“Ngapain lo ke tempat kerja gue?” ucap Mia kaget melihat Gita datang ke Epilogue Club & Karaoke bersama teman kerjanya.
“Farewell party,” jawab Gita dengan malas.
Sebenarnya Gita pun tidak ingin ikut acara ini, namun dia merasa tidak enak pada orang yang sudah mengundangnya.
Teman satu timnya yang lain sudah naik ke lantai empat terlebih dahulu, ke tempat karaoke private yang disewa oleh Arki. Sementara Gita masih berdiri di dekat lift, menjawab semua tanya yang sudah tersirat diwajah Mia tentang kedatangannya kemari.
“Hah? Bukannya lo gak punya duit buat jajanin mereka? VIP loh ruangannya, Git.”
“Bukan gue yang bayar. Gue cuma numpang acara tim lain, soalnya manager-nya juga terakhir di kantor hari ini, sama kayak gue.”
“Jirr, baik banget mau bayarin tim lain.”
“Ya gitu deh. Orang tajir.”
“Git, kok belum ke atas?” tanya Arki yang baru saja tiba. Dia datang paling terakhir dan langsung mengantri lift bersama Gita.
“Oh iya, Pak. Ini mau ke atas.”
Gita meninggalkan Mia, yang sekarang menatap Arki takjub hingga terhenti saat pintu lift terbuka. Gita dan Arki masuk kesana. Suasana terasa canggung di dalam lift. Walaupun mereka satu kantor, satu lantai, bahkan satu ruangan, selama ini jarang sekali keduanya berkomunikasi.
Mungkin mereka pernah beberapa kali bertegur sapa, mengirim email, atau mengurus pekerjaan bersama. Tapi hanya sekadarnya saja. Mereka tidak begitu akrab. Selain itu, karena posisi Arki yang sudah manager sedangkan Gita hanya pegawai kontrak, umbi-umbian dan samsak tinju ditimnya. Rasanya sulit bergaul dengan orang sepertinya.
“Pak Arki, makasih ya mau ngundang tim saya ikut farewell party-nya internal audit. Apalagi saya gak bantu bayar apa-apa,” ucap Gita memulai pembicaraan.
“Gak apa-apa. Sebenarnya aku cuma ngajak Rio ke farewell party-ku, soalnya kita temenan deket, kan. Terus dia cerita hari ini kamu juga last day di kantor. Tapi gak ngadain acara apa-apa. Jadinya daripada mubazir aku pesan ruangan gede dan yang dateng sedikit, karena tim audit sebagian lagi pada ambil CRMA*, mendingan gabungin farewell party kita aja. Lagian kita sering kerja bareng juga, kan?” ungkap Arki memberi penjelasan mengenai motifnya mengajak tim accounting bergabung.
Di dalam ruangan VIP yang luas dan mewah, semua orang sudah berkumpul. Makanan dan minuman yang terlihat mahal dan enak juga sudah diantar kesana.
Gita melihat sekeliling. Pantas saja Arki mengajak tim lain untuk ikut bergabung diacara terakhirnya, karena dari timnya sendiri hanya dihadiri oleh Budi dan Ikhsan. Sementara yang memenuhi ruangan ini adalah tim accounting yang berjumlah 6 orang termasuk dirinya.
“Lagu ini khusus dipersembahkan buat Mas Arki ganteng yang akan melanjutkan perjalanan diperusahaan lain. Sukses ya, Bro! Semoga di sana dapat cewek cakep, biar gak patah hati terus. Cepetan nikah, inget umur udah mau tiga puluh! Kasihan Mama Ela mau nimang cucu,” kata Rio berbicara pada microphone, musik into dari sebuah lagu dangdut terdengar dilatar belakang.
“Hoobaaaah … Cinta satu malam oh indahnya. Cinta satu malam buatku melayang ….” Suara Rio mulai menggelegar menyanyikan lagi dengan bersemangat. Budi, Ikhsan, Bayu dan Yoga dengan kompak bergoyang seakan sedang berdendang dengan biduan. Arki tergelak dengan kelakuan teman-temannya.
“Buset dah, kalau karoke sama si Rio pasti ujung-ujungnya nyanyi dangdut,” ucap Andini mengomentari.
“Bodo amat ah, yang penting gue bisa makan malem gratis. Biarpun denger suara fals si Rio,” kata Fenny yang sejak tadi sibuk mencicipi hidangan yang tersedia di meja.
“Iya lah, gue juga ngincer makanannya doang. Soalnya di tim kita kan gak modal banget, ada anak yang mau resign tapi gak mau keluar duit ngadain farewell party. Gak ngehargain senior, main cabut aja kayak gak ada terima kasihnya,” sindir Wina. Jelas kalimat itu ditujukan untuk siapa. Ya, tentu saja Gita.
Gita yang sejak tadi diam saja langsung tertohok dengan sindiran tersebut. Seniornya itu memang kerap kali menyindirnya sejak sebulan lalu perkara farewell party, membuat Gita jengah.
“Mau makan gratis kok mengatasnamakan senioritas, bilang aja mau hedon tapi gak modal! Ribet!” ucap Gita tenang. Sontak saja kalimat tersebut membuat ketiga perempuan itu menatap tajam dirinya.
“Songong lo! Mentang-mentang besok udah gak kerja lagi, jadi berani banget mulutnya sama senior!”
“Harusnya gue bilang ini dari sebulan lalu sama lo, dasar cewek-cewek sok elit tapi ekonomi sulit! Minta gratisan dengan dalih senioritas dan kebersamaan! Gak tahu malu!” Gita sudah tidak bisa menahan dirinya lagi untuk mengatakan hal ini, toh besok dia tidak akan bertemu mereka lagi.
Biarlah semua rasa frustrasi yang dipendamnya selama 2 tahun sebagai junior accountant di sana meluap sekarang juga. Selama ini mereka merundung Gita dengan sindiran-sindiran yang membuat kepercayaan dirinya turun.
Mereka berkomentar tentang pakaiannya yang bukan barang branded, gawainya yang tidak update, bekal makan siangnya yang sederhana, dan penampilannya yang tidak fashionable. Semua untuk membuat Gita merasa paling miskin saja. Padahal mereka pun hanya sekumpulan orang dengan ekonomi biasa saja, bergaji UMR Jakarta dengan beberapa ratus ribu tambahan uang tunjangan jabatan.
Sebelum mereka membuka mulut lagi untuk menyerang, Gita bangkit dari tempat duduknya. Keluar menuju toilet dan beristirahat di dalam salah satu bilik paling pojok. Di sana dia hanya memainkan ponsel berlama-lama. Harusnya dia langsung pulang saja, tapi tidak enak beranjak dari undangan Arki. Apalagi dia susah payah mengajak untuk merayakan acara perpisahan dengan gratis.
Tanpa sadar Gita sudah menghabiskan waktu hampir 1,5 jam di sana. Dia menonton drama pada ponselnya. Selama itu pula, dia banyak mendengar orang keluar masuk toilet, lantas berkomentar tentang salah satu pintu yang terus menutup dari tadi, membuat antrian menjadi panjang. Ocehan kesal pun terdengar silih berganti tanpa Gita pedulikan.
Untunglah saat keluar, Gita tidak menemukan siapapun disana. Dia lantas merapikan diri dikaca besar dekat wastafel. Orang-orang sudah pergi, dan ini waktunya untuk Gita pergi juga dari tempat ini. Dia akan berpamitan pulang pada Arki dan rekan kerja menyebalkannya yang lain.
Saat berjalan kembali menuju ruang VIP, empat orang laki-laki teman sekantornya sedang berjalan ke arah berlawanan, menuju lift. Tapi dia tidak melihat Arki sama sekali. Mereka menenteng tas seperti berniat pergi.
“Kalian mau pada kemana? Udahan acaranya?” tanya Gita bingung.
“Lah, kok lo masih di sini sih, Git? Kirain udah cabut sama yang lain 30 menit yang lalu,” ucap Bayu yang keheranan.
“Gue dari tadi di toilet,”
“Ya udah, ayo pulang sekarang!” ajak Rio.
“Tas gue masih di dalem. Pak Arki juga udah pulang?”
Keempat laki-laki itu saling menatap sejenak, “Dia masih di dalem juga. Nanti ada yang jemput dia kok. Lo biarin aja dia kayak gitu. Ambil tas, terus pulang!” ucap Rio. Pintu lift terbuka dan keempat orang tersebut masuk ke sana. “Cepetan pulang ya! Awas loh, Git!” tambah Rio memperingatkan sebelum pintu tertutup.
Gita sedikit bingung dengan ucapan Rio, dia pun akan segera pulang tanpa disuruh. Tanpa pikir panjang dia melangkahkan kakinya kembali masuk ke ruangan.
Saat melihat keadaan di dalam, Gita hanya mendapati Arki yang sedang tertidur di sofa, melintangkan kakinya tak sadarkan diri. Sejenak Gita bisa mengendus aroma alkohol menguar dari sana karena AC sudah mati.
Ah, mabuk. Pikir Gita.
Pantas saja Rio menyuruhnya cepat pulang dan meninggalkan Arki sendirian. Tapi apakah benar akan ada yang menjemputnya nanti? Apa perlu Gita memanggil Mia untuk mengabarkan pada satpam tentang keadaan Arki?
Gita termenung sejenak menatap tubuh lunglai dihadapannya. Menimbang apakah harus memanggilkan satpam sekarang, agar penjemput Arki nanti tahu.
“Luna!” Panggil Arki tanpa sadar.
Hah, Luna? Pasti pacarnya!
Tidak, tidak. Gita tidak boleh berurusan dengan orang mabuk. Bisa berbahaya. Tangannya langsung menyambar tas selempang yang berada di kursi, kemudian melangkah menuju pintu keluar.
Tanpa Gita sadari Arki sudah bangkit dan berlari mengejarnya. Sekuat tenaga mendorong kembali pintu yang sempat Gita buka. Tangannya yang lain merangsek memeluk pinggang Gita, dengan kuat menariknya mendekat. Gita bisa merasakan punggungnya menyentuh dada laki-laki itu. Aroma alkohol yang kuat tercium saat dia mendekatkan mulut ke lehernya.
“Luna … aku gak bisa kalau gak sama kamu,” bisik Arki.
“Saya bukan Luna, Pak! Saya Gita!” Teriak Gita panik.
Tanpa peduli apapun yang dikatakan gadis itu, Arki yang sudah kehilangan nalar kini membuatnya berbalik dan mendorong dengan kuat hingga Gita terpojok di pintu. Ciuman kasar dia daratkan tanpa ampun dibibir gadis antah berantah yang tidak begitu dekat dengannya.
Gita mencoba melepaskan diri, menjambak rambut dan menarik telinga Arki dengan perasaan tidak berdaya. Laki-laki itu tetap tidak menyerah, menautkan lidahnya hingga rasa kebas Gita rasakan di sana.
Aroma alkohol memuakkan juga mengisi indera penciumannya. Gita seketika menangis, menghadapi mara bahaya yang mengadangnya akibat berurusan dengan laki-laki mabuk.
“Aku cuma bisa ngelakuin ini sama kamu, Lun.” Arki mulai meracau kembali setelah melepaskan kecupannya.
Kini dia mendorong tubuh gadis itu ke sofa, tangannya dengan cepat melucuti kemeja yang Gita kenakan. Hingga tak bersisa kain menutupi bagian atasnya.
Gita berteriak, menangis, memukul, hingga menggigit Arki yang sudah gelap mata, mengedarkan bibirnya dikulit lembut miliknya. Sayangnya teriakan itu tertelan ruangan yang kedap suara.
Arki berhenti sejenak, melepas kemejanya juga dan sedang berusaha melepaskan sabuk dari celananya. Kesempatan sekian detik itu Gita pakai untuk meraih microphone yang terletak tidak jauh dari kepalanya.
Sekuat tenaga Gita memukul kepala Arki beberapa kali dengan penuh emosi, membuat laki-laki itu berteriak dan mengaduh. Terlihat luka berhasil ditorehkan dipelipisnya. Usaha Gita tersebut ternyata berhasil, Arki melorot menjauhinya.
Gita langsung menyambar kemeja yang sempat menghilang dari tubuhnya dan tergeletak di lantai. Mengenakannya dengan cepat, kemudian berlari keluar meninggalkan laki-laki yang mulai tidak sadarkan diri kembali di sofa.
Air mata bercucuran sepanjang jalan keluar dari Epilogue, musik club di lantai satu yang nyaring menggema, menenggelamkan isakannya. Dia tidak bisa berpikir apa-apa selain berlari menjauh dari sana, bahkan tidak mengingat minta pertolongan Mia yang bekerja di tempat tersebut. Saat mencapai pintu keluar, Gita langsung masuk ke taksi yang kebetulan berhenti menurunkan penumpang di sana.
*CRMA (Certification in Risk Management Assurance): adalah program sertifikasi khusus yang dirancang oleh IIA untuk semua profesional manajemen risiko, tidak hanya bagi auditor internal saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
dapurnya tinah
bacanya ikit deg² kan tauuuu,berasa diri q yg ngalamin
2023-02-15
0
HaniHiko
sepertinya ide gila Gita terinspirasi dr lagu cinta satu malam 🤭😂
2023-01-27
0
Dina Amirah Pratiwi
Langsung main serang aja cowokny.
Keren ini tokohnya akuntan dan auditor, apa gak sering gelut tuh pas audit?
2022-11-08
1