Bab 3

Di sebuah sudut apartemen di ibukota, Marcel berdiri di balkon apartemen, dengan sebatang rokok yang terselip diantara jari manis dan jari telunjuknya. Sesekali, Marcel menghisap pangkal rokok, meniupkannya ke udara hingga menciptakan bayangan asap samar, membentuk pola abstrak sebelum ditelan angin tanpa sisa.

Pikiran Marcel bertempat pada sosok Renata. Gadis cantik dengan sorot menyenangkan dan ramah terhadap banyak orang. Gadis itu tampak baik, juga tampak peduli terhadap sesama. Tak pandang perbedaan. Buktinya, ia bisa bersama Lusi dan menjalin pertemanan yang sangat dekat meski berbeda kelas sosial.

Dalam diam, Marcel memejamkan mata. Ia berusaha untuk menyimpan bayangan Renata di dalam memori kepalanya. Senyumnya, cara bicaranya, cara berjalannya, juga bahkan setiap kedipan matanya, semua akan senantiasa Marcel simpan dalam kepalanya.

Bosan dengan kesendirian, Marcel memilih untuk membuang puntung rokoknya, masuk dan menutup pintu apartemen berbahan kaca itu. Bagi Marcel, apartemen ini cukup mewah.

Sejak sang papa dan mama mendengar bahwa Marcel ingin tinggal terpisah dari ibu dan ayah, mama dan papanya, Alex segera mencarikan Alex sebuah tempat tinggal yang cukup mewah. Bahkan, sebagian besar pembayaran apartemen, merekalah yang membayar, dan Marcel membayar sisanya.

"Hai, Lus. Kau dimana? Sibuk, tidak?" Tanya Marcel, ketika pemuda itu menempelkan ponselnya, ke telinga.

"Hai, Marcel. Aku ada di rumah, sedang menemani Shila belajar mengerjakan PR. Ada apa?" Jawab Lusi, dan balik bertanya.

"Aku sejak sore tadi hanya sendiri. Mau tidak, jika aku mengajakmu makan malam bersama. Ajak Shila juga jika perlu. Nanti aku yang akan mentraktir kalian." Ungkap Marcel.

"Hah? Aku, aku sudah banyak merepotkanmu. Kau juga sudah sering mentraktirku. Jadi, aku segan kalau . . . ."

"Tak perlu segan. Oh ayolah, bukankah kita berkawan?" Tanya Marcel.

Mau tak mau, Lusi mengangguk seraya menggigit bibir bawahnya. Ingin menolak, tapi ia takut Marcel tersinggung.

"Ya, baiklah. Aku akan membawa adikku ikut serta. Kita bertemu dimana?"

Tanya Lusi kemudian.

"Aku akan berangkat sekarang juga. Bawa adikmu keluar dari gang dan tunggu aku di jalan besar." Pinta Marcel.

"Ya, baiklah. aku akan berangkat sebentar lagi."

Sahut Lusi kemudian.

**

Suasana makan malam kali ini sangat nikmat bagi Lusi. Gadis itu sesekali tertawa lepas bersama sang adik, ketika Marcel mengajaknya bercanda ria.

"Shila, sebenarnya apa yang menjadi hobimu?" Tanya Marcel pada Shila yang sibuk mengunyah makanan.

Anak itu, selalu suka makan sejak dulu, namun tubuhnya tetap kurus. Maklum saja, Uang Lusi tak cukup bila harus memasak menu yang enak-enak setiap hari.

"Aku hobi makan, kak Marcel. Selain itu, aku juga ingin menjadi pelukis. Menggambar bisa membuatku bahagia." Ungkapan Shila dengan suara khas anak yang nyaris beranjak remaja.

"Baiklah, sering-seringlah menggambar. Jika kau bisa melukis siluet wajahku, aku berjanji akan membelikan kau set kuas mahal yang juga sering dipakai pelukis ternama." Ungkap Marcel sambil menyuapkan makanannya.

"Benarkah?" tanya Shila penuh antusias.

"Ya, tentu saja. Aku suka royal pada anak yang berbakat." Ungkapnya lagi.

"Sudahlah, Marcel. Aku tak ingin kau memberikan Shila barang-barang yang mahal. Biarkan begini saja. Kau tahu, aku tak ingin kau menghabiskan uangmu hanya untuk membantu kesulitanku dan adikku." Timpal Lusi kemudian.

Gadis itu merasa tak nyaman, karena Marcel sering membantunya, padahal dirinya merasa tak mampu membantu Marcel menggapai Renata.

"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Lusi. Aku tulus ingin memberikannya pada Shila. Biar bagaimana pun, kita sahabat sekarang." ungkap Marcel kemudian.

Di tempatnya, Shila cemberut, merasa bahwa kakaknya menyia-nyiakan kesempatan emas. Padahal, jarang-jarang ada orang kaya yang bersedia memberinya apa pun secara tulus dan sukarela.

"Kau tak malu bertemankan gadis miskin sepertiku?" Tanya Lusi sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

"Untuk apa malu? Aku pun bukan orang kaya. Aku dibesarkan oleh ayah sambungku, dan ibu kandungku. Asal kau tahu saja, Papa Alex adalah ayah biologisku." Ungkap Marcel.

Lusi mengangguk di tempatnya.

"Oh ya, bagaimana dengan Dia? Apa kau mendengar atau mendapati info, kemana ia pergi akhir pekan ini?" Tanya Marcel kemudian. Tentunya Marcel maupun Lusi enggan untuk menyebut nama Renata di depan Shila.

"Yang aku dengar, ia akan pergi ke pinggiran ibukota bersama pacarnya." Jalan Lusi.

"Beri tahu saja alamatnya. Nanti biar aku yang membuntutinya sendiri. Jika kau tak keberatan, ikutlah denganku." Ungkap Marcel.

"Baiklah. Nanti aku akan beri tahu alamatnya." Sahut Lusi.

Hingga makan malam usai, Marcel segera mengantarkan Lusi hingga di rumah. Tak lama, Marcel mengajak Lusi untuk berbincang di ruang tamu. Beruntung, Shila sudah terlelap di dalam mobil Marcel, sejak mereka masih dalam perjalanan pulang tadi.

"Aku berencana untuk membuat Renata membenci kekasihnya. Bagaimana?" Tanya Marcel pada Lusi. Tentu saja Lusi menggelengkan kepalanya.

"Jangan begitu, Marcel. Kau ini bagaimana? Merusak tali kasih pasangan lain itu tak baik. Memangnya, apa tak ada wanita lain yang lebih baik dari Renata? Percayalah. Caramu itu salah. Banyak gadis yang masih lebih baik dari Renata." Ucap Lusi hati-hati.

Sebagai seorang sahabat Renata yang sering kali membantunya, Lusi tak sampai hati bila melihat Renata bersedih. Tentu saja Lusi tak sejahat itu.

"Kau ini sebenarnya di pihakku, atau di pihak Renata?" tanya Marcel sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Aku tulus membantumu selama ini, tanpa imbal balik. Aku tak butuh apa pun, hanya butuh bantuan dirimu untuk bisa lebih dekat dengan Renata."

"Renata sahabatku, kau juga sahabatku. Aku hanya tak bisa membayangkan apa jadinya nanti, jika Renata batal menikah dengan kekasihnya." Ungkap Lusi.

"Maka Renata akan aku nikahi, meski usianya Lima tahun di atas usiaku." Ungkap Marcel mantap. Lelaki itu benar-benar keras kepala dan tak ingin melirik wanita lain, jika sudah jatuh hati pada seorang wanita.

"Bagiamana jika seandainya, Renata dan kekasihnya tetap tak bisa dipisahkan?" Tanya Lusi untuk memancing.

"Maka kau yang harus menjadi tumbalnya." Ujarnya santai. Tentu saja Lusi melotot sempurna saat mendengarnya.

"Apa pun caranya, selama Renata masih belum resmi dimiliki orang lain, maka saat itu pula aku masih memiliki celah."

"Kau yakin kau mencintai Renata, Marcel? Apa kau yakin, jika itu bukan obsesi semata?" Tanya Lusi kemudian.

Marcel diam tak menjawab. Antara obsesi dan cinta, Marcel sulit membedakan. Inilah letak kekurangan Marcel.

"Yang jelas, aku selalu terbayang wajahnya dan senyumnya. Sehari saja aku tak menjumpainya, aku sangat rindu. Itu yang aku rasakan." Kata Marcel dengan jujur.

"Lalu, bagaimana jika tuhan menggariskan takdir, bahwa Renata bukan jodohmu." Tanya Lusi kemudian. Marcel tampak berpikir. Lelaki itu agaknya tengah menimbang keputusan yang tepat.

"Maka aku akan menawar agar jodohku hanya Renata saja." Jawab Marcel.

"Bagaimana jika tuhan tak mau?"

"Ya sudah. Biarkan kau saja yang menggantikan Renata." Kelakar Marcel sambil tertawa puas, karena berhasil membuat Lusi kesal.

Seiring bertambahnya waktu, bahkan kini baik Marcel maupun Lusi, keduanya semakin dekat dan akrab saja.

Hingga kemudian sebuah ide di kepala Marcel muncul, maka saat itulah Lusi semakin tak habis pikir pada sahabatnya itu.

**

Terpopuler

Comments

R_E_S

R_E_S

obsesi marcel

2022-11-06

1

Vera Mahardika

Vera Mahardika

itu obsesi marcel bukan cinta

2022-11-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!