"Mas Bas, makasi udah antar Nilam ya. Maaf ngerepotin." Ucap gadis itu, saat Baskara berpamitan hendak kembali ke kampung.
"Gak usah kaku gitu Lam, mas senang kok bisa antar kamu." Baskara menatap Nilam yang tersenyum canggung padanya.
"Hati-hati mas," Ucap Nilam lagi, sambil memasukkan sesuatu ke kantung jaket Baskara.
"Tolong jangan ditolak, Nilam gak bayar mas Bas, Nilam hanya berbagi rejeki sama mas. Dan doakan Nilam agar selalu dikasih sehat serta kelancaran rejeki."
Siapa yang bisa menolak ucapan gadis dengan tatapan teduh itu?
"Baiklah. Terimakasih banyak ya Lam, semoga rejeki selalu mengalir untuk kamu. Ya sudah, mas jalan dulu ya. Ingat pesan orang tua kamu. Jaga diri baik-baik." Ucap Baskara
'Dan itu juga pesanku Lam,' Lanjutnya dalam hati.
***
Baskara membelah jalanan dengan laju lebih cepat dari sebelumnya. Selain karena ia berkendara sendiri, hari sudah beranjak sore. Ia tidak mau sampai di rumah saat hari sudah gelap.
Hari ini adalah hari yang panjang bagi pemuda itu. Menghela nafas berat, ditengah perjalanan panjang yang ia lalui seorang diri.
Sanggupkah ia meraih hati gadis itu?
Meski restu dari sang guru rupaka sudah ia kantongi. Namun sadar akan diri yang tidak memiliki kemampuan serta kekuatan, ingin rasanya Baskara mundur dan menyerah.
"Paman percaya, kamu bisa menjaga Nilam." Pesan dari seseorang yang selama ini sangat ia hormati.
"Tapi paman tahu kan, aku siapa dan seperti apa?"
"Paman tahu. Sangat tahu kamu. Itu sebabnya paman titipkan Nilam padamu."
"Tapi aku seorang pemabuk, aku penjudi. Aku juga tidak punya pekerjaan tetap."
"Kamu meragukan Nilam? Dia bahkan lebih dari sekadar sanggup untuk bertahan di tengah badai. Kamu hanya perlu memberinya dukungan. Menjaga hatinya dengan tetap setia. Paman tidak meminta kamu meninggalkan kebiasaanmu, karena paman tahu, bukan itu yang hatimu mau. Dan paman percaya, kamu akan kembali menjadi Baskara yang bersinar."
Laki-laki tua, dengan keriput, dan rambut putih itu, berkata dengan tatapan lembut namun mampu menembus jantung Baskara.
'Ah, semoga saja aku tidak mengecewakan beliau nanti.' Gumam Baskara pasrah.
Meski ia sudah melajukan motornya dengan kecepatan lebih, namun tetap saja hari sudah gelap ketika ia sampai di rumahnya.
Baru saja ia membuka pintu depan, matanya langsung tertuju pada sang ibu yang tadi pagi membuatnya sakit hati.
Dilihatnya wanita tua itu tengah duduk dengan kedua tangan menutup wajahnya.
"Ibu kenapa?"
Saking wanita itu terhanyut dalam kesedihan, hingga suara motor dan derit pintu tak mampu ia dengar.
"Kamu kenapa mengagetkan ibu! Mau ibu cepat mati?!" Ketus.
Itu yang selalu sang ibu tampilkan padanya.
"Kenapa menangis?" Kembali Baskara bertanya.
"Adik kamu Utari! Belum juga mendapat ijasah SMA, sudah datang laki-laki meminangnya. Ibu harus bagaimana?"
"Ya kalau ibu gak setuju, tinggal bilang saja. Apa susahnya?!"
"Ya. Ibu bilang tidak setuju! Dan tujuh bulan lagi seluruh kampung, bahkan seluruh dunia akan mencemooh kita. Karena di sini lahir anak haram!"
Mata baskara membelalak terkejut. Tidak percaya, sang adik bisa kelewat batas seperti itu. Rahangnya mengeras. Rasa lelah karena pulang pergi selama lebih dari 5 jam, musnah berganti amarah yang tidak dapat ia tahan.
"Di mana Utari?" Tanyanya dengan suara berat menahan emosi.
"Jangan melakukan apapun pada adikmu. Dia tidak sepenuhnya bersalah. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa."
"Bu! Ini yang membuat dia jadi seperti ini! Ibu selalu membelanya. Menganggap setiap kesalahannya adalah wajar sebab dia masih kecil. Sejak kapan anak kecil bisa membuat anak kecil Bu!" Suara Baskara menggelegar, memenuhi ruangan bahkan terdengar hingga luar rumah.
"Pelankan suaramu! Kamu mau membuat keluarga kita malu? Kalau tetangga dengar bagaimana?"
Baskara menarik nafas dalam. Mencoba menghirup sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam paru-parunya.
"Terserah ibu sekarang. Aku gak tahu harus berbuat apa. Toh juga selama ini, ibu tidak pernah menganggap pendapatku penting kan?"
Kemudian ia berlalu menuju kamarnya.
Setibanya di kamar, ia melemparkan jaket yang sedari tadi melindunginya dari panas dan angin diperjalanan. Sebuah amplop terjatuh dari salah satu kantongnya. Ia baru ingat, itu amplop yang diselipkan Nilam sebelum ia kembali.
Segera diambil amplop yang tergeletak pasrah di lantai kamarnya. Dibuka dan diambil isinya.
'Astaga banyak sekali!' Gumamnya begitu melihat, ada lima lembar uang kertas berwarna merah di dalam amplop tersebut.
Segera ia mengambil ponsel dari saku celananya.
Tuut
Tuut
Tuut
Panggilan terhubung, namun belum diangkat oleh sang gadis.
Tak menyerah, ia tetap menghubungi Nilam.
Baru saat dering ke tiga, Nilam mengangkatnya.
"Halo mas Bas, maaf Nilam baru selesai mandi." Suara dari seberang.
"Nilam, kenapa banyak sekali kamu kasi mas uang?"
Suaranya terdengar gusar.
"Kan Nilam udah bilang, Nilam bagi rejeki sama mas. Kebetulan, bulan lalu Nilam dapat bonus yang lumayan. Bukan cuman mas Bas kok yang Nilam kasi. Nilam juga bagi sama Damar, juga sama ponakan yang lain."
"Tapi ini terlalu banyak Nilam ... Mas gak enak. Mas gak pernah kasih kamu apa-apa."
"Udah ... Itu rejeki untuk mas Bas. Diterima ya, kalau gak Nilam sedih nanti." Gadis itu merayu seperti ia merayu sang kakak, agar keinginannya dituruti.
"Kalau hari ini mas gak butuh, simpan saja. Siapa tahu besok ada kepentingan mendadak kan? Biar ada uang untuk jaga-jaga. Maaf mas, bukan Nilam menghina mas Bas, kata bapak mas lagi sepi kerjaannya ya?" Suara lembut gadis itu begitu menentramkan bagi Baskara.
Ingin rasanya ia berlama-lama mendengar suara itu. Bahkan bila disuruh setiap hari untuk mengantar dan menjemput Nilam, dia pasti akan menyanggupi.
"Mas, mas Bas!" Suara Nilam kembali terdengar.
Baskara yang tadi sempat melamun, hampir saja menjatuhkan ponselnya.
"Ah i ya Nilam."
"Mas ketiduran ya? Ya sudah Nilam tutup dulu ya. Mas istirahat dulu. Cape pasti kan habis PP antar Nilam."
"Ya, eh gak kok, mas gak cape." Baskara tergagap menjawab ucapan Nilam.
Terdengar tawa Nilam dari seberang, membuat Baskara menggaruk kepalanya karena malu.
"Ya sudah mas istirahat dulu ya. Kamu juga istirahat."
Tlup
Panggilan dimatikan oleh Baskara.
***
Nilam menajalani harinya seperti biasa. Setiap pagi, setelah ia selesai memasak dan mempersiapkan diri, ia akan berangkat ke tempat kerjanya dengan berjalan kaki. Jarak yang dekat antara kostan dan tempat kerja, membuat ia tidak harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk menyewa angkutan umum.
"Pagi ..." Sapanya pada teman-teman yang ditemuinya.
"Pagi nak Nilam," Sapa seorang bapak yang bekerja sebagai tukang panggul.
"Pagi pak, sudah gak sakit lagi punggungnya?" Sapanya ramah.
"Sudah nak, obat yang nak Nilam berikan sangat ampuh. Bapak sudah menyimpan kulitnya, biar nanti bapak gampang nyarinya di warung." Bapak tukang panggul itu dengan semangat bercerita.
Nilam tersenyum.
"Nanti kalau bapak butuh, bilang sama Nilam saja pak. Biar Nilam belikan. Itu gak ada di warung, harus beli di apotek." Ucapnya lagi.
"Ya sudah pak, Nilam masuk dulu ya. Udah ramai belum pak?" Tanyanya.
"Baru ada beberapa mobil pick up, sama satu truk muatan full." Jawab laki-laki paruh baya itu.
"Semangat kerja ya pak," Nilam yang ceria selalu membawa aura positif untuk orang di sekitarnya.
Awal Agustus, biasanya para petani mulai panen cengkeh. Biasanya bulan tersebut, barang yang keluar masuk akan sangat padat. Bahkan puncak panen, saat bulan September kadang-kadang mobil pengangkut cengkeh akan menginap di sana. Karena antrian yang panjang.
Waktu beranjak siang, saat mobil pembawa barang sudah mulai berkurang. Tepat jam makan siang, sudah tidak ada lagi antrian masuk ke gudang. Nilam sudah selesai mengecek nota, memisahkan nota sesuai dengan jenis dan kelas barang yang masuk. Agar nanti memudahkan menghitung uang yang keluar.
"Lam, kamu bawa bekal? Tanya temannya. Seorang gadis sebaya dirinya bernama Amanda yang menjadi partnernya di bagian kasir.
"Bawa. Kamu?"
"Aku lagi gak masak. Mau beli ajalah. Kamu ada mau nitip?"
"Beli Boba aja 1 ya, rasa matcha."
"Ok. Tunggu aku ya, jangan makan duluan." Perintah Amanda.
Kemudian gadis itu berlalu tanpa menunggu jawaban dari Nilam.
"Nih buat kamu." Seorang pria tampan menyodorkan pepper bag pada Nilam yang tengah duduk santai di pinggir sebuah kolam ikan.
"Mas," Gadis itu terperanjat kaget. Pasalnya, laki-laki itu adalah anak dari bosnya. Mereka menjalani hubungan diam-diam selama enam bulan terakhir.
"Lagi nunggu Amanda ya?" Laki-laki bernama Pandu Wijaya itu duduk di samping sang kekasih.
"Mas, jangan duduk di sini. Nanti dilihat orang." Nilam takut sendiri.
"Biarkan saja, sampai kapan kita menyembunyikan hubungan ini?"
Nilam sontak saja merasa panik. Ia belum siap.
Belum sanggup menghadapi kenyataan kalau ternyata dirinya ditolak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
AdindaRa
Secangkir kopi mendarat biar makin semangat kak
2022-12-07
0
Rini Antika
semangat terus Kak, sudah aku masukin Favorit jg
2022-11-09
1
Rini Antika
Astagfirullah
2022-11-09
1