BAB IV THE SHADOW

Mencium bau dupa dari meja sebelahnya, Nadine melihat Susan membawa peralatan aneh dan menyimpannya di mejanya. Bau dupa menyengat ketika Susan menyalakan korek dan membakar dupa yang sudah dia tata rapi di dalam guci-guci kecil. Membawa sebuah tulisan china untuk di bakar lalu menggumamkan sesuatu yang tidak Nadine mengerti.

Ini masih pagi dan temannya sudah seperti kerasukan jin menyalakan dupa. Bagaimana Nadine bisa tetap waras jika orang-orang di sekitarnya memiliki perilaku aneh.

“Untuk apa dupa-dupa itu? Apa kau tidak takut di usir oleh HRD?” Nadine melihat Susan dari balik biliknya, melihat Susan yang serius dengan benda-bendanya. Nadine ngeri saja jika nanti ada bagian dari personalia tiba-tiba datang pada meja mereka dan marah di hadapan semua karyawan seperti tidak ada tempat lain untuk memarahi orang.

Susan mengeluarkan sesuatu dari dalam lacinya, sebuah kertas berisi sebuah perjanjian yang ditandatangani di atas materai. “Aku sudah mengantongi izin, mana mau aku berurusan dengan Bu Joice tidak jelas itu. Aku tidak mau dipermalukan gara-gara hal sepele seperti yang dilakukan Maria.”

Nadine ingat yang terjadi pada Maria yang tempo hari mangkir karena tidak mendapatkan izin cuti dikarenakan ibunya meninggal dunia. Manusia mana pun yang memiliki hati biasanya akan memberikan pemakluman atas hal tersebut, tetapi berbeda dengan Bu Joice seperti hatinya terbuat dari batu hingga membuat Maria menangis disaksikan oleh hampir seluruh karyawan.

Kejadian saat itu sangat menggemparkan hingga atasan Maria turun tangan dan memberikan izin padanya untuk pulang cepat. Bukan masalah aturan yang tidak diikuti, tetapi sebagai manusia haruslah memiliki sifat kemanusiaan, apalagi baru saja ditinggalkan oleh orang terkasih.

“Lalu itu?” Nadine menunjuk ke arah dupa-dupa itu menggunakan dagunya.

“Kau ingat aku sering kelelahan, dulu aku tidak pernah sekalipun merasa akan mati sepulang bekerja, lalu sepupuku menyarankan untuk pergi ke dukun, katanya ada iblis jahat di ruanganku,” ujar Susan dengan nada sedikit berbisik di akhir kalimat. Menekankan kalimat ada iblis jahat di ruangan tempatnya bekerja.

Nadine hampir menjatuhkan dagunya karena menganga tidak percaya pada ucapan Susan yang tidak masuk akal. Kelelahan usai bekerja itu sangat wajar, kenapa dia sampai di besar-besarkan dengan membawa-bawa iblis dan dukun. Lagi pula sebagai reporter mereka harusnya tidak kenal lelah dalam mencari berita, kadang kala mereka bahkan sampai menginap di TKP.

“Tck, kau memang tidak akan percaya,” ujar Susan tidak terima dengan ekspresi Nadine.

Dua puluha lima tahun Nadine hidup dia tidak pernah terpengaruh akan hal-hal kecil seperti itu. “Itu hanya kelelahan, aku berikan link untuk menjaga badan tetap fit.”

Susan mengibaskan tangannya. “Tidak mempan, setiap sampai di rumah, seluruh tenagaku terkuras habis dan aku bahkan tidak bisa produktif karena bergerak saja tidak sanggup. Mengecek kesehataan sampai medical check up hasilnya tidak ada yang aneh dengan badanku.”

“Lalu kau mengatasinya dengan membawa dupa dan teman-temannya?”

Susan menganggukkan kepalanya. “I hope so.”

Sebenarnya Nadine tidak bertanya lebih jauh karena dia tidak terlalu memahami mengenai iblis dan pengusirannya seperti yang Susan jelaskan. Mengangguk tanda mengerti saja, dia juga tidak berharap akan terjadi hal mengerikan.

“Itu tidak akan mempan.”

Nadine menoleh ke arah Susan. “Apa yang tidak akan mempan?”

“Apa?” tanya Susan menunjukkan raut tidak mengerti akan pertanyaan Nadine.

“Kau bilang itu tidak akan mempan, apa yang tidak akan mempan?” tanyanya merujuk pada kalimat yang sebelumnya Nadine tidak dengar. Tidak ada orang lain selain Susan yang sedang dia ajak bicara, Nadine yakin jika Susan mengatakan sesuatu.

Namun, kerutan di dahi perempuan berusia 26 tahun itu masih menunjukkan seperti dia tidak pernah mengucapkannya.

“Aku tidak bicara apapun." Susah menyangkalnya dan menatap Nadine bingung.

“Tidak, aku yakin kau mengatakannya. Aku mendengarnya dengan jelas.” Nadine besikukuh atas apa yang sebelumnya dia dengar. Nadine sangat yakin jika Susan mengatakan sesuatu.

“Jangan bersikap aneh—” Kalimat Susan terhenti, matanya tiba-tiba membelalak, lalu sepersekian detik menyipit dengan cepat. “—atau jangan-jangan iblis itu juga mengganggumu, kau mau pinjam dupa ku?”

“Jangan bercanda." Nadine menggelengkan kepalanya, Susan pasti sudah mengada-ada.

Nadine sudah tidak mendengar apa yang Susan katakan mengenai kekuatan spiritual atau apapun berbau iblis yang mengelilingi kantor mereka hingga menurutnya harus dilakukan pembersihan menyeluruh. Tiba-tiba Nadine pusing di buatnya, dia hanya menyandarkan bahunya di kursi dan memijat kepala.

...****************...

"Kau sudah mendapatkan informasinya?" tanya Susan sepeninggalan mereka dari gedung setelah ditugaskan untuk meliput sebuah kasus penipuan jual beli tanah yang dilakukan oleh anggota partai politik.

Siang itu panas sangat terik, bahkan terasa membakar tubuhnya. Jika siang sepanas ini biasanya Nadine akan menjadi cepat lelah karena keringat pun kini sudah membanjiri tubuhnya.

Di depan mereka ada sebuah bangunan berlaintai lima bergaris polisi. Beberapa dari agensi lain pun sudah tampak melakukan siaran live di tempat perkara kejadian. Gedung itu tampak sedang di kosongkan dengan beberapa polisi berjaga di setiap sudut gedung tersebut. Belum lagi dengan polisi lain yang sedang menyita dokumen-dokumen dan membawanya memasuki sebuah truk yang terparkir tepat di depan pintu masuk bangunan.

"Sudah, pak bos mengatakan jika bangunan ini tempat beroperasi penipuan yang sudah lama berjalan." Susan menatap bagimana perpindahan dokumen yang di masukkan ke dalam kardus itu ke dalam truk.

Rami—selaku kameramen yang bertugas bersama kembali entah dari mana, sedangkan kamera yang akan merekam sudah stand by di posisi. "Aku bertanya pada penduduk setempat, katanya mereka bahkan tidak tau ini perusahaan apa. Merekahanya tau banyak orang yang keluar-masuk di jam-jam tertentu. Kau sudah siap? Kita on air sekarang."

Nadine melirik arloji miliknya, dan mengangguk pada ucapan Rami. Liputan pun di mulai.

Rami memberikan aba-aba menggunakan tangannya pada Nadine jika kamera sudah menyala. Susan berdiri di sebelah Rami membawa papan berita untuk dibacakan oleh Nadine sembari mengawasi agar dapat tersambung dengan lokasi on air di kantor.

Nadine memang seorang profesional, dia membawakan warta berita dengan baik. Menunjukkan keseriusannya dalam menunjukkan suatu kasus dengan mendetail dan sempurna.

Pada mulanya Nadine hanya berfokus pada warta berita yang dia bawakan. Sampai pada satu titik mata Nadine berfokus pada bayangan kedua teman di hadapannya. Tidak ada yang aneh sampai Nadine melihat bayangan miliknya berjalan melintasi rongga antara dirinya dengan Rami. Bayangan itu lalu memakan bayangan Susan.

Bayangan itu membentuk sebuah mulut buaya—sesuatu yang sering kita mainkan saat kecil ketika mati lampu, kita akan menghidupkan lilin lalu membuat bayangan menggunakan tangan. Mulut itu lalu memakan bayangan Susan, tetapi bayangan Susan tidak hilang begitu saja. Dia ada, membuat pergerakan Susan menjadi melemah. Tubuhnya mulai lemas dan mengipaskan kertas ke arah wajahnya.

Nadine mengerjapkan matanya beberapa kali, hampir berhenti di tengah jalan karena melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Matanya tidak bisa lepas dari bayangan itu yang kini telah kembali ke arah bayangan miliknya sendiri.

"Terimakasih." Penutup hari itu membuat Nadine lemas seketika.

"Astaga panas sekali hari ini, sepertinya aku mau pingsan." Susan melemaskan tungkainya dan duduk di trotoar. "Kita makan siang di tempat yang dingin tolong sepertinya aku tidak akan kuat."

Susan pun ambruk seketika, dia pingsan di trotoar.

"Susan!"

...****************...

"Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Leen. Setelah bayangan itu memakan bayangin Susan, dia langsung pingsan!" ujar Nadine menggebu-gebu.

Perempuan berusia 25 tahun itu tidak bisa menahan diri ketika melihat sesuatu yang aneh dan langsung mengeluarkan ceritanya pada Aileen pada sesampainya di home sharing mereka. Tentu saja Nadine menggebu-gebu, siapa sih yang tidak akan kaget jika melihat sesuatu yang begitu nyata, begitu jelas untuk sekedar dianggap hayalan.

Aileen memberikan segelas susu pada Nadine, lantas duduk di sofa, membuat mereka saling bersebelahan. "Kau yakin itu bukan sebuah fatamorgana seperti jika berada di gurun?"

"Seratus persen yakin, mataku masih bisa berfungsi dengan baik ya Leen." Nadine merenung, memandangi susu di tangannya. Sedangkan pikirannya melanglang buana ke kejadian siang tadi. "Mungkin yang dikatakan oleh Susan benar, memang ada iblis di kantor kita."

Aileen tertawa kecil. "Jangan bercanda."

"Aku serius!"

Nadine seperti merasa de javu sekarang. Tadi pagi dirinya yang enggan untuk memercayai perkataan Susan yang dia anggap bercanda. Tepat malam ini Nadine yang sekarang berbicara mengada-ada.

Sekarang Nadine seperti orang yang menjilat ludahnya sendiri. Nadine mengerang frustasi.

"Dengar Nadine, mungkin kau hanya kelelahan karena bekerja di bawah sinar matahari. Aku akui, tadi cuaca memang sangat panas sampai-sampai rasanya aku bisa merebus kentang hingga matang," Ujar Aileen menenangkan seraya menyeruput teh madu buatannya.

Menatap Nadine yang kalut, Aileen kembali berkata, "Susan akan baik-baik saja, kau sendiri saat pulang mengeluh jika siang tadi bisa membuatmu pingsan. Jangan terlalu khawatir pada orang lain, khawatirlah pada dirimu sendiri. Kau sering mendekati bahaya dan bisa mati konyol."

"Oh come on, aku sedang tidak berniat diceramahi olehmu." Nadine berujar dengan kesal. Aileen memang jelmaan yang tidak tahu tempat untuk urusan satu itu.

Bagaimana Nadine tidak khawatir, dia sendiri takut bagaimana sebetulnya dirinyalah yang membawa iblis itu untuk memangsa Susan. Sejak awal Susan sering kelelahan karena dia. Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya.

"Lagi pula, jika itu benar bayanganmu, kenapa aku yang setiap hari bersamamu tidak menjadi seperti Susan?"

Pertanyaan Aileen jelas membuat Nadine kepikiran, kenapa Susan dan bukan Aileen.

"Oh, iya," ujar Nadine. "Kau ingat aku bertemu dengan orang bernama Elliot?"

"Elliot?"

"Orang yang mencuri ciumanku!"

"Ada apa dengannya? Kau berciuman lagi dengannya?" tanya Aileen sedikit heboh.

"Tidak, dia berkata jika luka di punggungku itu katanya fallen angel atau apalah itu aku tidak mengerti, dia sudah gila, jelas-jelas luka yang aku miliki buah hasil dari kerja kerasku." Nadine masih bisa membayangkan bagaimana gilanya dia disebut sebagai sesuatu yang bukan dirinya.

Aileen Memicing mata. "Kau bertemu lagi dengannya?" tanyanya penuh selidik.

Nadine mengangkat kedua bahunya. "Dia selalu muncul dimana pun aku berada."

...****************...

Terpopuler

Comments

DegiFiras

DegiFiras

Nadine Oh Nadine ..
Semangat dalam menulisnya ..
semoga cerita makin seru 💪💪

2022-11-30

1

Erlina Wicaksono

Erlina Wicaksono

Semangkuy terus berkarya sampai sukses 😍 fighting !!!💪🏼

2022-11-27

1

Cucu Nur

Cucu Nur

makin seru and makin bikin penasaran 🤔😁

semangattttt ✊

2022-11-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!