"Apa karena seorang wanita?" tanya Tari kembali. "Dia membuatmu patah hati?" sambungnya.
Pria itu tertawa kecil mendengar pertanyaan yang di lontarkan Tari kepadanya. "Andai masalahku sesepele masalah urusan hati." pria itu bersandar di dinding, menghadap ke arah Tari. "Kau tinggal di lantai berapa?" tanya pria itu sembari menghabiskan minuman kaleng keduanya. "Aku belum pernah melihatmu di sini."
"Tentu saja, aku memang tidak tinggal di sini." Tari menunjuk ke arah apartement yang ia tinggali seorang diri. Sejak berberapa tahun yang lalu, Tari memutuskan untuk hidup mandiri dengan tidak tinggal bersama orang tuanya lagi.
"Kau lihat gedung stasiun televisi swasta itu?"
Pria itu menyipitkan matanya, memandang arah yang Tari tunjuk "Ya."
"Aku tinggal di gedung sebelahnya, sulit terlihat memang karena bangunannya hanya delapan lantai dan di apit oleh gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya," ucap Tari.
Pria itu kembali berbalik ke arah Tari. "Kalau kau tinggal di sana, lalu mengapa kau berada di sini? Apa kekasihmu tinggal di apartement ini?"
Kalimat yang di lontarkan pria itu membuat Tari merasa seperti wanita murahan yang dengan mudahnya menyambangi tempat tinggal pria. "Atap gedung apartemenmu bagus." jawab Tari.
Pria itu mengangkat alisnya, menunggu penjelasan lebih lanjut dari Tari.
"Aku butuh udara segar, kemudian aku membuka google Maps dan menemukan apartement yang rooftopnya luman bagus dan tak jauh dari tempat tinggalku, jadi ya aku kemari."
Pria itu tersenyum "Kau sangat sederhana, mencari udara segar di sini, karena biasanya para gadis akan pergi mengunjungi club malam atau mall untuk mencari udara segar" cetusnya. "Tapi kau tidak, dan itu sangat bagus."
Sederhana? Tari menganggukan kepalanya karena memang dia tidak begitu suka dengan keramaian maka dari itu ia mencari tempat yang sunyi.
"Kenapa kamu butuh udara segar?" tanya pria itu kembali.
Karena hari ini aku baru saja menghadiri pemakaman ayahku, dan di apartement orang tuaku masih dipenuhi dengan tangisan keluarga besarku, yang membuat dadaku seolah sesak tak bisa bernafas.
Tari kembali menghadap depan, ia menghela nafasnya pelan. "Lebih baik kita diam dan tidak membahas apa pun!"
Pria itu pun ikut menghadap depan memandangi jalanan di bawah, dan Tari memperhatikan. Dia mungkin menyadari jika Tari memperhatikannya, namun pria itu nampak tidak peduli.
"Bulan lalu, ada seorang pria jatuh dari atap ini." ucapnya.
Seharusnya Tari kesal karena pria itu mengabaikan permintaannya untuk diam, namun Tari penasaran. "Apa karena kecelakaan?" tanya Tari.
Pria itu mengangkat bahu. "Tidak ada yang tahu. Kejadiannya sore menjelang malam. Istrinya berkata jika dia sedang masak makan malam dan suaminya meminta izin naik ke rooftop untuk mengambil gambar matahari terbenam. Dia seorang fotografer. Mereka menduga dia naik di tempatmu duduk tadi kemudian tergelincir dan jatuh."
Tari mendongak melihat tempatnya duduk tadi, sembari membayangkan posisi sang forografer itu terjatuh.
"Sewaktu adik perempuanku bercerita mengenai kejadian itu, yang aku fikirkan hanyalah apakah pria itu berhasil mengambil gambar yang ia inginkan? Aku harap kameranya tidak ikut terjatuh karena sayang sekali kan? Tewas akibat kecintaan pada dunia fotografi, tapi tidak berhasil mendapatkan foto yang di inginkan yang sudah ia tukar dengan nyawanya."
Pikiran pria itu membuat Tari menyerngitkan dahinya. "Apa kau suka mengungkapkan pendapat pikiranmu?" tanya Tari.
"Tidak ke sembarang orang." ucapnya.
Ucapan pria itu membuat Tari tersenyum, ia senang meskipun pria itu tak mengenalnya, tapi pria itu tak menganggap Tari sembarang orang.
Pria itu menyandarkan punggungnya ke tembok kemudian melipat tangannya di dadanya. "Apa kau lahir di Jakarta?"
Tari mengangguk. "Ya, aku lahir di sini, tapi kemudian aku menyelesaikan S1ku di Singapore, kemudian kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja sambil melanjutkan program S2ku."
Pria itu mengerutkan hidungnya, dan itu cukup sexy. Melihat pria dengan kemeja biru, potongan rambut rapih dan membuat wajah konyol. "Jadi kau sudah terbiasa dengan polusi dan kemacetan kota ini?"
"Ya tentu saja aku sudah terbiasa dengan semua itu karena aku lahir dan tinggal di sini."
"Aku seorang pengusaha tambang batu bara asal Surabaya, aku baru dua bulan pindah kemari. Ada tawaran kerja sama yang cukup menggiurkan yang berhasil membuatku beranjak dari kota Surabaya. Namun adik perempuanku sudah satu tahun tinggal di sini." Pria itu mengetukan kakinya. "Tepat di bawah kita. Dia menikah dengan pria Jakarta yang mahir komputer dan mereka membeli seluruh unit apartement di lantai paling atas."
Tari memandang ke bawah. "Seluruh lantai paling atas?"
Pria itu mengangguk. "Bajing*n beruntung itu bekerja dari rumah, bahkan ia tak perlu melepaskan piyamanya dan menghasilkan miliaran rupiah selama satu tahun."
Tari kembali memandangi pria itu. Modis, memiliki skill komunikasi yang handal, dan cerdas, serta seorang pemabuk. Matanya kini terpejam seolah dia menikmati angin malam yang menerpa wajah tampannya. "Kau mau tahu sesuatu?" tanya Tari.
"Apa?" jawabnya, ia kembali mengarahkan perhatiannya kepada Tari.
Tari menunjuk ke arah barat. "Lihat gedung itu? Gedung yang atapnya berwarna merah muda?"
Pria itu mengangguk.
"Ada gedung lain di belakangnya, di jalan Senopati. Ada sebuah perumahan mewah di atap gedung itu." ucap Tari, tanpa menyebutkan bahwa itu adalah salah satu project terbesar mendiang ayahnya.
Pria itu nampak terkesan. "Yang benar?"
Tari mengangguk. "Aku melihatnya sewaktu mencari di goole maps, dan aku mencari tahunya, rupanya perumahan mewah itu sudah ada sejak tahun 2009. Keren kan tinggal di rumah yang terletak di atas gedung?"
"Lalu siapa yang tinggal di sana?" tanya pria itu.
"Tentu saja konglomerat ibu kota."
Pria itu tertawa kemudian memandangi Tari dengan serius. "Apa kau atau salah satu keluargamu memiliki satu unit rumah di sana?"
Tari Hanya tersenyum, karena pada kenyataannya orang tuanya memang memiliki satu unit rumah di perumahan tersebut, sebagai investasi masa depan.
"Lalu misteri apa lagi yang ada di ibu kota ini?" tanya pria itu kembali.
"Namamu." kata yang terlontar begitu saja dari mulut Tari, hingga membuat dirinya ingin sekali menampar pipinya karena kata tersebut di anggapnya hal yang norak dan konyol.
Pria itu tersenyum. "Tara." jawabnya "Btara Langit Xabiru"
Tari menyerngitkan dahinya, mendengar nama panggilannya yang hanya beda satu huruf saja I dan A, serta sama-sama memiliki unsur warna di nama belakang mereka. "Nama yang sangat bagus sekali." ucap Tari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
CebReT SeMeDi
namanya unik y
2022-12-19
3
⏤͟͟͞R ⸙ᵍᵏℰℒℒᎽhiatus✰͜͡w⃠
nama yang mirip semoga takdir mereka juga mirip dan berjodoh 🤭
2022-12-17
1
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
bingung mau komen apa, soalnya mereka bahasnya kematian kan aku jadi ingetnya dosa🏃🏼♀
2022-12-16
0