“AKU AKAN MENIKAH DENGANNYA.”
“APAAA???” pekik Tirta tanpa sadar.
“Hei, pelankan suaramu! Kau mau membangunkan mereka.”
Tirta tersadar, lalu menarik napas dalam untuk mengatasi keterkejutannya.Ucapan Ervan yang tiba-tiba, membuatnya tersentak tanpa menyadari tempat keberadaannya. Ia menoleh ke arah ranjang pasien, lalu berganti menatap bayi yang sedang tidur di sampingnya. Tidak ada reaksi diantara keduanya, membuat Tirta kembali mengatur posisi duduknya dan melanjutkan pembicaraan mereka dengan suara yang saling berbisik.
“Apa kau gila? Dia sudah menikah? Kau tidak lihat, dia sudah memiliki anak.”
Seketika Ervan terdiam seribu bahasa, ucapan Tirta seperti pukulan telak baginya. Kalah sebelum memulai, ide cemerlangnya muncul begitu saja, melupakan fakta yang ada dihadapannya.
Tirta merogoh sakunya, saat terdengar notifikasi masuk dalam ponselnya. Ia membuka pesan yang baru saja dikirim oleh anak buahnya, membacanya sekilas lalu memberikan ponselnya kepada Ervan.
“Aku rasa kalian memiliki takdir untuk bertemu.”
Ervan tidak menjawab, ia fokus membaca pesan dalam ponsel Tirta sambil menyeringai. Tirta hanya menggelengkan kepala, lalu beranjak untuk mengambil pesanan makanan yang sudah menunggunya di depan pintu kamar pasien. Ia lalu kembali masuk, membawa tiga porsi makanan dan botol minuman.
Di sofa, Ervan sedang menerima panggilan telepon. Ia berbicara dengan suara berbisik, ia menjauhkan ponsel dari telinganya ketika suara dibalik telepon itu berkali-kali meneriaki dirinya.
“Ma, stop! Oke. Sekarang, aku lagi di rumah sakit. Besok aku akan pulang dan menceritakan semuanya.” Ervan memutuskan sambungan telepon secara sepihak, tanpa menunggu jawaban dari ibunya yang berada seberang telepon.
Tirta menaruh makanan di atas meja dan mulai menatanya. Ia tidak bertanya kepada Ervan perihal seseorang yang menelponnya. Karena tanpa bertanya, dari raut muka Ervan sudah terlihat jelas, siapa yang sudah membuat suasana hatinya menjadi buruk.
Yah, mendung lagi. Entar, bakalan ada petir menggelegar.
Tiga porsi makanan sudah tersaji di atas meja, tapi tidak gerakan diantara mereka untuk memulai makan malam. Keduanya, hanya menatap makanan itu, selera makan mereka lenyap begitu saja. Di saat seperti ini, Alan muncul menggunakan pakaian biasa, karena jam kerjanya sudah selesai. Ia mendorong kereta bayi, membawa cemilan serta makanan didalamnya. Pria ini, sudah berniat untuk bermalam bersama mereka.
“Kalian menungguku? Wah, kebetulan sekali aku lapar,” ucapnya sambil duduk di samping Tirta. Lalu, meletakkan makanan dan cemilan di atas meja.
Ervan dan Tirta tidak menjawab, keduanya mengikuti gerakan Alan yang mulai membuka makanannya dan melahapnya. Saat ketiganya menikmati makan malam dengan suasana hening, tiba-tiba anak laki-laki itu terbangun tanpa bersuara. Ia perlahan duduk dan menatap tiga pria asing yang tengah makan mengelilinginya. Mata bulatnya beberapa kali berkedip, mengedarkan pandangannya seolah mencari seseorang.
Tubuh Ervan dan Tirta terasa membeku, karena anak laki-laki itu duduk diantara mereka. Alan yang berada di samping Tirta, mengisyaratkan agar mereka jangan bergerak, seolah seekor ular akan mematuk. Anak itu merangkak diatas sofa, meraih lengan Ervan lalu berpindah duduk dipangkuannya. Ketiganya fokus menatap anak itu, tanpa bersuara. Mereka penasaran, akan tingkah selanjutnya.
“Mam,”
“Hah??” Jawab ketiganya secara bersamaan.
“Dia bilang apa barusan?” tanya Ervan pada kedua sahabatnya.
“Aku tidak tahu,” jawab Tirta yang masih menatap anak itu.
“Aku juga tidak mengerti bahasa bayi,” tambah Alan.
“Mam, mam,” ucap anak itu lagi sambil berusaha meraih kotak makan Ervan.
“Ooohhh, Makan.” Ketiganya menjawab dengan kompak sambil tertawa.
“Hahaha... Aku baru tahu, mam dalam bahasa bayi berarti makan. Kira-kira kalau minum susu dalam bahasa bayi apa, yah?”
Ketiganya menerawang, berimajinasi dalam pikiran masing-masing, Tirta dan Ervan membayangkan anak itu berusaha meraih botol susunya, dengan menggerakkan mulut entah huruf apa yang keluar dari mulutnya hingga terbentuk satu kata, yang masih tidak dipahami Ervan dan Tirta meski hanya dalam pikiran mereka.
Sedangkan Alan, dengan justru sebaliknya, anak itu bukan meraih botol susunya, melainkan mendekati ibunya yang hanya memakai bra bersiap untuk menyusui, dan dalam sekejap anak itu berubah menjadi Ervan. Seketika Alan heboh sendiri, tergelak menggelengkan kepalanya menatap Ervan, yang sudah lebih dulu menatapnya dengan heran.
“Kenapa menatapku? Apa otak kotormu bekerja lagi?”
“Tidak, tidak, jangan menuduhku,” kilahnya.
“Aku yakin kau membayangkan sesuatu yang aneh, caramu melihatku sudah sangat terlihat jelas,” tuduh Ervan
“Kenapa kau begitu yakin. Aku hanya menatap anak itu, sepertinya dia kelaparan.” Mengalihkan pandangan, lalu mengambil kotak makan yang dibawanya. “Berikan ini padanya.”
“Bubur?” tanya Ervan .
“Tentu saja, bubur. Kamu mau memberikan makanan milikmu, yang dipenuhi dengan warna merah.”
Ervan menerima kotak makan itu, tanpa melepaskan pandangannya dari Alan yang terlihat mencurigakan. Ia mulai menyendok bubur dan mengarahkannya pada mulut anak itu dengan perlahan. Anak itu menggelengkan kepala dan berusaha meraih sendok .
“Kamu mau apa? Cepat buka mulutmu!”
“Mam... mam... mam,” jawab anak itu,masih berusaha merebut sendok makan.
“Iya, ini mamamnya. Cepat buka mulutmu!” ucap Ervan lagi yang mulai kesal. Anak itu tidak menanggapi, ia menutup rapat mulutnya, setiap Ervan mengarahkan sendok.
“Apa kau selalu seperti ini? Menyusahkan ibumu?” Menatapnya dengan kesal. “Untung aku, tidak sepertimu waktu menjadi bayi.”
“Memangnya, waktu bayi kau seperti apa?”
“Diam, jangan mulai, Alan.”
Alan dan Tirta terkekeh, meletakkan kotak makan mereka, lalu duduk berhadapan dengan anak itu. “Ayo, sayang buka mulutnya. Aaaa....”
Anak itu, terdiam menatap heran ke arah Tirta dan Alan yang tengah membuka lebar mulut mereka ke arahnya. Ia menengadahkan wajahnya, menatap Ervan yang ternyata juga mengikuti gerakan dua pria itu. Akhirnya, Ia membuka mulut, menerima suapan bubur dari Ervan lalu mengunyahnya perlahan, diikuti suara sorakan dari tiga pria yang menemaninya.
“Bagus, ayo lagi, aaaa....” Mereka kembali melakukan hal yang sama, sampai bubur itu perlahan mulai berkurang.
Tak lama, anak itu kembali menolak saat Ervan kembali menyuapinya. Ia menutup rapat mulut dan memalingkan wajahnya. Mungkin karena kekenyangan, kedua matanya pun terlihat berat dan seakan sudah mau tertutup. Tapi, ia seperti sedang melawan rasa kantuknya dengan mengucek kedua matanya.
“Sepertinya, ia sudah mengantuk,” ucap Alan, lalu bangkit mengambil kereta bayi dan membaringkannya.
“Aku ingin sepertinya, makan dan tidur tanpa harus memikirkan hari esok,” celetuk Tirta.
“Kalau begitu kembalilah menjadi bayi. Biar Alan, yang mengurusmu.” Ervan menyahut.
Tidak yang membalas, keduanya hanya terdiam, menatap Ervan. Ketiganya pun, kembali melanjutkan makan malam sambil bersenda gurau. Yah, ini pertama kali bagi mereka mengurus seorang anak dan ini juga merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi mereka, terutama Ervan yang seperti kembali menemukan senyumannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Zayna Khanza
aaaaa
2024-06-30
0
Ms'shieqa
keren critanya..
2024-03-21
1