NovelToon NovelToon

Enough

Chapter 1

Tari duduk dengan kaki menjuntai, menatap ke bawah dari lantai tiga puluh lima di atas jalanan ibu kota, ia memikirkan tentang bunuh diri.

Bukan, bukan...

Tari tak bermaksud ingin membunuh dirinya sendiri, ia cukup senang dengan kehidupannya dan berktekad untuk melanjutkan hidupnya sampai dengan selesai.

Tari hanya sedang berfikir tentang orang-orang di luaran sana yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Apakah mereka menyesalinya, saat detik-detik tubuh mereka terhempas?

Kurasa ya, karena semua masalah pasti akan ada jalan keluarnya.

Tari seringkali memikirkan soal kematian, khususnya hari ini dimana seorang pengusaha real estate paling sukses di Ibu kota, serta suami dari Surinala Embun Pagi, dan ayah dari Dia Tarisma Jingga, seorang gadis aneh berambut pirang, yang pernah jatuh hati pada seorang preman pasar senen hingga membuat keluarganya malu.

Ya ini lah aku, Dia Tarisma Jingga, dan Banyugeni ayahku.

Setelah menghadiri upacara pemakaman ayahnya, Tari membajak rooftop apartement. Sekali lagi bukan karena ia ingin bunuh diri atau atau berencana terjun dari rooftop apartement ini. Tari hanya benar-benar butuh udara segar, dan keheningan yang tidak bisa ia dapatkan di dalam apartement yang masih ramai dengan suara isak tangis keluarga besarnya.

Sialnya Tari tak menyangka jika di atas ketinggian tersebut benar-benar sangat dingin dan membuatnya tak nyaman, namun ini masih jauh lebih baik karena di atas ketinggian Tari masih bisa melihat bintang-bintang dan kemegahan alam semesta ini, dan Tari sangat menyukai hal itu, ia menyukai langit lantaran langit bisa membuatnya merasa sangat kecil dan tidak penting.

Di tengah keheningan malam yang Tari rasakan, tiba-tiba saja pintu rooftop tebuka dengan sangat kencang, seketika Tari menoleh ke arah pintu tersebut dan menunggu sesosok manusia keluar dari pintu tersebut, namun yang ia dapatkan hanyalah bunyi suara langkah kaki.

Tari kembali menatap langit, karena siapa pun yang datang, kemungkinan besar tak menyadari keberadaanku karena Tari berada di atas banguan kecil di atas rooftop. Ia mendesah tanpa suara, memejam kan matanya dan menyandarkan kepala ke dinding berplester semen kasar yang berada di belakangnya, sembari bergerutu karena orang itu telah merusak keheningan malam yang ia rasakan, namun ia berharap siapa pun yang datang itu adalah seorang perempuan bukan laki-laki.

Suara langkah kaki itu semakin lama semakin mengganggu Tari, hingga akhirnya mata Tari pun mengembara ke arah siluet yang bersandar di tepi tembok, dan ternyata doanya tak terkabul, seseorang yang datang adalah seorang pria.

Dengan jelas Tari melihat tubuh tingginya, bahunya yang bidang sangat kontras dengan caranya yang rapuh memegang kepalanya dengan satu tangannya sementara tangan yang satu laginya memegangi satu kantong kresek putih, entah apa yang pria itu bawa. Tari juga melihat punggung pria tersebut yang secara perlahan naik turun saat ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar, pria itu tampak di ambang luapan emosi.

Tari menatap pria itu lebih lama lagi, ia penasaran apa pria itu akan bergerak dari tempatnya berdiri atau akan berada di situ lebih lama lagi.

Ya kenyataannya pria itu hanya berdiri di sana, memasukan tangan kirinya di saku celananya. Untuk pertama kalinya Tari menyadari bagian lengan atas kemeja yang di kenakannya terlihat sangat sempit. Pakaian itu terlihat sangat pas di bagian lain, tapi tidak di lengan kekarnya. Ia mulai merogoh-rogoh katong kresek putih yang di bawanya, kemudian ia membuka satu kaleng minuman beralkohol. Tari menganggap itu mungkin usahanya untuk melepaskan emosinya, pria itu meminum minumannya.

Tahun ini usia Tari genap 27 tahun, ia sudah lulu S1 dan sedang menyelesaikan program study S2nya dan tentu saja ia pernah mencoba semua jenis minuman beralkohol, sehingga Tari tak akan menghakimi pria tersebut, baginya hal wajar ketika seseorang sedang berada dalam masalah, lalu kemudian ia merasa perlu melepaskan emosinya dengan minum sendirian di tempat sunyi.

Tapi masalahnya di tempat itu tak sunyi, ada Tari yang belum di sadari oleh pria tersebut.

Pria itu kembali merogoh katong kreseknya dan membuka kaleng berikutnya sembari berbalik untuk kembali turun dari rooftop, dan saat ia meminum minumannya, ia melihat Tari.

Langkahnya terhenti dan keduanya saling bertatapan. Raut wajah pria itu tak menunjukan keterkejutan atau pun kegembiraan saat bertatapan dengan Tari. Dia hanya berjarak dua setengah meter dari tempat Tari berada, namun cahaya bulan yang terang, cukup membuat Tari dapat melihat mata birunya, kemudian perlahan menyusuri bentuk tubuhnya yang kekar.

"Siapa namamu?" Tanya pria itu.

Saat Tari belum menjawab pertanyaan pria itu, pria itu kembali meminum minumannya.

"Tari" ucapnya, ia benci dengan suaranya yang terdengar lemah.

Pria itu mengangkat dagunya. "Tari, tolong kau turun dari sana." ucap pria itu, seolah ia takut Tari akan terjatuh, padahal tidak. Masih ada space sekitar tiga puluh centi meter untuk Tari duduk dan ia bisa berpegangan sebelum dirinya terjatuh.

Tari melirik ke arah kedua kakinya yang menjuntai ke bawah, lalu kembali menatapnya. "Tidak, aku sangat nyaman berada di sini."

Sesaat pria itu menoleh ke samping, seolah tak tahan melihat Tari duduk di tempat itu "Tolong turunlah dari situ!" kedengarannya seperti perintah mesikpun ia menggunakan kata tolong.

"Jarakmu kurang dari tiga puluh centimeter sebelum kamu jatuh dan tewas jatuh dari ketinggian. Hari ini aku sudah cukup banyak melihat kematian, dan aku tidak ingin melihatnya lagi." Pria itu memberi isyarat kepada Tari agar ia segera turun.

Tari menghembuskan napasnya. " Kau ini menggangguku saja." ia memutar bola matanya dan kemudian ia melompat turun.

"Puas?" tanya Tari sembari menghampiri pria itu, sesaat ia memalingkan wajahnya ketika ia menyadari begitu manisnya pria tersebut.

Ya pria itu sangat manis dan tampan, beraroma maskulin, dan terlihat usianya beberapa tahun di atasnya. Dari potongan rambut serta kemeja mahal yang ia kenakan, sudah bisa di pastikan ia adalah incaran para gadis-gadis, namun Tari besikap seolah tak terkesan dengan pria itu.

Pria itu kembali meminum minumannya, kemudian ia menawari Tari, namun Tari menolaknya, ia tak ingin mabuk dengan pria itu. Tapi jika boleh jujur, sebenarnya suara pria itu saja sudah memabukannya, dan ia ingin mendengarnya lagi sehingga Tari membuka obrolan basa-basi dengannya. "Tempat yang cukup bagus untuk melepaskan beban pikiran, bukan?" pertanyaan yang menurut Tari bodoh tapi keluar begitu saja dari mulutnya.

Pria itu hanya memandangi Tari, benar-benar memandangi Tari dengan tatapan tajamnya seolah ia sedang membaca seluruh isi pikiran di otak Tari.

Chapter 2

"Apa karena seorang wanita?" tanya Tari kembali. "Dia membuatmu patah hati?" sambungnya.

Pria itu tertawa kecil mendengar pertanyaan yang di lontarkan Tari kepadanya. "Andai masalahku sesepele masalah urusan hati." pria itu bersandar di dinding, menghadap ke arah Tari. "Kau tinggal di lantai berapa?" tanya pria itu sembari menghabiskan minuman kaleng keduanya. "Aku belum pernah melihatmu di sini."

"Tentu saja, aku memang tidak tinggal di sini." Tari menunjuk ke arah apartement yang ia tinggali seorang diri. Sejak berberapa tahun yang lalu, Tari memutuskan untuk hidup mandiri dengan tidak tinggal bersama orang tuanya lagi.

"Kau lihat gedung stasiun televisi swasta itu?"

Pria itu menyipitkan matanya, memandang arah yang Tari tunjuk "Ya."

"Aku tinggal di gedung sebelahnya, sulit terlihat memang karena bangunannya hanya delapan lantai dan di apit oleh gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya," ucap Tari.

Pria itu kembali berbalik ke arah Tari. "Kalau kau tinggal di sana, lalu mengapa kau berada di sini? Apa kekasihmu tinggal di apartement ini?"

Kalimat yang di lontarkan pria itu membuat Tari merasa seperti wanita murahan yang dengan mudahnya menyambangi tempat tinggal pria. "Atap gedung apartemenmu bagus." jawab Tari.

Pria itu mengangkat alisnya, menunggu penjelasan lebih lanjut dari Tari.

"Aku butuh udara segar, kemudian aku membuka google Maps dan menemukan apartement yang rooftopnya luman bagus dan tak jauh dari tempat tinggalku, jadi ya aku kemari."

Pria itu tersenyum "Kau sangat sederhana, mencari udara segar di sini, karena biasanya para gadis akan pergi mengunjungi club malam atau mall untuk mencari udara segar" cetusnya. "Tapi kau tidak, dan itu sangat bagus."

Sederhana? Tari menganggukan kepalanya karena memang dia tidak begitu suka dengan keramaian maka dari itu ia mencari tempat yang sunyi.

"Kenapa kamu butuh udara segar?" tanya pria itu kembali.

Karena hari ini aku baru saja menghadiri pemakaman ayahku, dan di apartement orang tuaku masih dipenuhi dengan tangisan keluarga besarku, yang membuat dadaku seolah sesak tak bisa bernafas.

Tari kembali menghadap depan, ia menghela nafasnya pelan. "Lebih baik kita diam dan tidak membahas apa pun!"

Pria itu pun ikut menghadap depan memandangi jalanan di bawah, dan Tari memperhatikan. Dia mungkin menyadari jika Tari memperhatikannya, namun pria itu nampak tidak peduli.

"Bulan lalu, ada seorang pria jatuh dari atap ini." ucapnya.

Seharusnya Tari kesal karena pria itu mengabaikan permintaannya untuk diam, namun Tari penasaran. "Apa karena kecelakaan?" tanya Tari.

Pria itu mengangkat bahu. "Tidak ada yang tahu. Kejadiannya sore menjelang malam. Istrinya berkata jika dia sedang masak makan malam dan suaminya meminta izin naik ke rooftop untuk mengambil gambar matahari terbenam. Dia seorang fotografer. Mereka menduga dia naik di tempatmu duduk tadi kemudian tergelincir dan jatuh."

Tari mendongak melihat tempatnya duduk tadi, sembari membayangkan posisi sang forografer itu terjatuh.

"Sewaktu adik perempuanku bercerita mengenai kejadian itu, yang aku fikirkan hanyalah apakah pria itu berhasil mengambil gambar yang ia inginkan? Aku harap kameranya tidak ikut terjatuh karena sayang sekali kan? Tewas akibat kecintaan pada dunia fotografi, tapi tidak berhasil mendapatkan foto yang di inginkan yang sudah ia tukar dengan nyawanya."

Pikiran pria itu membuat Tari menyerngitkan dahinya. "Apa kau suka mengungkapkan pendapat pikiranmu?" tanya Tari.

"Tidak ke sembarang orang." ucapnya.

Ucapan pria itu membuat Tari tersenyum, ia senang meskipun pria itu tak mengenalnya, tapi pria itu tak menganggap Tari sembarang orang.

Pria itu menyandarkan punggungnya ke tembok kemudian melipat tangannya di dadanya. "Apa kau lahir di Jakarta?"

Tari mengangguk. "Ya, aku lahir di sini, tapi kemudian aku menyelesaikan S1ku di Singapore, kemudian kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja sambil melanjutkan program S2ku."

Pria itu mengerutkan hidungnya, dan itu cukup sexy. Melihat pria dengan kemeja biru, potongan rambut rapih dan membuat wajah konyol. "Jadi kau sudah terbiasa dengan polusi dan kemacetan kota ini?"

"Ya tentu saja aku sudah terbiasa dengan semua itu karena aku lahir dan tinggal di sini."

"Aku seorang pengusaha tambang batu bara asal Surabaya, aku baru dua bulan pindah kemari. Ada tawaran kerja sama yang cukup menggiurkan yang berhasil membuatku beranjak dari kota Surabaya. Namun adik perempuanku sudah satu tahun tinggal di sini." Pria itu mengetukan kakinya. "Tepat di bawah kita. Dia menikah dengan pria Jakarta yang mahir komputer dan mereka membeli seluruh unit apartement di lantai paling atas."

Tari memandang ke bawah. "Seluruh lantai paling atas?"

Pria itu mengangguk. "Bajing*n beruntung itu bekerja dari rumah, bahkan ia tak perlu melepaskan piyamanya dan menghasilkan miliaran rupiah selama satu tahun."

Tari kembali memandangi pria itu. Modis, memiliki skill komunikasi yang handal, dan cerdas, serta seorang pemabuk. Matanya kini terpejam seolah dia menikmati angin malam yang menerpa wajah tampannya. "Kau mau tahu sesuatu?" tanya Tari.

"Apa?" jawabnya, ia kembali mengarahkan perhatiannya kepada Tari.

Tari menunjuk ke arah barat. "Lihat gedung itu? Gedung yang atapnya berwarna merah muda?"

Pria itu mengangguk.

"Ada gedung lain di belakangnya, di jalan Senopati. Ada sebuah perumahan mewah di atap gedung itu." ucap Tari, tanpa menyebutkan bahwa itu adalah salah satu project terbesar mendiang ayahnya.

Pria itu nampak terkesan. "Yang benar?"

Tari mengangguk. "Aku melihatnya sewaktu mencari di goole maps, dan aku mencari tahunya, rupanya perumahan mewah itu sudah ada sejak tahun 2009. Keren kan tinggal di rumah yang terletak di atas gedung?"

"Lalu siapa yang tinggal di sana?" tanya pria itu.

"Tentu saja konglomerat ibu kota."

Pria itu tertawa kemudian memandangi Tari dengan serius. "Apa kau atau salah satu keluargamu memiliki satu unit rumah di sana?"

Tari Hanya tersenyum, karena pada kenyataannya orang tuanya memang memiliki satu unit rumah di perumahan tersebut, sebagai investasi masa depan.

"Lalu misteri apa lagi yang ada di ibu kota ini?" tanya pria itu kembali.

"Namamu." kata yang terlontar begitu saja dari mulut Tari, hingga membuat dirinya ingin sekali menampar pipinya karena kata tersebut di anggapnya hal yang norak dan konyol.

Pria itu tersenyum. "Tara." jawabnya "Btara Langit Xabiru"

Tari menyerngitkan dahinya, mendengar nama panggilannya yang hanya beda satu huruf saja I dan A, serta sama-sama memiliki unsur warna di nama belakang mereka. "Nama yang sangat bagus sekali." ucap Tari.

Chapter 3

"Kenapa? Apa kedengarannya namaku aneh? " tanya Tara.

"Nama kita sama-sama memiliki unsur warna. Dia Tarisma Jingga, itu nama panjangku." Tari bisa melihat jika Tara tersenyum simpul.

"Jingga itu tak akan terpisahkan oleh senja. Keduanya menyenangkan, kadang terang merekah bahagia, namun kadang gelap kelam berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya."

Tari merasa ucapan Tara seperti sebuah gombalan, namun ya harus Tari akui, ia pun menyukai senja yang begitu menenangkan. "Dulu aku pernah bermimpi membuat sebuah kafe tenda di pinggir pantai, yang bukan hanya menawarkan ragam kuliner enak, namun juga menawarkan panorama senja dengan diiringi musik keroncong. Tapi mereka pasti mengira jika aku menjual namaku dan kini aku pun tidak ingin menjadi seorang pelayan kafe."

"Ya mungkin saja, kan hanya menjadi pemilik. Tidak lantas kau yang menjadi pelayannya." ujar Tara. Tanpa sadar Tari berbisik "D'Jingga cafe. Itu memang nama yang cukup keren untuk sebuah kafe pinggir pantai yang indah, tapi sebentar lagi aku akan memiliki gelar magister bisnis administrasi. Itu namanya turun pangkat bukan? Saat ini aku bekerja sebagai Chief Operational Officer/COO di perusahaan teknologi terbesar di Jakarta."

"Punya bisnis sendiri itu bukan turun pangkat." ujar Tara. Tari mengangkat alisnya "Kecuali pembisnis sepertimu."

Tara mengangguk sepakat. "Kecuali pembisnis sepertiku." ulangnya."Jadi siapa yang memberimu nama sebagus itu?"

Hening sejenak. "Ayahku. Sebagai anak tunggal tentu ayahku sangat bersemangat menyambut kelahiran putrinya yang lahir di kala senja yang merekah, dan beliau menjatuhkan pilihannya pada nama Jingga sebagai nama belakangku."

"Ayahmu pasti sangat konyol sekali, memilihkan nama hanya karena kamu lahir saat sore hari." ucap Tara.

"Ayahku baru saja meninggal pagi ini."

Tara melirik ke arah Tari. "Jangan bercanda dengan kematian!"

"Aku tidak bercanda, untuk itulah aku naik ke sini, aku ingin menangis dan berteriak sepuas hatiku dalam keheningan malam." ucap Tari 'Sebelum kau datang mengusik ketenanganku' batinnya.

Sesaat Tara memandangi Tari dengan curiga, ia memastikan jika Tari tidak sedang bercanda, kemudian Tara meminta maaf atas ucapan kurang sopannya yang baru saja ia lontarkan. Ia menatap Tari dengan tatapan penasaran, seolah ia sangat tertarik pada cerita selanjutnya. "Apa hubunganmu dengan ayahmu sangat dekat?"

Itu pertanyaan yang sulit untuk di jawab Tari, ia kembali memandang ke jalan raya di bawah. "Entahlah," jawab Tari sambil mengangkat bahunya. "Sebagai seorang anak, aku mencintainya. Tapi sebagai manusia, aku sangat membencinya."

Tari bisa merasakan jika Tara mengamatinya sejenak, kemudian berkata. "Aku suka kejujuranmu."

Tara suka kejujuranku? Ku rasa saat ini wajahku sedang merah merona.

Tara mencungkil sepotong lapisan dinding semen yang terkelupas dengan jari telunjuknya, lalu ia menyentilnya. "Aku rasa hampir semua orang hidup dalam kepura-puraan, bahkan sebagian lagian pandai menyembunyikannya."

Entah alkohol yang di minumnya mulai bereaksi atau memang dia tipe pria yang suka merenung. Tapi apa pun itu tak masalah, Tari memang menyukai obrolan yang tak berisi jawaban yang sesungguhnya.

"Menurutku bersikap lebih tertutup tidak ada salahnya," ucap Tari. "Karena tidak semua orang harus tahu siapa kita yang sebenarnya."

Tara menatap Tari sejenak. "Kejujuran yang apa adanya," ucapnya. "Aku suka itu." Tara berbalik dan berjalan ke tengah rooftop. Tara membenahi posisi sandaran salah satu kursi santai lipat yang terdapat di rooftop, kemudian ia berbaring dan meletakan kedua tangannya sembari memandangi langit.

Tari pun ikut melakukan hal yang sama, ia juga membenahi posisi sandaran kursi dan berbaring seperti Tara.

"Ceritakan satu kejujuran lagi padaku, Tari."

"Tentang apa?" tanya Tari.

Tara mengangkat bahunya. "Apa saja, sesuatu yang belum pernah kau ceritakan ke orang terdekatmu termasuk sahabat baikmu."

Tara mentap langit menunggu jawaban Tari. Mata Tari menyusuri garis rahangnya, lekuk pipinya, bentuk bibirnya. Tari berfikir tentang pertanyaan yang di lontarkan oleh Tara dan berusahan menemukan apa rahasia yang belum pernah ia sampaikan pada teman terdekatnya.

Saat Tari menemukan jawaban atas pertanyaan Tara, ia kembali melemparkan pandangannya ke langit. "Ayahku suka menyiksa." ucap Tari. Seketika Tara menoleh ke arahnya.

"Bukan menyiksaku, tapi Bundaku" Tari langsung memperjelas kalimatnya. "Saat mereka bertengkar, dan kemarahaan ayah memuncak, di situlah ayah kerap kali memukul bunda. Tapi setelah itu terjadi, ayah berubah menjadi sosok yang sangat penyanyang seolah ia sangat mencintai bunda. Ia membelikan bunda bunga, banyak hadiah untuk kami, makan malam mewah, hingga liburan kemana pun bunda dan aku mau, ayah melakukan itu semua karena ia tahu aku sangat membeci pertengkaran mereka." Tari bergeser sedikit membenahi posisi tidurnya menjadi lebih nyaman untuknya.

"Sewaktu aku masih kecil, aku selalu menunggu malam pertengkaran kedua orang tuaku, karena aku tahu jika ayah memukul bunda, setelahnya akan sangat menyenangkan." Tari terdiam sejenak, ia tak yakin jika dirinya memiliki pikiran tersebut. "Tapi tentu saja, aku jauh lebih suka jika ayah tak menyakiti bunda. Namun penyiksaan itu tidak dapat dihindari oleh mereka, sehingga kami jadi terbiasa. Saat aku beranjak dewasa, aku mulai menyadari jika aku tetap diam saja, maka aku pun ikut bersalah karena itulah hampir seumur hidup aku membenci ayah, karena ia jahat."

Tara menoleh dan menatap Tari dengan ekspresi serius. "Tari" ujarnya lugas. "Tidak ada orang jahat di dunia ini, hanya saja terkadang orang melakukan hal-hal yang tidak baik."

Tari membuka mulutnya untuk menyahuti Tara, namun kata-kata Tara membuatnya bungkam. Hanya saja terkadang orang melakukan hal-hal yang tidak baik. Tari rasa itu ada benarnya, tidak ada orang yang sepenuhnya jahat dan tidak ada pula orng yang sepenuhnya baik.

"Sekarang giliranmu." ucap Tari.

Melihat reaksi Tara, Tari rasa Tara enggan untuk mengatakan kejujuran yang terjadi dalam hidupnya. Tara mendesah berat dan mengusap rambutnya. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi kemudian menutupnya lagi. Tara berfikir sesaat lalu akhirnya berkata. "Secara tak sengaja, malam ini aku melihat seorang bocah meninggal dunia." suara Tara terdengar putus asa. "Sepasang kakak beradik laki-laki, mereka menemukan pistol di kamar orang tuanya. Si adik memegang pistol tersebut kemudian meletus."

Tari tersentak, sepertinya kejujuran ini agaknya sangat berlebihan untuknya.

"Sang kakak harus terbaring di meja operasi dengan kondisi tak sadarkan diri, hingga beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang operasi dan mengabarkan jika sang kakak tak bisa terselamatkan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!