengangkat bahunya. "Apa saja, sesuatu yang belum pernah kau ceritakan ke orang terdekatmu termasuk sahabat baikmu."

Tara mentap langit menunggu jawaban Tari. Mata Tari menyusuri garis rahangnya, lekuk pipinya, bentuk bibirnya. Tari berfikir tentang pertanyaan yang di lontarkan oleh Tara dan berusahan menemukan apa rahasia yang belum pernah ia sampaikan pada teman terdekatnya.

Saat Tari menemukan jawaban atas pertanyaan Tara, ia kembali melemparkan pandangannya ke langit. "Ayahku suka menyiksa." ucap Tari. Seketika Tara menoleh ke arahnya.

"Bukan menyiksaku, tapi Bundaku" Tari langsung memperjelas kalimatnya. "Saat mereka bertengkar, dan kemarahaan ayah memuncak, di situlah ayah kerap kali memukul bunda. Tapi setelah itu terjadi, ayah berubah menjadi sosok yang sangat penyanyang seolah ia sangat mencintai bunda. Ia membelikan bunda bunga, banyak hadiah untuk kami, makan malam mewah, hingga liburan kemana pun bunda dan aku mau, ayah melakukan itu semua karena ia tahu aku sangat membeci pertengkaran mereka." Tari bergeser sedikit membenahi posisi tidurnya menjadi lebih nyaman untuknya.

"Sewaktu aku masih kecil, aku selalu menunggu malam pertengkaran kedua orang tuaku, karena aku tahu jika ayah memukul bunda, setelahnya akan sangat menyenangkan." Tari terdiam sejenak, ia tak yakin jika dirinya memiliki pikiran tersebut. "Tapi tentu saja, aku jauh lebih suka jika ayah tak menyakiti bunda. Namun penyiksaan itu tidak dapat dihindari oleh mereka, sehingga kami jadi terbiasa. Saat aku beranjak dewasa, aku mulai menyadari jika aku tetap diam saja, maka aku pun ikut bersalah karena itulah hampir seumur hidup aku membenci ayah, karena ia jahat."

Tara menoleh dan menatap Tari dengan ekspresi serius. "Tari" ujarnya lugas. "Tidak ada orang jahat di dunia ini, hanya saja terkadang orang melakukan hal-hal yang tidak baik."

Tari membuka mulutnya untuk menyahuti Tara, namun kata-kata Tara membuatnya bungkam. Hanya saja terkadang orang melakukan hal-hal yang tidak baik. Tari rasa itu ada benarnya, tidak ada orang yang sepenuhnya jahat dan tidak ada pula orng yang sepenuhnya baik.

"Sekarang giliranmu." ucap Tari.

Melihat reaksi Tara, Tari rasa Tara enggan untuk mengatakan kejujuran yang terjadi dalam hidupnya. Tara mendesah berat dan mengusap rambutnya. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi kemudian menutupnya lagi. Tara berfikir sesaat lalu akhirnya berkata. "Secara tak sengaja, malam ini aku melihat seorang bocah meninggal dunia." suara Tara terdengar putus asa. "Sepasang kakak beradik laki-laki, mereka menemukan pistol di kamar orang tuanya. Si adik memegang pistol tersebut kemudian meletus."

Tari tersentak, sepertinya kejujuran ini agaknya sangat berlebihan untuknya.

"Sang kakak harus terbaring di meja operasi dengan kondisi tak sadarkan diri, hingga beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang operasi dan mengabarkan jika sang kakak tak bisa terselamatkan."

Terpopuler

Comments

CebReT SeMeDi

CebReT SeMeDi

Trauma akan ulah ayahnya terhadap ibunya, sehingga membuat tari sampe dewasa Bahkan saat nanti menikah akan kebyng² kelakuan ayahnya

2022-12-19

3

CebReT SeMeDi

CebReT SeMeDi

Dan yg menebak itu kamu ya Tara?

2022-12-19

3

⏤͟͟͞R ⸙ᵍᵏℰℒℒᎽhiatus✰͜͡w⃠

⏤͟͟͞R ⸙ᵍᵏℰℒℒᎽhiatus✰͜͡w⃠

dalam kesunyian malam Tara dan tari di pertemukan dan akhirnya menjadi dekat

2022-12-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!