Setelah menikmati makan malam, Bu Sukma merapikan meja makan. Menumpuk piring kotor dan mengganti tempat, makanan yang tersisa ke tempat yang lebih kecil.
"Biar Bas bantu bik." Baskara berinisiatif mengangkat piring-piring kotor tersebut dan meletakkannya di tempat cucian piring.
"Udah, biarkan bibik mengerjakan itu. Kamu temani paman saja, kita ngobrol di belakang. Kamu harus lihat kolam ikan paman, baru kemarin diisi koi lagi." Ucap pak Indra.
Meski merasa tidak enak, Baskara terpaksa mengikuti langkah pamannya itu.
Mereka duduk di atas kursi kayu yang sengaja di letakkan di sana. Menghadap ke arah kolam. Terdapat meja bundar berbahan beton sebagai pembatas antara kursi dan kolam tersebut.
"Kurang lampu taman aja ini paman. Lampu ini terlalu terang." Baskara memberi komentar, begitu melihat sekelilingnya.
"Ya, jadi kaya orang punya acara ya." Ucap laki-laki paruh baya itu sembari terkekeh. Wajahnya tampak lebih segar dan lebih cerah dari terakhir mereka bertemu, ketika Baskara hendak mengantar Nilam ke tempat kerjanya.
"Sebenarnya ada apa paman tumben manggil aku kemari?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Baskara.
Pak Indra menatap ikan koi yang berenang kesana kemari tanpa henti, seolah tak pernah merasa letih meliukkan siripnya setiap detik.
"Gimana soal Nilam?" Laki-laki paruh baya itu langsung ke inti percakapan.
Ucapan to the point sang paman terang saja membuat mata Baskara melebar. Namun selanjutnya ia menundukkan kepala, teringat akan permintaan sang paman tempo lalu.
"Bas masih merasa belum pantas untuk Nilam, paman."
"Kamu belum setuju dengan permintaan paman itu?"
Baskara masih menundukkan kepala.
"Nilam anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Abang-abangnya sangat menyayangi dia. Begitu juga kakak iparnya. Apalagi kami orang tuanya. Sangat menyayangi dia. Dia anak yang baik, pekerja keras, tapi juga polos dan sangat sensitif. Kami takut, bila dia menikah dengan oramg yang tidak kami kenal, apakah dia akan bahagia? Apakah keluarga suaminya akan memperlakukan dia dengan baik? Apakah dia bisa diterima dengan baik? Sementara kami tidak bisa melindunginya." Sorot mata laki-laki tua itu terlihat tak berdaya.
"Paman, kalau itu yang paman takutkan, bukankah paman tahu bagaimana keluargaku. Bagaimana ibuku yang cerewet juga ayah yang tidak perduli terhadap kami. Aku merasa tidak pantas untuk Nilam."
"Paman tahu. Tapi paman juga tahu kualitas dirimu Bas. Paman berharap, Nilam tidak pergi terlalu jauh. Agar setiap waktu kami bisa melihatnya, kami bisa mengunjunginya."
Baskara berpikir.
Kualitas diriku? Yang mana dari diri ini yang pantas dibanggakan? Hanya seonggok daging, yang diberi nafas dan denyut jantung oleh Tuhan. Yang bahkan oleh keluarganya sendiri hanya dianggap sebagai pelengkap, dan mesin uang. Bila mesin itu menghasilkan, ia akan sering diperhatikan namun bila tidak, jangankan di perhatikan. Dilirik pun rasanya mustahil.
Gunadh tersenyum miris.
"Paman dengar, Utari akan segera menikah?" Ucapan pak Indra memecah lamunan pria 25 tahun itu.
"Yaah begitulah." Ucap Baskara tanpa semangat. Kembali teringat ucapan sang ibu yang memintanya menyiapkan dana untuk acara di rumahnya.
"Orang dari mana calon suaminya?"
"Aku belum tahu paman. Bahkan aku belum pernah bertemu dengannya. Dengan Utari saja aku gak pernah bicara. Ibu selalu menghalangi setiap kali aku ingin bertemu dengan anak itu. Dikiranya aku akan menganiaya dia mungkin." Dengus Baskara. Tanpa sadar telah menceritakan kegundahan hatinya pada sang paman.
"Ada masalah apa?" Suara bernada rendah itu, membuat Baskara semakin ingin mengeluarkan segala beban di hatinya.
"Anak ituu hamil paman. Rasanya aku ingin menghajarnya saja. Tapi ibu selalu menghalangi setiap kali aku ingin mendekatinya. Paman, andai aku tidak bersedia membiayai acara itu, apakah aku berdosa?" Baskara terlihat emosi saat ini.
"Kenapa? Apa kamu tidak punya uang?"
"Bukan masalah tidak punya, tapi cara yang dilakukan itu yang membuat aku enggan."
Lalu mengalirlah cerita Baskara, tentang masalah yang keluarganya hadapi kini.
"Sabar Bas ... Semoga cobaan itu semakin membuat kamu menjadi laki-laki yang lebih kuat. Soal ibumu, paman tidak berani memberi saran terlalu banyak. Beliau adalah orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan kamu. Besar harapannya, kamu menjadi orang sukses yang membuatnya bangga."
Baskara tersenyum miris. Kenapa gelar dan seragam harus dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang?
Bukankah selama ini ia sudah berusaha menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya?
Namun itu semua tidak ada artinya bagi sang ibu.
***
"Bu, ini uang untuk biaya nikahnya Utari. Bas gak bisa bantu lebih dari ini." Baskara menyerahkan sejumlah uang pada ibunya.
Bu Rahma segera mengambil uang pemberian anaknya tersebut, lalu menghitungnya.
"Cukup atau gak uang itu, ibu atur sendiri." Ucap Baskara tegas.
Sang ibu menatap baskara dengan tajam.
"Ibu tahu, kamu baru berhasil menjual tanah di desa sebelah. Komisi yang kamu dapat berkali lipat dari uang ini. Kenapa hanya segini yang kamu kasih ke ibu?"
"Itu untuk biaya nikah Utari Bu. Masalah kebutuhan sehari-hari, itu beda akan Bas kasih seperti biasanya.
"Gak bisa gitu dong Bas, uang 5 juta mana cukup untuk acara adikmu!"
"Memang gak akan cukup kalau ibu mau buat acara wah. Tapi akan sangat cukup kalau ibu membuat acara sederhana untuk dia. Ingat Bu, anak-anak ibu bukan Utari saja. Jadi bersikaplah biasa saja. Agar nanti, tidak ada saling cemburu satu dengan yang lain."
Baskara meninggalkan ibunya yang masih terdiam dengan uang 5 juta di tangannya.
Laki-laki itu pergi mencari angin segar, menemui teman-teman di tongkrongannya.
"Widiiiihhhh roman-romannya ada yang mau traktir kita nih." Ucap salah satu teman Baskara yang memiliki tubuh paling besar.
"Gak mungkin kan kita cuman ditraktir Yakult doang?" Sahut teman satunya.
"Eehh diem dulu, dari tampangnya sepertinya Bas lagi ada masalah. Mukanya kaya kain rayon yang belum disetrika. Lecek bangeet." Goda teman yang lain.
"Hahahahaaaaa" Mereka tertawa bersama. Menertawakan Baskara yang masih betah membungkam sejak baru tiba.
Ia mengambil sebatang rokok yang tergeletak bungkusnya, entah milik siapa.
Mengh isap kuat tembakau yang sudah terbakar tersebut, lalu mengeluarkannya perlahan bersamaan dengan nafasnya yang berhembus.
"Ada masalah apa lagi?" Tanya temannya yang tadi mengatainya kain rayon yang belum disetrika.
Baskara menggelengkan kepala. Enggan berbagi cerita tentang keluarganya.
Kemudian ia mengeluarkan selembar uang seratus ribuan yang sudah ia siapkan dari rumah.
"Cuman ada segitu. Terserah mau *Yakult atau *bintang." Ucapnya sembari melempar uang tersebut ke tengah. Posisi mereka duduk melingkar di sebuah *bale tempat biasa mereka pesta miras.
"Segini mau bintang, dapat berapa ini?" Temannya yang bertubuh besar mengambil uang tersebut.
"Aku lagi gak pengen minum. Untuk kalian saja." Sahutnya sambil menyandarkan tubuhnya pada kayu penyangga.
"Ya sudahlah Yakul saja." Temannya yang lain menarik pria yang mengambil uang.
"Kamu mau apa?"
"Coca-cola saja satu." Sahut Baskara.
"Habiskan saja itu. Kalau kalian lapar, sekalian beli makanan juga." Lanjutnya.
Dua temannya pergi dengan berboncengan.
"Ada masalah apa lagi Bas?" Teman Baskara yang sejak tadi memperhatikan dirinya kembali bertanya. Kini mereka hanya berdua duduk di bale itu.
"Biasalah ... Ibu marah saat aku gak kasih uang lebih. ----" Cerita baskara mengalir.
"Menurut kamu, aku harus gimana Lang?" Tanyanya pada teman bernama Gilang.
Beberapa istilah yang aku gunakan, mungkin asing di telinga pembaca. Aku kasih penjelasannya ya ...
*Yakult di sini bukan yakult sungguhan ya, ini istilah lain dari tuak.( bahan dasar gula Jawa.) Kalau diminum dalam jumlah banyak, bisa menyebabkan mabuk.
*bintang di sini maksudnya adalah bir dengan merk bintang.
*bale di sini semacam pos ronda yang biasa dijadikan tempat nongkrong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
auliasiamatir
aku kira emang Yakult 🤣🤣🤣
2023-01-26
0
Mommy QieS
tambah ilmu lagi aku kak.😊
2023-01-07
0
Mommy QieS
tadi aku kira Yakult beneran kak😁😁
2023-01-07
1