Kini Ervan tengah menatap foto seorang gadis yang akan ditemuinya malam ini, lengkap dengan informasi tentangnya. Foto itu, baru saja dikirim oleh sang ibu. Ibunya berharap, ia mau bertemu dengan gadis yang ada di foto itu. Gadis dengan wajah yang cantik sempurna, tapi sama sekali tidak membuat hatinya tergerak. Entah seperti apa tipe gadis yang ia sukai, ia sendiri pun tidak tahu. Ervan bangkit dari duduknya, berjalan ke arah kaca dinding sambil memandang keluar.
“Buang semua.” Tirta segera mengambil semua foto, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Sudah hampir dua tahun berlalu, Ervan belum juga melupakan kejadian yang membuat hidupnya tidak tenang, meski wajah gadis itu mulai samar dalam ingatannya.Tidak ada ikatan cinta diantara mereka berdua, tapi sejak gadis itu pergi, seluruh hati Ervan pun ikut membeku bersamanya. Rasa bersalah yang menggrogoti hatinya, membuat Ervan menolak jatuh cinta. Gadis itu seakan mengutuk dirinya, sehingga membuatnya sama sekali tidak memiliki perasaan untuk jatuh cinta.
PRAANGG
Serpihan kaca berserakan diatas lantai, bercampur dengan genangan air. Ervan mengepalkan tangan, mendaratkannya di dinding kaca, lalu berteriak dengan frustasi. Ia merasa lelah menjalani hidup dengan bayang-bayang seorang gadis yang bersimpuh di kakinya, memohon agar ia bertangung jawab. Ia marah karena rasa bersalah terus menekan batinnya, sehingga membuat seluruh tubuhnya ikut mati bersama gadis itu.
“Apa kau bahagia sekarang? Hah!” Berteriak dengan menengadahkan wajahnya.
Tirta hanya membisu melihat Ervan, ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu atasan sekaligus sahabatnya itu. Ia sangat tahu, besarnya rasa bersalah dan penyesalan yang tertanam dalam hati Ervan. Ditambah lagi, tekanan orang tuanya yang terus menjodohkan dan memaksanya segera menikah.
Tirta meraih telepon diatas meja. “Utus seseorang untuk membersihkan ruangan CEO,” perintah Tirta pada seseorang di balik telepon.
Tok....Tok...Tok....
“Masuk,” jawab Tirta dari dalam ruangan.
Seorang gadis menggunakan seragam cleaning servis masuk dengan membawa peralatan kebersihan. Berjalan perlahan, pandangannya terkunci, CEO dengan balutan jas, berdiri depan dinding kaca, dengan puing-puing kristal berserakan di lantai sekitarnya.
DEG, Dia! Batinnya memanggil.
Ia berjalan mendekat dengan menundukkan wajahnya. Memungut pecahan kaca yang ukurannya besar, satu persatu, lalu memasukkannya dalam kantong sampah. Kemudian, mulai membersihkan serpihan kaca dengan alat kebersihan yang dibawanya. Setelah selesai, ia kembali memastikan lantai itu sudah benar-benar bersih.
“Saya permisi, Pak.”
“Tunggu.” Menatap tajam dari ujung kaki sampai rambut.
“I ... iya, Pak.” Terbata karena mendapat tatapan yang seperti akan mencekiknya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Menyelidik dengan wajah yang terasa familiar.
DEG,
“Ti ... tidak, Pak.” Tertunduk menyembunyikan wajahnya.
“Hemm.” Memalingkan wajahnya. “Keluar.”
“Baik, Pak.”
Ervan kembali duduk, memilah beberapa dokumen diatas meja, setelah meluapkan kekesalannya. Ia membaca dengan teliti, sebelum menorehkan penanya. salah satu dokumen menarik perhatian, membuat memorinya mundur sesaat, lalu tersadar seketika.
"Tirta, siapa penanggung jawab QC di anak perusahaan kita di Kota XX?"
"Sebastian, dia menggantikan Sarah, setelah dipecat."
Tatapan Ervan berubah menusuk, raut wajahnya memberi peringatan kepada Tirta, agar tidak menyebut nama gadis yang terdengar sakral baginya.
"Jangan pernah menyebut namanya, didepanku!"
"Maaf, aku lupa."
Salahku menjawab berlebih.
Waktu menunjukkan pukul lima sore, yang artinya jam kerja telah usai. Para karyawan satu per satu meninggalkan perusahaan, dengan cuaca mendung mewarnai langit sore itu. Ervan yang masih duduk di kursi kebesarannya merasa enggan meninggalkan tempat itu. Suasana hujan rintik di luar sana, melengkapi suasana hatinya yang kian memburuk.
Ervan mengetuk meja dengan jari telunjuknya, berulang kali. Ini menunjukkan jika ia sedang berpikir keras, untuk mencari alasan menghindari pertemuan malam ini.
"Aku harus ke mana?" Gumamnya. lalu, mengambil ponsel dan menghubungi Tirta. “Ke ruanganku, sekarang.”
Tirta tiba di ruangan CEO dengan tergopoh-gopoh, bagaimana tidak, ia sudah berada dalam mobil dan bersiap untuk pergi. Tapi, Ervan mendadak memanggilnya setelah ia baru saja menyuruhnya untuk pulang lebih dulu.
“Ikut, aku!” memerintah, tanpa membiarkan Tirta mengatur napasnya terlebih dahulu..
“Ke mana?” Masih dengan napas yang naik turun.
Ervan tidak menjawab, ia melangkah pergi bersama Tirta yang mengekor dibelakangnya. Keduanya masuk dalam lift, yang akan membawa mereka ke lantai bawah. Pintu lift terbuka, keduanya keluar beriringan tanpa ada sepatah kata. Baru beberapa langkah kaki mereka menapaki lantai, terdengar suara anak kecil yang sedang menangis. Suara itu terdengar lirih dan serak sepertinya anak itu sudah lama tenggelam dalam tangisannya. Ervan dan Tirta berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah kanan dan kiri mencari sumber suara.
“Kamu dengar itu?”
“Dengar, Van.”
Kaki mereka kembali melangkah, mengikuti sumber suara. Tapi, terhenti lagi saat mereka tidak yakin akan arah yang mereka tuju.
“Kamu yakin suara itu berasal dari sana?” Menunjuk arah toilet.
“Aku tidak tahu."
Ervan mengikuti langkah Tirta didepannya. Semakin dekat langkah kaki mereka, semakin terdengar jelas suara tangisan anak itu. Tirta menghentikkan langkahnya didepan pintu yang bertuliskan ‘Toilet Wanita’. Tirta menoleh ke belakang, menatap Ervan seolah bertanya, apakah kita akan masuk kedalam?
“Kamu yang masuk!” perintah Ervan, yang mengerti maksud tatapan Tirta kepadanya.
“Aku, Van?” jawab Tirta, mencoba protes.
“Ya, iyalah kamu. Masa harus aku, yang masuk kedalam?”
“Tapi, ini toilet wanita loh, Van.”
“Terus kenapa? Cepat masuk sana.” Mendorong tubuh Tirta masuk ke dalam toilet wanita.
Tirta menemukan seorang anak laki-laki yang berusia sekitar satu tahun, tengah duduk di samping tubuh ibunya yang terbaring diatas lantai. Tangan mungilnya, mengguncang tubuh ibunya sambil terus menangis.
“Mama,” isaknya, lalu memeluk tubuh ibunya.
Bingung, harus berbuat apa. Ia duduk dengan lutut tertekuk, mensejajarkan dirinya dengan anak itu. Tirta menyibak rambut wanita itu, wajah pucat menjadi pandangan pertamanya. Tirta berteriak memanggil Ervan yang masih menunggunya didepan pintu toilet.
“Van, cepat masuk!” perintah Tirta yang mulai melupakan kedudukannya.
“Ada apa?” Terdiam sejenak melihat pemandangan dihadapannya. "Wanita itu kenapa?"
"Sepertinya dia pingsan."
Ervan mendekat, menatap wajah wanita itu, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya. Lalu, mengangkat tubuhnya.
“Kamu sedang, apa? Cepat bawa dia!” Menunjuk anak itu dengan sorot matanya.
Ervan berjalan lebih dulu, meninggalkan Tirta yang menggendong anak itu dengan tas jinjing yang menepel dibahunya. Seorang Satpam berlari mendekati mereka, saat melihat Ervan menggendong seorang wanita dengan langkah yang tergesa-gesa.
“Maaf, Pak," ucapnya sembari membuka pintu mobil
"Tidak apa." Meletakkan kepala wanita itu diatas pahanya.
Tirta menyusul masuk, memberikan tas jinjing kepada satpam untuk diletakkan di kursi sebelah kemudi. Sementara ia, menyerahkan anak itu kepada Ervan, karena harus mengemudi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Sweet Girl
ih kasihan si anak kecilnya, Sampek ikut ibunya kerja.
2025-02-24
0
Sweet Girl
Gadis masa lalu itu kah...???
2025-02-24
0
Rosemitha
apa itu anaknya Ervan?
2024-02-20
1