Bab 2

"Apa yang ingin kau katakan, Lus? Sepertinya itu sangat penting sekali." Tanya Renata, saat ia baru selesai makan.

Renata baru saja meletakkan piring yang baru aja ia gunakan untuk makan, sebelum ia cuci bersih. Wanita itu duduk seenaknya di kursi usang tepat di depan televisi yang hanya sebesar empat belas inchi.

Tepat di sebelah Renata, Shila, adik Lusi tengah makan makaroni pedas kesukaannya. Camilan rumahan yang mudah di jumpai di toko-toko biasa dengan harga terjangkau.

Lusi memperhatikan sahabatnya itu, menatap lekat wajah cantik dengan kulit putih terawat.

'Pantas saja tuan Marcel menyukaimu, Ren. Kau cantik dan memiliki pesona yang luar biasa.' Batin Lusi dalam hati.

"Ada seorang pria yang menyukaimu. Dia ingin dekat denganmu. Ya ... hanya dekat. Tidak lebih. Maksud arti kata dekat itu sendiri, hanya sekadar ingin berbincang dan saling mengenal agar lebih akrab. Tidak untuk uang aneh-aneh." Ucap Lusi, dengan meneguk segelas air putih.

"Huh, kau ini. Aku tak ingin membuka hatiku untuk siapa pun saat ini." Jawab Renata.

"Salah sendiri, kau tak membagi tahu siapa yang menjadi penghuni hatimu. Aku pikir, dia hanyalah pria khayalan saja." Kata Lusi kemudian.

"Belum saatnya aku mengungkap identitasnya. Memangnya ... Siapa sih, pria yang kau maksud menyukaiku?" Tanya Renata.

"Aku tak bisa menyebut namanya secara langsung. Dia ada di dekat kita. Tidakkah kau ingin membuka hatimu?" Tanya Lusi kemudian.

"Ah, kau ini. Bisa tidak, jangan membuatku penasaran begini? Astaga, kau ini." Renata berdecak.

Suasana kembali hening. Lusi tenggelam dalam pikirannya, begitu pula dengan Renata.

"Aku akan mengenalkan kekasihku nanti, jika ia sudah siap. Jadi jika boleh aku meminta, jangan kau sodori aku lelaki mana pun."

"Kau yakin kau tak ingin membuka kesempatan untuk pria lain. Memangnya, sesempurna apa kekasihmu?" Tanya Lusi kemudian.

"Bukan lelaki kaya raya idaman, juga bukan pria tampan dan mapan layaknya Don Juan. Hanya saja, aku nyaman dan sangat cocok dengannya." Ungkap Renata penuh kebanggaan.

Lelaki yang selama ini ia puja mati-matian, tak mungkin bagi Renata untuk berpaling ke lain hati. Bagaimana mungkin, setelah perjuangan besar yang Renata lalui, kini Renata diminta secara halus untuk melepas kekasihnya begitu saja? Tidak. Renata tak akan mampu melakukannya.

"Baiklah." Ucap Lusi kemudian.

Sejujurnya, Lusi tak mampu bila ia harus menjadi makcomblang. Sejak dulu ia tak pernah melakoni peran sebagai tukang jodoh, lantaran Lusi terlalu sibuk mencari pekerjaan untuk biaya hidupnya.

Terdengar suara obrolan ringan di ruang tamu yang merangkap menjadi ruang santai. Sesekali, Shila akan tertawa keras bersama Renata, karena sebuah candaan. Di tempatnya, Lusi merasa tak berdaya.

Gadis itu semakin tertekan oleh keadaan serta kesepakatan dangkalnya bersama Marcel. Rasanya ini seperti beban tersendiri bagi Lusi.

Sudah banyak uang Marcel yang Lusi gunakan untuk biaya hidupnya, serta kebutuhan sekolah Shila yang hendak masuk ke sekolah menengah pertama.

Jika Renata tak bisa ia dekatkan dengan Marcel, bukankah itu artinya Lusi gagal menjalankan kesepakatan tersebut? Lalu, apa jadinya jika nanti Marcel meminta uannya kembali, karena Lusi tak becus menjalankan misinya?

'Ah, rasanya kepalaku mau pecah. Bagaimana ini?'

Lusi mengeluh dalam hati.

"Lus, kau mengapa hanya diam saja? Kau baik-baik saja, bukan?" Tanya Renata, seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Hah? Aku? Aku, aku tak apa-apa." Jawab Lusi.

"Kau tak mungkin tak apa-apa, sedang kau sangat jelas terlihat panik begini. Jika ada masalah besar, katakanlah, aku akan membantumu dengan senang hati." Ucap Renata lagi.

"Tak ada masalah apapun. Hanya saja, aku harap kau tak menyesal nanti. Lagi pula, apa salahnya andai kau bersedia menemui lelaki yang mengagumimu itu." Pinta Lusi tak putus asa.

"Tapi . . . aku bahkan sudah merencanakan pernikahan beberapa bulan lagi dengan kekasihku. Bukannya aku sombong karena tak menemuinya. Hanya saja, aku tak ingin menjadi wanita munafik dengan memberikan harapan palsu. Aku tak ingin menyakiti hati orang lain. Kau tau sendiri bagaimana karakterku." Tandas Renata.

Lusi terdiam di tempat. Renata selain memiliki paras yang cantik, juga memiliki kepribadian yang luar biasa baik. Baik pembawaan maupun karakter sesungguhnya, selalu menampakkan bahwa ia wanita yang baik.

"Ya sudah jika begitu." Ucap Lusi. Lusi bertekad untuk tak akan menyerah. Mungkin dengan pertemuan-pertemuan tak sengaja antara Marcel dan Renata, akan memercikkan cinta diantara keduanya.

**

Di sebuah taman yang cukup sepi, Lusi duduk seorang diri dengan mengenakan jaket yang tak terlalu tebal. Gadis itu sengaja keluar di waktu malam yang telah larut ini, karena menunggu sang adik terlelap di alam mimpi.

Sejujurnya, ia sangat bingung merangkai kata, andai nanti ia bertemu dengan Marcel. Bagaimana caranya agar nanti Marcel mengerti, bahwa ia sudah berusaha membujuk Renata.

"Sudah dari tadi?" Tanya seseorang yang berhasil mengalahkan atensi Lusi.

"Tidak juga. Duduk dulu, tuan. Maaf kalau . . . ." Ujar Lusi, yang kemudian kalimatnya terpotong oleh kalimat Marcel.

"Sudah aku katakan. Panggil aku Marcel saja saat di luar jam kerja dan hanya berdua. Aku tak suka dipanggil dengan embel-embel TUAN." Ungkap Marcel kemudian.

"Bagaimana makan malamnya?"

"Oh baiklah, maaf. Renata sudah mengukuhkan hatinya pada pria lain. Kabarnya, beberapa bulan lagi ia akan merencanakan pernikahan. Hanya saja, aku tak tahu tepatnya kapan." Ungkap Lusi.

Lusi panik, dan begitu khawatir Marcel marah mengingat Marcel telah banyak mengeluarkan banyak uang untuknya. Ia pasrah, andai nanti Marcel memintanya mengembalikan uang yang sudah lelaki itu keluarkan untuknya.

"Tak apa. Kita bisa memakai cara lain. Kau tahu, Lusi? Ada banyak jalan menuju Roma. Selama janur kuning tak juga melengkung, aku tak akan berhenti meraihnya. Kita perlu cara yang lebih kuat dari misi pertama." Ungkap Marcel dengan penuh serius.

Lusi terhenyak di tempatnya. Ditatapnya lelaki yang menatapnya itu. Matanya yang sipit, namun memiliki pesona yang dalam dan penuh misteri, menghanyutkan jiwa Lusi yang terasa hampa selepas meninggalnya kedua orang tua.

"Lus? Kau mendengarku?" Tanya Marcel. Marcel menatap tajam Lusi yang tergagap akibat ketahuan memandangi Marcel.

"Ya, aku mendengarmu, Marcel. Hanya saja, aku tak yakin untuk rencana ini." Ungkap Lusi pelan.

"Jangan pernah menyerah. Ini bukanlah hasil akhir dari perjuangan kita. Ayo, bantu aku lebih keras lagi untuk bisa meraih Renata. Jika perlu, aku tak keberatan andai nanti harus menghancurkan hubungan kasih Renata dengan lelakinya. Tak ada salahnya, mereka belum menjadi pasangan suami istri." Ungkap Marcel lagi.

"Hah? Kau merencanakan niat buruk untuk Renata?" Tanya Lusi.

"Bukan niat buruk. Papa Alex berkata bahwa, jika kita tak bisa mendapatkan sesuatu dengan cara baik, tak ada salahnya jika kita sedikit bermain intrik." Ucap Marcel tersenyum manis.

"Dan mulai sekarang, kita berkawan. Kau dan aku, kita teman baik."

Dalam diam seraya menatap Marcel, Lusi gamang. Marcel datang padanya layaknya malaikat yang baik, mengulurkan bantuan untuknya dan sang adik, Shila. Tapi di lain momen, Marcel menunjukkan, bahwa ia tak sepenuhnya baik.

'Sebenarnya, pribadi seperti apa kau ini, Marcel?'

Batin Lusi penuh tanya.

**

Terpopuler

Comments

Arya akhtar

Arya akhtar

ko gini ceritanya sayang, Marcel mau d bikin gmn.

2022-11-09

1

Vera Mahardika

Vera Mahardika

ayoloh lusi bagai makan buah simalakama ya lus. hehe

2022-11-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!