"Jangan begini mas, Nilam belum siap." Wajah Nilam terlihat panik, menatap sang kekasih penuh permohonan.
"Apa yang membuat kamu ragu Nilam? Kedua orang tua aku, bukan orang kolot yang akan memutuskan segala sesuatu seperti keinginan mereka. aku yakin mereka akan merestui hubungan kita." Pandu berusaha meyakinkan Nilam, namun gadis itu tetap ragu.
Ada hal yang tidak bisa ia pahami, kenapa hati kecilnya selalu menolak bila Pandu berniat mengenalkan dirinya sebagai kekasih.
"Aku tahu mas, mereka adalah orang tua yang baik, dan bos yang bijaksana. Tapi aku mohon, mas mengerti. Aku belum siap mas, aku takut. Aku merasa gak pantas untuk mas." Ucapnya, dengan kepala menunduk.
Pandu memejamkan mata, menghela nafas dalam guna melepas emosi yang menghampirinya.
Ia paham kegelisahan yang dirasakan Nilam. Sangat mengerti dengan ketakutan gadis itu. Namun harus dengan cara apa ia meyakinkan? Orang tuanya pasti akan menyetujui hubungan mereka. Ia yakin itu.
"Ya sudah, gak usah dipikirkan. Maaf kalau mas buat kamu gak nyaman. Kamu makan dulu ya, mas balik dulu." Akhirnya Pandu mengalah.
Meninggalkan gadis itu sendiri, sementara dirinya kembali ke kediaman orang tuanya yang letaknya tidak jauh dari gudang tempat biasa Nilam bekerja.
Nilam menatap punggung Pandu yang melangkah menjauh, hatinya sakit entah karena apa.
Ia merasa, hubungannya dengan Pandu tidak akan berjalan seperti yang mereka harapkan.
"Maaf Lam, antrenya lama." Amanda datang dengan beberapa kantung kresek di tangannya.
"Loh itu apa? Katanya kamu bawa bekal, ini bekal kamu?" Mata Amanda menangkap paper bag yang ada di pangkuan nilam.
Nilam gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa.
"Mmm anu, ini itu dikasih orang. Mmm seseorang baru aja datang kasih makanan ini. Katanya dia buru-buru gak sempat makan. Daripada nanti dingin, gak enak dimakan. Jadi aku yang dikasih." Wajah Nilam kembali panik, bola matanya ke sana ke mari mencari objek yang tepat untuk dilihat.
Tentu saja itu membuat Amanda curiga. Namun, tidak ada alasan untuknya saat ini mengintrogasi sang sahabat. Meski ragu, gadis itu mencoba untuk percaya.
"Ya udah yuk makan, nanti keburu jam makan siang habis." Nilam segera membuka paper bag yang dipangkunya, dan mengambil kotak makan di dalamnya.
"Nih, kita makan bareng." Ucapnya lagi, menyodorkan makanan tersebut ke arah Amanda.
Amanda hanya menganggukkan kepala.
Mereka akhirnya makan bersama. Sambil bercerita tentang hal-hal ringan yang terjadi di sekitar mereka.
***
Baskara masih di lokasi tanah yang rencananya akan dijual. Ia dan beberapa orang, yang berniat hendak membeli lahan tersebut tengah meninjau lokasi.
Ponselnya berbunyi, menghentikan langkahnya ditengah terik matahari.
"Ya paman," Sahutnya saat panggilan sudah terhubung.
"Bas, kamu sibuk nak? Nanti malam makan di sini ya." Suara laki-laki paruh baya yang selama ini memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Ya paman, nanti Bas ke sana. Ini masih di desa sebelah, lihat lokasi."
"Ooh syukurlah sudah mulai ada kerjaan" Terdengar suara penuh kelegaan dari seberang.
"Doakan ya paman, agar ini jadi." Pintanya dengan tulus.
"Pasti. Paman selalu berdoa yang terbaik untuk anak-anak paman. Termasuk kamu. Ya sudah, lanjutkan. Paman tutup dulu."
"Ya paman." Kemudian panggilan berakhir.
Setiap kali pamannya itu mengajaknya bicara, ada rasa tenang yang menjalar di hatinya. Perasaan yang tidak ia rasakan saat dengan orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri.
Meski hubungan mereka hanyalah paman dan keponakan jauh, namun kedekatan mereka seperti paman dan keponakan kandung rasanya.
Baskara tersenyum setelah mendapat panggilan. Membuat calon pembelinya usil menggoda.
"Bas dapat telepon langsung senyum-senyum aja, pasti dari calonnya ya?"
"Ah, gak kok. Ini dari paman saya, minta saya makan di rumahnya nanti." Terangnya
"Ooh, kirain dari pacarnya."
"Mana ada yang mau sama saya, orang gak punya apa-apa begini."
Ucapnya, sambil menatap tanah yang dipijaknya.
"Alah, siapa yang gak tahu kamu? Bapakmu terkenal sebagai tuan tanah di desa kamu kan?" Calon pembelinya itu rupanya cukup tahu latar belakang dia dan keluarganya.
Baskara hanya menanggapi dengan senyum.
Harta.
Sebanyak apapun yang kita punya, kalau kita tidak bisa menggunakannya dengan baik, pasti akan cepat habis. Begitulah yang terjadi di keluarganya.
Dulu, kakeknya memang terkenal adalah pemilik lahan terluas di desanya. Namun, karena ayah serta paman-pamannya tidak bisa mengelola pemberian orang tua mereka, semua itu perlahan habis.
Kini hanya tersisa beberapa hektar saja, dan semua harus dibagi-bagi. Bahkan warisan untuk sang ayah, kini hanya tersisa 50 are saja. Haruskah dia merasa bangga dengan hal itu? Atau malu?
Biarkan saja orang berpikir bagaimana, ucapnya dalam hati.
***
Akhirnya hari melelahkan Baskara berakhir. Kesepakatan sudah tercapai. Tinggal besok menyelesaikan semua di notaris.
Ia bisa bernafas lega, tersenyum gembira hari ini. Setidaknya, usahanya tidak sia-sia.
"Mau kemana kamu?" Sang ibu bertanya dengan wajah yang tidak pernah ramah.
"Mau keluar, ada acara." Jawaban singkat ia berikan
"Utari mau dilamar, kamu usahakan agar bisa membuatkan dia acara di rumah." Ucap ibunya tanpa ragu.
"Aku belum punya uang Bu. Gak janji bisa bantu berapa." Jawabnya, sambil mengikat tali sepatunya.
"Ya kamu usahakan donk. Kasihan Utari kalau gak kita buatkan acara di rumah! Kamu kan kakaknya! Tanggung jawab kamu itu."
"Bu! Kenapa sih? Kalau soal uang, aku yang harus tanggung jawab. Tapi untuk hal lain, rasanya aku tidak punya hak apa pun di rumah ini. Kalau ibu tidak mau aku ikut campur urusan Utari, ya sudah aku gak akan ikut campur dalam hal apapun. Jangan minta aku membiayai pernikahan dia. Aku juga punya urusan sendiri, keperluan sendiri, yang orang lain tidak perduli akan hal itu." Baskara berdiri kemudian bergegas meninggalkan sang ibu.
Rasanya pengap tinggal di rumah itu. Tapi ia bisa apa? Meski sering kali merasa sakit hati, Baskara berusaha bertahan karena dia adalah anak pertama yang harus bertanggung jawab atas keluarganya.
Sang ayah, kini tinggal dengan istri ke duanya, dan tidak terlalu perduli dengan istri pertama juga anak-anaknya.
Kakinya melangkah pasti, menuju sepeda motor bututnya terparkir. Rencananya, sebelum ke rumah sang paman, ia berniat membeli beberapa makanan sebagai buah tangan. Bersyukur uang yang diberi Nilam masih ada, hingga ia tidak harus malu karena bertamu dengan tangan kosong.
"Eh mas Bas," Sapa Damar yang baru saja memarkirkan motornya di samping motor baskara. Baskara yang terlebih dahulu tiba, sengaja menunggu saat tahu motor Damar di belakangnya.
"Dari mana Mar?" Tanyanya
"Habis buat tugas kelompok mas. Mas tumben main ke sini?"
"Hehe ya, kebetulan ada kesibukan." Ucapnya beralasan
Damar hanya menanggapinya dengan anggukan.
Mereka melangkah beriringan menuju pintu utama.
"Yah ... Bu... Ada mas Bas nih." Ucap Damar saat tubuhnya baru saja masuk ke dalam rumah.
"Ya ... Gak usah teriak, ibu belum budek. Kebiasaan kamu itu." Omel sang ibu, keluar dari dapur.
"Bik ..." Sapa Baskara sopan.
"Ini ada gorengan sama martabak," Ucapnya lagi sembari mengulurkan kantung kresek yang dibawanya.
"Waah makasih nak, jadi ngerepotin ini." Ucap wanita paruh baya itu.
"Ayo, paman kamu masih mandi, sebentar lagi keluar. Kamu tunggu di depan tv aja ya."
"Ke kamarku aja mas yuk," Ajak Damar sambil menarik tangan Baskara.
Mereka cukup akrab, sebab sifat damar yang santai dan suka bergaul membuat mereka cukup sering bertemu di tongkrongan.
"Bik, aku nunggu bareng Damar saja ya."
"Oh ya, boleh-boleh." Ucap wanita itu. Kemudian mereka melangkah menuju tujuan masing-masing. Damar dan Baskara menuju kamar, sementara wanita paruh baya itu melanjutkan pekerjaannya di dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
auliasiamatir
beuuhh bapak nya dajal juga ternyata
2023-01-24
0
auliasiamatir
iya nih, buk jangan terlalu lah sama ank,
2023-01-24
0
AdindaRa
Satu tips iklan mendarat untuk kakak
2023-01-06
0