Rumah sakit ...
Wanita itu, kini sudah berada di ruang UGD untuk mendapatkan penanganan. Ervan duduk sambil menunggu dokter melakukan pekerjaannya. Sedangkan, Tirta masih berusaha untuk menenangkan bocah itu, yang masih terus menangis mencari ibunya. Tirta memperlihatkan mainan mobil-mobilan yang baru saja dibelinya, sambil menggendong.
“Lihat,baguskan!” rayu Tirta, tapi tak mendapat respon dari anak itu. Justru, suara tangisannya semakin memekakkan telinga, membuat pengunjung rumah sakit menatap ke arahnya
Ervan yang dari tadi hanya memainkan ponselnya, mulai terganggu dengan tangisan anak itu. Ia menengadahkan wajahnya, menatap Tirta yang sudah pasrah membiarkan anak itu menangis dalam pelukannya.
“Tirta. Suruh dia, diam.”
“Kamu ingin aku menutup mulutnya?” Tirta mulai kesal, karena Ervan hanya memerintah tanpa membantu.
Ervan lalu mengambil bocah itu dari pelukan sekretarisnya. Mengusap punggungnya dengan lembut, sembari menggoyangkan tubuhnya, agar anak itu merasa seakan berada di ayunan. Sesekali, Ervan mendaratkan kecupan dan menempelkan pipinya. Ervan tidak memiliki pengalaman mengurus seorang anak, tapi entah mengapa keahliannya tiba-tiba muncul begitu saja. Lambat laun, anak itu pun mulai terdiam dan membenamkan wajahnya di leher Ervan.
“Apa dia sudah tidur?” tanya Ervan dengan suara berbisik.
Tirta mendekati Ervan, memeriksa dengan tatapan matanya. Lalu, menganggukkan kepala. Kemudian, ia kembali duduk dengan tenang. Ervan cukup lama mempertahankan posisinya, menggendong anak itu. Ia pun memberikan isyarat kepada Tirta dengan menendang kakinya.
“Aku keram,” bisik Ervan.
“Dibagian mana?”
“Punggung dan bahuku, serasa mau copot.”
Tirta bangkit, mengendurkan jari-jarinya dan mulai memijat punggung dan bahu Ervan. Ia menekan cukup kuat, agar Ervan merasa lebih baik. Tanpa mereka sadari, sorot mata para perawat dan pengunjung rumah sakit tertuju kepada mereka berdua. Terlihat senyum diantara orang-orang yang memperhatikan tingkah Tirta memijit Ervan seperti istrinya.
“Pak Ervan?” panggil dokter Alan.
Tirta menyelesaikan pijatannya, lalu berjalan mendekati dokter Alan yang tidak lain adalah teman baik mereka. “Kau tidak usah memanggilnya, dia sedang sibuk.”
Alan menatap ke arah Ervan yang mulai berjalan meninggalkan ruangan UGD. Merasa aman, ia merangkul bahu Tirta dengan akrab, mendekatkan wajahnya di telinga Tirta, seolah akan membisikkan sesuatu yang penting.
“Apa hubungan wanita itu dengan Ervan?” Tersenyum
“Hubungan kepalamu.” Menjitak kepala dokter Alan dengan kuat.
“Auch, sakit. Kau kenapa? Apa kau sedang cemburu?” ucap dokter Alan sambil mengusap kepalanya.
“Cemburu? Kau mau mati, ya? Dia hanya seorang karyawan. Kenapa jiwa bergosipmu selalu saja kambuh?”
Terdengar suara kekehan, dari para gadis berseragam putih. Keduanya menoleh, menatap sambil tersenyum malu-malu. Tirta menarik Alan, untuk menjauh dari ruang UGD.
“Kenapa begitu banyak wanita, di tempatmu?”
“Mereka calon dokter yang sedang magang. Apa kau tertarik?” goda Alan.
“Hah, sudahlah. Katakan, wanita itu sakit apa?” Mengalihkan pembicaraan
“Wanita itu hanya pingsan karena kelelahan dan juga kekurangan nutrisi. Aku sudah menyuntikkan obat dalam cairan infusnya, agar ia beristirahat,” jelas Alan yang kembali dalam mode profesional.
“Ya, sudah, sekarang kamu pergi!” usir Tirta.
Dokter Alan tidak mengindahkan perkataan Tirta, ia ikut mendorong brankar wanita itu menuju ruangan perawatan VVIP. Tirta sudah menduga akan hal ini, jiwa penggosip sudah merasuki pikiran Alan. Setibanya di dalam ruang perawatan, Alan menghampiri Ervan yang masih menemani anak itu tidur di atas sofa. Ia membiarkan para asiten dan perawat melakukan tugasnya. Alan memasang tampang wajah yang penuh dengan kecurigaan dan tatapan menyelidik, seperti seorang polisi yang hendak menginterogasi tersangka.
“Ada apa?” tanya Ervan dengan tatapan tidak suka.
“Kamu masih tidak mau jujur?” selidik dokter Alan yang sedari tadi menatap wajah Ervan dan anak itu secara bergantian.
“Jujur apa? Sebenarnya, kamu ini kenapa?”
“Hei, kamu masih mau berbohong. Lihat wajah anak ini sangat mirip denganmu!”
Ervan menatap dengan cermat anak laki-laki itu, begitu juga dengan Tirta yang tiba-tiba mendekat setelah mendengar ucapan Alan. Ketiganya, dengan teliti menatap wajah anak itu. Ervan memang belum sempat melihat jelas wajah anak itu, begitu juga dengan Tirta. Mereka hanya sibuk menenangkannya, karena terus menerus menangis. Alan pun mulai menjabarkan satu per satu persamaan keduanya.
“Lihat, hidung dan bibirnya. Sama persis denganmu, Ervan. Begitu juga, dengan wajahnya,”jelas dokter Alan, diikuti dengan anggukan kepala Ervan dan Tirta.
“Perhatikan bola matanya, persis denganmu, meski ia sedang tidur.” Jelas dokter Alan lagi, disusul sebuah pukulan mendarat di atas kepalanya.
“Auch ...,” rintihnya, “kenapa kau selalu memukul kepalaku?”
“Sebaiknya, kau tutup mulutmu sebelum anak itu terbangun dan kembali menyusahkanku.”
“Oh, baiklah. Maaf.”
Para perawat dan asisten dokter telah menyelesaikan tugasnya. Mereka, mendekati dokter Alan seolah menunggu tugas selanjutnya. Dokter Alan mengatur tatanan rambutnya yang sempat teracak, akibat ulah Ervan yang memukul kepalanya.
“Aku akan kembali, setelah jam kerjaku selesai, oke?” ucap Dokter Alan, lalu keluar meninggalkan ruangan bersama para dayangnya.
Setelah, dokter Alan meninggalkan mereka, Ervan dan Tirta berganti posisi untuk menjaga anak itu. Ervan berdiri dan meregangkan tubuhnya , lalu berjalan ke ranjang pasien. Ia ingin memastikan wajah karyawannya, karena dari tadi belum sempat melihatnya.
Wajah pucat itu, tertidur pulas dengan jarum infus menancap di urat nadi tangannya. Ervan memperhatikan, bentuk alis yang melengkung sempurna, menyelaraskan bentuk matanya yang kini terpejam berhiaskan bulu lentik yang tebal.
“Cantik,” ucapnya memperhatikan bibir ranum, seolah menantangnya untuk mendekat. Ervan tersenyum sesaat, lalu kembali duduk duduk disisi Tirta.
“Tirta. Kamu sudah mengetahui identitasnya?”
“Namanya, Tamara Maharani dan kamu baru saja bertemu dengannya di perusahaan. Dia bekerja
sebagai cleaning servis yang membersihkan ruanganmu hari ini.”
“Ooh ... apa dia tidak memiliki keluarga? Suruh anak buahmu untuk mencari tahu?”
Tirta tidak menjawab, ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Ia menghubungi seseorang, lalu memutuskan sambungan telepon. Sedetik kemudian, Ia kembali menghubungi seseorang, kali ini bukan anak buahnya, melainkan drive ojol yang sudah menjadi langganannya untuk mengantarkan makanan.
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Apa kita harus ikut menginap di sini?” tanya Tirta setelah meletakkan ponelnya dalam saku.
“Tentu saja. Ini adalah senjataku, untuk menghindari pertemuanku dengan gadis itu.”
“Baiklah. Terserah kamu saja.”
Hening ...
Keduanya membisu, Tirta memejamkan mata, menunggu dering ponselnya berbunyi. Sedangkan Ervan, duduk menatap dengan cermat wajah anak itu. Apa benar anak ini mirip dengannya? Bertanyanya dalam hati. Lalu, membelai pipi tembemnya, mengusap alisnya, dan memegang jari-jarinya.
“Jika dia masih hidup, mungkin ia sudah tumbuh sebesar dirimu,” gumamnya, lalu bangkit mendadak dengan jantung yang berdegup tidak beraturan.
DEG,
“Tidak, tidak mungkin.” Berjalan menuju sisi ranjang, menatap tajam sambil menguras ingatannya, memastikan sesuatu dalam memorinya.
Tidak, kamu bukan dia!
Ervan kembali duduk di sofa dengan terkulai, mengusap wajahnya dengan kasar, lalu membenamkan dikedua telapak tangannya. Terdiam sesaat dengan degup jantung yang mulai berdetak normal. Ia mengangkat wajahnya, kembali menelusuri wajah anak itu, yang memang terlihat persis dengannya.
“Tirta,” panggilnya, memecah keheningan, “apa anak ini sangat mirip denganku?”
“Iya. Kalian memang mirip, tadinya aku berpikir Alan itu konyol. Tapi, setelah menatap kalian berdua, aku rasa kalian memang memiliki kemiripan, seperti ayah dan anak.”
“Apa? Coba ulangi lagi!” Perkataan Tirta membuat sesuatu terlintas dalam pikirannya.
“Ulangi apa? Yang mana?”
“Kalimat terakhirmu.”
“Kalian mirip seperti ayah dan anak,”
“Yah, itu dia!” seru Ervan, membuat Tirta menatapnya dengan wajah penuh kebingungan.
“Memangnya ada apa?”
“AKU AKAN MENIKAH DENGANNYA.”
“APAAA???” pekik Tirta tanpa sadar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Rosemitha
haha kurasa benar itu anaknya Ervan ,, 😂
2024-02-20
0