"Aku sama sekali tidak kasihan melihat kedua orang tua itu, yang ada aku malah ingin mereka berdua menderita akibat keteledoran menyimpan pistol berpeluru yang bisa di jangkau oleh anak-anak kecil tidak berdosa. Mereka tidak hanya kehilangan satu anak saja, tapi mereka telah menghancurkan kehidupan anak yang satu laginya yang tak sengaja meletuskannya."
'Ya Tuhan, aku tidak siap mendengar cerita sesedih ini. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana bisa melewati tragedi itu.' batin Tari.
"Aku tak bisa membayangkan bagaimana dampak kejadian itu bagi kesehatan mental sang adik." ujar Tari.
Tara menyentil sesuatu dari celana jeansnya. "Dia akan mengalami gangguan kesehatan mental seumur hidup, kurang lebih begitulah dampaknya."
Tari memiringkan badannya menghadap ke arah Tara, ia menyangga kepalanya dengan satu tangannya. "Apa kau baru saja dari rumah sakit?"
"Ya, aku baru saja menyelesaikan medical check up rutinku"
Tari mengangguk, pantas saja ia bilang jika hari ini ia banyak melihat kematian, rupanya Tara seharian berada di rumah sakit.
Tara kembali menatap Tari. "Ceritakan yang lainnya." ujarnya.
Tari kembali merubah posisinya, ia melipat tangannya dan bernapas dalam-dalam. "Ayahku seorang yang cukup terkenal, sehingga pada saat pemakamannya tadi Bunda memintaku untuk menyampaikan sambutan dan lima kebaikan ayah selama hidupnya."
"Lalu?"
"Aku tidak mau, aku tidak mau melakukannya. Tapi bunda memaksaku, sehingga mau tidak mau aku melakukannya."
Tara mengangkat kepala dan menopangnya dengan siku, ia tampak sangat tertarik dengan apa yang di sampaikan oleh Tari.
"Okay, akan aku peragakan untukmu." Tari berdiri dan berjalan ke hadapan Tara, ia berdiri tegak seolah-olah ia menghadap orang-orang yang datang melayat. Tari berdeham.
"Selamat pagi, Saya Dia Tarisma Jingga, putri mendiang Banyugeni. Terima kasih atas kehadirannya untuk bersama-sama melepas kepergian ayah saya pada hari ini. Di kesempatan kali ini saya akan menceritakan lima hal hebat tentang ayah saya. Yang pertama..."
Tari menurunkan tatapan ke Tara sembari mengangkat bahunya "Itu saja." ucapnya.
Tara merubah posisinya menjadi duduk tegak memandangi Tari dengan serius. "Apa maksudmu itu saja?"
Tari kembali berbaring di kursi santai lipat. "Aku berdiri selama dua puluh menit tanpa mengucapkan apa-apa lagi, karena tidak ada satu hal hebat apa pun yang bisa aku ceritakan tentang ayahku. Sampai akhirnya bunda memberi kode kepadaku untuk kembali duduk di sebelahnya."
Tara memiringkan kepalanya. "Kau bercanda?"
Tari menggelengkan kepalanya. "Seandainya aku punya sedikit saja kenangan yang indah bersamanya, aku pasti akan bercerita selama satu jam atau mungkin lebih lama."
Tara kembali berbaring memandangi angkasa. "Wow." ujarnya, sembari menggelengkan kepalanya. "Sekarang aku jadi pengagummu, karena kau baru saja mengejek orang yang sudah meninggal."
"Kejam sekali komentarmu."
"Ya mau bagaimana lagi, itu adalah sebuah kejujuran yang mungkin saja menyakitkan."
Tari tergelak. "Sekarang giliranmu lagi."
"Aku tidak punya cerita yang mengalahkan ceritamu." ucap Tara.
"Cerita apa saja, kau pasti punya sebuah kejujuran yang belum pernah kau sampaikan pada orang lain." paksa Tari.
Tara melipat kedua tangannya di belakang kepalanya, kemudian ia menatap Tari. "Aku ingin menidurimu."
Tari ternganga, lalu menutup mulutnya lagi, ia benar-benar kehilangan kata-kata.
Tara memandangi Tari dengan raut wajah tak bersalah. "Kau sendirikan yang memintaku untuk mengatakan kejujuran yang belum pernah aku sampaikan pada orang lain? Kau cantik dan aku laki-laki normal. Kalau kau suka kencan satu malam, aku akan mengajakmu turun ke kamarku dan menidurimu."
Tari tak sanggup memandang ke arah Tara, pernyataan Tara membuat emosinya campur aduk. "Aku tidak suka kencan satu malam."
"Sudah ku duga." ucapnya. "Okay, sekarang giliranmu."
Setelah tadi berkata yang membuat Tari tercengang, Tara bersikap tak acuh. "Aku perlu waktu sebentar untuk menenangkan diri setelah yang tadi kau katakan." ucap Tari sembari tertawa.
Tari mencoba memikirkan sesuatu kejujuran yang ia ingin katakan pada Tara, namun ia masih belum bisa melupakan ucapan Tara yang ingin meniduri dirinya, ia tak pernah membayangkan orang berpendidikan seperti Tara mampu mengatakan hal itu dengan santainya.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, Tari akhirnya berkata... "Sebenarnya hampir semua teman dan keluargaku tahu, jika aku pernah berpacaran dengan seorang gelandangan atau preman pasar."
"Apakah kau pernah tidur dengannya?" tanya Tara.
Tari menganggukan kepalanya. "Ia pria pertama yang tidur denganku." jawab Tari.
Tara langsung bersemangat dan menoleh ke arah Tari. "Aku ingin mendengar cerita lengkapnya."
"Dulu waktu SMA, aku tinggal di Jakarta Pusat. Perumahan tempat tinggal kami cukup bagus, namun berbeda halnya dengan komplek yang berada di belakang rumahku yang terkesan sangat kumuh. Aku berteman dengan pria yang tinggal di komplek kumuh tersebut, namanya Ranu. Ia tinggal seorang diri, kedua orang tuanya telah meninggal saat ia masih kecil. Sebagi teman yang baik, hampir setiap hari aku membawakannya makanan, pakaian dan lain sebagainya, hingga suatu hari ayahku memergoki kami."
"Lalu apa yang di lakukan oleh ayahmu?" tanya Tara.
Tari menghela nafasnya, entah mengapa ia membahas masalah ini, padahal ia sudah ingin benar-benar melupakannya. "Ayahku menghajarnya." hanya itu yang sanggup Tari ceritakan. "Sekarang giliranmu."
Sesaat Tara memandangi Tari, seolah ia mengetahui apa kelanjutan dari cerita yang ia ceritakan, namun kemudian ia kembali memalingkan wajahnya. "Aku benci membayangkan tentang pernikahan." ucap Tara. "Usiaku tahun ini genap tiga puluh tahun dan aku tidak ingin punya istri apa lagi anak. Satu-satunya keinginanku adalah kesuksesan yang luar biasa.
"Dalam pekerjaan atau status sosial?" tanya Tari.
"Tentu saja keduanya. Semua orang bisa menikah dan punya anak tapi tidak semua orang bisa jadi pengusaha yang hebat, aku ingin menjadi yang terbaik di bidangku. Mungkin kedengarannya aku sombong."
"Ya itu terdengar angkuh." ucap Tari.
Tara tersenyum. "Ibuku khawatir kalau aku menyia-nyiakan hidupku."
"Apa yang membuat ibumu kecewa? Kau seorang pengusaha yang sukses." Tari tertawa terbahak-bahak. "Kapan orang tua bisa benar-benar bangga dan menghargai kerja keras anaknya?"
Tara menggelengkan kepalanya. "Tidak banyak orang yang memiliki ambisi seperti itu, dan aku rasa anak-anakku nantinya pun tak akan bisa mengimbangiku, maka dari itu tak ingin memiliki anak."
"Aku hargai prinsipmu, karena terlalu banyak orang tua yang menuntut dan membebankan anak-anaknyanya harus bisa melampaui orang tuanya." ucap Tari dengan menggebu-gebu, ia merasakan betul tekanan serta tuntutan yang di berikan oleh mendiang ayahnya kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
CebReT SeMeDi
Sudah umur 30 taun Tara dan ga ingin menikah ataupun punya anak🙄
2022-12-19
3
⏤͟͟͞R ⸙ᵍᵏℰℒℒᎽhiatus✰͜͡w⃠
wow Tara cukup jujur ingin tidur dgn tari akankah itu terwujud 😂😂
2022-12-17
1
@𝕬𝖋⃟⃟⃟⃟🌺nada Mυɳҽҽყ☪️
namanya jg lgi mabok tar
2022-12-11
0