Mia pulang pukul 23.00 dari tempat kerjanya. Dia melihat sahabatnya sedang sibuk di depan laptop dengan wajah serius, poninya dikuncir ke atas agar tidak menghalangi pandangan, dan tangannya berada di mouse dan keyboard secara bersamaan.
“Ngapain sih lo serius banget?” ucap Mia yang langsung merebahkan diri di kasur saat tiba.
“Kerja,” jawab Gita singkat.
“Lo udah dapet kerjaan lagi?”
“Belum. Gue jadi joki tugas mahasiswa akuntansi, ini cuma sampingan nunggu ada panggilan interview, lumayan duitnya buat bertahan hidup dan kasih bapak lo. Biar gue gak kayak parasit banget.”
“Dih. Santai aja kali,” ucap Mia. Dia dan keluarganya tidak keberatan Gita ada disini. Lagipula anak ini membantu banyak pekerjaan rumah yang malas Mia kerjakan dan dia tidak terlalu banyak makan.
“Oh ya, Git. Gue udah dapet rekaman CCTV kemarin. Lo mau lihat sekarang?” Mia bangkit dari tempat duduk dan menyambungkan USB ke laptop yang Gita pakai.
Gita hanya mematung tidak bereaksi. Mulutnya juga bungkam tanpa merespon ocehan Mia.
Mereka mulai fokus pada video yang dimainkan di laptop. Melalui rekaman tersebut, mereka melihat Gita yang masuk ke ruangan VIP. Sepuluh menit kemudian Gita keluar sambil berlari dari ruangan tersebut menuju lift.
“Gue gak tahu ini bisa jadi bukti atau ngga, kita cuma punya rekaman CCTV di luar ruangan. Soalnya kalau ada CCTV di dalam tempat karaokenya udah melanggar privasi tamu. Terus, nih...,” ucap Mia memainkan potongan video lain. “15 menit setelah lo pergi, ada cewek seksi ini yang masuk. Kayakanya si cowok itu ngira lo itu dia deh, makanya nyerang lo pas dia mabuk. Mungkin dia pikir, lo cewek persenannya,” lanjut Mia menduga-duga.
“Mi, sebenernya tadi Arki telepon. Terus gue blokir nomornya. Dia ngirim chat ini pake nomor lain.” Gita menyerahkan ponselnya yang menampilkan pesan dari Arki.
Sebuah pesan berisi penjelasan dan permintaan maafnya tentang kejadian kemarin. Arki juga menuliskan akan mengganti rugi atas kesalahannya itu.
“Terus lo mau gimana sekarang?”
“Biarin aja. Gue gak mau berurusan lagi sama dia.”
“Lo gak jadi laporin dia, Git? Dia udah ngelecehin lo loh.”
“Dia gak sadar ngelakuin itu, gue tahu bego banget ngomong kayak gini. Tapi gue gak mau masalah ini diperpanjang. Gue gak mau ketemu dia lagi seumur hidup atau minta apapun dari dia.”
“Padahal lo bisa dapet duit dari dia, Git. Dia bilang disana mau ganti rugi secara materil kalau dibutuhkan.”
“Gue gak mau nerima apapun dari dia, gak mau ketemu atau berurusan sama dia. Kalau gue laporin polisi pun pasti gue butuh duit biar kasusnya ditanggapi, kan? Gue pingin fokus nyari kerja aja sekarang, Mi. Bisa gak kita berhenti bahas ini?”
“Tapi lo beneran gak apa-apa, Git? Ngelepasin cowok kurang ajar itu tanpa hukuman atau ganti rugi yang sebanding sama trauma lo?”
Gita mengangguk. Dia lelah, tidak mau lagi membahas kejadian buruk kemarin. Seluruh pikirannya hanya ingin dia fokuskan untuk mencari pekerjaan dan membayar utang.
Mungkin bisa saja Gita meminta kompensasi atas perbuatan jahat Arki, tapi jika dia melakukannya rasanya seperti menjual dirinya sendiri pada laki-laki itu. Membuat kejadian kemarin seperti sebuah transaksi bisnis dan tubuhnya bisa dibayar begitu saja.
“Mau martabak telor gak kalian?” tanya Nia—kakak Mia—yang muncul tiba-tiba dan membuka pintu kamar.
“Malem banget beli martabak telor jam segini,” komentar Mia.
“Bang Rudi baru aja pulang, ini mah oleh-oleh.”
“Ciee ayang pulang. Berapa lama Bang Rudi di rumah, Kak?”
“Dua mingguan lah kayaknya, abis itu berlayar lagi.”
“Ya udah sana cepetan mandi, siap-siap memuaskan suami, dan bikin anak yang rajin. Kasihan kakakku udah lama gak dapat belaian kayak janda.”
Nia langsung menoyor kepala adiknya itu, “Bocah! Ngomong lo suka sembarangan!”
Nia keluar kamar, meninggalkan Mia dan Gita yang masih terkekeh geli. Gita jarang bertemu dengan suami Nia, karena laki-laki tersebut adalah salah satu crew kapal pesiar yang hanya beberapa bulan sekali pulang.
“Abis ini gue dapat keponakan nih,” ucap Mia senang.
...****************...
Sudah sebulan semenjak kejadian di karaoke, namun Arki tidak bisa melupakannya sama sekali. Dia sudah mencoba menjelaskan pada Gita tentang hal yang sebenarnya terjadi, tapi tidak ada balasan apapun. Malah nomornya di blokir. Dia mencoba menghubunginya lagi dengan nomor lain, tapi ternyata nomor tersebut sudah tidak aktif. Gita mengganti nomor ponselnya.
Usaha lain juga sudah Arki lakukan dengan mendatangi alamat rumah yang dia dapatkan dari database perusahaan lama mereka, berkat bantuan Rio. Hal tersebut juga nihil. Keluarganya sudah pindah rumah. Gita dan keluarganya menghilang tanpa jejak.
Kini Arki tidak tahu lagi bagaimana mencari Gita. Bukan hanya perasaan bersalah saja yang mendorongnya untuk terus melakukan pencarian pada gadis itu, tapi rasa penasarannya yang mendalam.
Benar yang dikatakan oleh Rio, dia tidak tahu sejauh mana mereka melakukannya. Itu artinya Gita lah salah satu perempuan yang bisa membuat dirinya bergairah. Anehnya begitu, dan hingga saat ini Arki selalu bertanya-tanya kenapa.
“Gue minggu lalu nyoba main sama Desi, dalam keadaan mabok kayak yang lo lakuin ke gue. Tapi gagal. Gue tetep muntah-muntah setelah nyium dia,” ucap Arki pasrah.
Dia mengulangi lagi skenario malam itu di karaoke. Tapi tetap tidak bisa melakukannya, melancarkan aksinya pada pacarnya sendiri. Saat dia menyentuhkan diri pada Desi, rasa jijik menjalar disekujur tubuh membuatnya mual. Kemudian potongan memori tentang Luna terus terputar dibenaknya.
“Kenapa, ya? Apa gue harus ngelakuin itu lagi sama Gita? Apa gue harus macarin Gita?” Arki sudah mulai frustasi. Dia semakin lama semakin takut memiliki kekasih karena akan terus merasa jijik menyentuh mereka.
Rio terkekeh, “Bisa jadi, Ki. Penyakit psikologis lo bakal sembuh kalau sama Gita. Tapi masalahnya, dia kan gak mau sama lo.” Rio seperti baru saja menampar Arki dengan kenyataan pahit.
Arki menghela napas berat. “Menurut lo, dia orangnya kayak gimana?” kata Arki penasaran terhadap Gita, mereka tidak terlalu akrab di kantor.
“Baik, pinter, rajin, gak suka ngedrama, ga suka bergosip. Dia cuma ke kantor, ngerjain kerjaan, gajian, pulang. Gue sendiri mantan temen setimnya, jarang komunikasi sama dia. Bukan tipe cewek yang bakal gue deketi juga sih.”
“Kenapa? Karena penampilannya yang biasa aja?”
Rio mengangguk. “Selera gue tinggi. Paling nggak, make up dikit kek ke kantor. Jangan kayak orang tipes.” Kata Rio terkekeh.
“Tapi dia manis sih menurut gue.”
“Edaaan! Jangan-jangan gara-gara malam itu, lo jadi suka sama dia, Ki?”
Arki mengedikkan bahu, “Gak tahu. Tapi ya menurut gue dia manis, meskipun polos dan lurus banget. Kalau dipoles dikit juga cakep kayak anak hits ibukota. Kalau ada kesempatan gue pacarin, gue bakal pacarin tuh anak.”
“Sedaaap. Sayangnya dia gak mau sama lo, Ki. Image lo udah hancur lebur depan dia.” Rio tertawa puas setelah menampar Arki dengan realita hubungannya dengan Gita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
semaumu aja
kl udh kesentuh skincare glowing dia
2024-02-09
0
semaumu aja
untung trauma nya positif jd nggak celap celup sembarangan
2024-02-09
0
semaumu aja
ya otor ini mah ngomong 2berapa tarif thor
2024-02-09
0