NovelToon NovelToon

Misteri Kematian Istriku

Kejam

“Enak ya, pagi-pagi udah nyantai,” sindir Ibu Mertua Diana saat wanita itu baru saja menjatuhkan tubuhnya di tempat duduk. Diana tengah menguraikan rasa pegalnya setelah melakukan banyak sekali pekerjaan rumah tangga pagi ini setelah suaminya pergi ke kantor.

Sebenarnya ada asisten rumah tangga di rumah ini, namun entah kenapa, ibu mertua terus saja menyuruhnya. Memberikan banyak tugas-tugas yang cukup berat.

Di tegur demikian membuat Diana segera beranjak. Dia tidak ingin dikata menantu yang tidak tahu diri, tidak tahu sopan santun atau apalah kalimat sejenisnya jika dia tak menghormati keberadaan ibu mertuanya. Dengan menunduk, dia pun mengatakan, “Ma-maaf, Bu. Apa masih ada pekerjaan lagi yang harus Diana lakukan?”

Suara Diana gugup dan gemetar. Dia adalah gadis lugu yang takut dengan tatapan tajam wanita tua yang bergelar mertuanya itu. Ah, seharusnya Diana tidak perlu takut. Diana bisa saja pergi dari rumah besar ini. Namun, selain harus bisa bertahan demi perasaan cintanya kepada sang suami, Diana harus bisa membuktikan bahwa dirinya bisa menaklukkan hati ibu mertuanya. Diana yakin, Nurul masih mempunyai sisi baiknya sebagai seorang ibu. Ya, Diana mengira Nurul hanya cemburu karena setelah Rian dewasa dan menikah, pria itu lebih mencintai dirinya dan perhatian kepadanya di bandingkan dengan ibu kandungnya sendiri.

“Cucian baju udah numpuk! Belum dicuci. Kok malah enak-enakan di sini? Bantu orang dapur. Nggak ada yang boleh jadi nyonya di sini. Semuanya harus kerja. Aku aja yang sudah tua-tua begini masih kerja. Enak saja,” katanya sangat ketus.

“Tapi selain pakaian kotor milik Mas Ryan kan, tugasnya Mba Yuni, Bu. Dan Diana sudah mencucinya tadi pagi,” jawab Diana amat hati-hati mengatakannya. Meskipun dia merasa jawaban ini salah. Karena setiap perkataan yang keluar dari mulutnya adalah salah.

“Tugas Yuni itu banyak! Apa kamu nggak mau membantunya? Sudahlah, kerjakan saja! Jangan banyak bantah!”

Tak ingin perdebatan semakin panjang, Diana pun mengiyakan titah ibu mertuanya. Lalu berlalu ke belakang. Mengambil detergen dan mengisi air di dalam ember besar. Kemudian memasukkan pakaian kotor milik ibu mertuanya yang tidak bisa di cuci menggunakan mesin.

Beginilah keseharian Diana sehari-hari setelah menikah dengan Ryan selama dua bulan belakangan ini. Tetapi setelah Ryan berangkat bekerja. Karena saat Ryan masih di rumah, Nurul tidak begitu menunjukkan sikap tak terpujinya di depan putra semata wayangnya tersebut.

“Sini, biar saya bantuin, Non.” Yuni menyelinap diam-diam menuju ke tempat pencucian baju untuk membantu majikannya yang malang.

“Eh, nggak usah Mba. Nanti kalau ketahuan Ibu, Mba Yuni bisa dimarahin.”

“Yang penting jangan sampai ketahuan,” balasnya sambil bersikap waspada. “Non pasti capek banget. Tega banget Si Ibu nyuruh-nyuruh Non terus. Kerjaan beginian mah harusnya emang jadi tugas saya, Non.”

“Nggak papa, Mba. Mungkin udah jadi jalan hidupku begini.” Diana menatap kosong. Pikirannya menerawang. Meratapi masa lalunya yang sesungguhnya jauh lebih indah sebelum dinikahi oleh pria kaya dan yang datang ke kampung halamannya.

Seandainya dia tak mengenali Ryan, seorang arsitektur bangunan yang pada saat itu hendak membeli tanah neneknya untuk dibangun menjadi sebuah tempat wisata, pasti kejadiannya tak akan seperti ini. Namun apa hendak di kata dan apa yang mau di sesali? Semua sudah terjadi dan waktu tidak mungkin bisa terulang kembali.

“Jangan putus asa, Non. Raih hatinya. Buktikan bahwa Non Diana itu pantas menjadi menantunya.” Yuni mencoba mengobarkan semangat Diana, meskipun ia tahu itu tak akan mungkin. Sebab Yuni tahu bagaimana sikap majikannya itu karena dia sudah lama bekerja di sini. Sakit watuk (batuk) itu bisa di obati, tapi kalau sudah watak, biasanya sejatinya.

“Awalnya pikir ku juga seperti itu, Mba. Tapi saat ini ... setelah aku jalani, aku berubah pikiran. Rasanya sulit banget buat sabar. Ibu tetap nggak suka sama aku meskipun aku sudah melakukan banyak hal untuknya. Apapun yang aku tunjukkin di depannya, nggak ada yang bisa membuatnya senang. Semuanya salah.” Diana sudah mulai hampir putus asa. “Aku harus gimana?”

“Maaf, kalau boleh ngasih saran, sih. Sebaiknya, Non Diana minta pisah rumah saja. Biarpun mungkin kalian hidup lebih sederhana, tapi saya jamin, kalian akan jauh lebih bahagia daripada hidup sama mertua galak seperti Ibu Nurul. Itu sih, hanya pendapatku aja, Non. Coba Non Diana bicarakan sama Pak Ryan. Insyaallah beliau pasti mau ngerti, kok. Pak Ryan kan orang baik, beda 180 derajat sama ibunya.”

“Aku udah bicarain ini sebelumnya sama Mas Ryan,” jawab Diana membuat Yuni langsung menyela sangat ingin tahu, “terus jawabannya apa?”

“Mas Ryan minta aku sabar karena dia nggak mungkin meninggalkan orang tuanya yang tinggal satu-satunya, Mba. Karena setiap kali Mas Ryan bicara sama beliau tentang rencana kami pindah, Ibu selalu nunjukkin kalau beliau sedang sakit keras supaya nggak ditinggalkan olehnya.”

“Hanya akting nggak sih? Ya maklum, orang kelihatannya sehat. Kalau teriak aja kerasnya minta ampun. UPS!” Yuni langsung membekap mulutnya. “Non jangan bilang-bilang aku omong kek gini. Bisa dipecat akunya.” Yuni tertawa kemudian.

“Ya nggak lah. Aku nggak seember itu, Mba.” Jeda sejenak, Diana melanjutkan, “Ambil pelajaran ini untuk kamu juga Mba, jangan nikah sama orang kaya. Sebab bisa gini akibatnya. Kalau suami baik, belum tentu orang tuanya mau terima.”

“Jangan mandang semua orang kaya itu sama karena apa yang Non alami sekarang. Ada juga mertua kaya yang baik dan tulus, kok. Cuma Non aja yang kebetulan lagi kurang beruntung.”

“Tapi seenggaknya keluarganya juga nggak ada yang bisa merendahkan kalau pasangan kita sepadan.”

“Yuni! Yuni!” teriakan Nurul yang terdengar menggelegar membuat Yuni buru-buru melompat dari tempat pencucian pakaian dan segera menghampiri sumber suara. Meninggalkan Diana sendirian di sana agar dia tak terkena lagi omelannya.

“Lagi ngapain kamu di sana?” hardik Nurul begitu Yuni mendekati wanita itu. “Habis bantuin Diana?”

“Saya lagi makan, Bu,” jawab Yuni sekenanya.

“Makan melulu! Bikinin saya kopi!”

“Tapi Ibu kan nggak boleh minum kopi sama Mas Ryan,” Yuni membantah.

“Nggak menantu, nggak pembantu, sama-sama tukang bantah. Bikinin cepat! Aku ngantuk! Kerjaanku masih banyak ini,” suara Nurul makin meninggi. Benci sekali dia dengan semua orang di dalam rumah ini, terlebih dengan menantunya, istri kesayangan putranya itu. Gadis kampung yang sama sekali tidak pantas bersanding dengan anaknya. Menyebalkan! Seolah tidak ada lagi wanita di dunia ini sehingga Ryan malah memilih gadis kampung seperti Diana.

Padahal, banyak kenalan anak-anak sosialitanya yang cantik-cantik dan berpendidikan tinggi, tetapi Ryan malah memilih gadis kampungan dan bodoh seperti Diana yang entah di dapat dari mana. Karena tahu-tahu, pulang bawa istri. Nurul pun heran dengan selera anaknya yang sangat jauh dari angannya selama ini. Apa dia sudah di guna-guna oleh perempuan itu?

“Baik, Bu. Saya bikinin sebentar.” Yuni segera berlalu untuk membuatkan pesanannya dengan gerutuan di hati. Dia bahkan ingin sekali memasukkan racun sianida ke dalam kopi buatannya agar dia cepat mati saja karena orang seperti itu; tidak ada gunanya hidup di dunia selain bikin sakit hati orang saja.

***

Hai, aku balik lagi. Ini pindahan dari Kabeem, ya. aku up di sini karena banyak yg gak punya aplikasi nya. Yuk dukung karya ini dengan like komen dan masukkan ke rak buku kalian, ya!

Cerai?

Bab 2

“Alhamdulillah, kamu udah pulang, Mas,” sapa Diana begitu suaminya pulang ke rumah dan masuk ke kamar mereka.

Anehnya, Diana tak menyambutnya seperti biasa. Perempuan itu malah tampak menghindari kontak mata dengannya seolah sibuk melakukan sesuatu, sehingga laki-laki itu pun membatin penuh tanya.

“Maaf nggak dengar mobil kamu, Mas. Soalnya tadi aku lagi di kamar mandi,” kata Diana lagi seolah mengerti isi hati prianya. “Oh, iya. Mas Ryan mau langsung mandi, ya? Sebentar, aku siapin bajunya, ya.”

Saat Diana tengah sibuk melakukan sesuatu yang dia sebutkan tadi, Ryan menghentikan pergerakannya. Menangkap kedua tangannya dan memaksa Diana menatap matanya.

Benar saja. Saat Ryan mengamati lamat-lamat wajah istrinya, ada sesuatu yang terlihat berbeda. Ryan mendapati wajah Diana yang sembab sehingga ia kemudian bertanya, “Apa yang terjadi?”

“M-maksudnya?” Diana berpura-pura.

“ Jangan pura-pura Diana. Apa Ibu marahin kamu lagi hari ini?”

Diana tak menjawab. Dia terlalu bingung. Jujur dan berbohong sama-sama akan membuatnya semakin di benci oleh Nurul. Wanita itu sangat sulit diimbangi sikapnya. Serba salah.

“Diana, jawab!” pertanyaan Ryan terdengar semakin menuntut. Sampai bahu Diana terguncang oleh karena gerakan tangan Ryan di tangannya.

“Baiklah, diammu menunjukkan kalau pertanyaanku barusan adalah benar,” kata Ryan akhirnya berasumsi sendiri karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Diana.

Nyatanya, hal tersebut sudah sering Ryan dengar meskipun tak pernah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Sebab setiap mendapati mereka sedang bersama, Ibunya tak pernah menunjukkan sikap-sikap yang ganjil di matanya. Kendatipun cara Nurul memandangi istrinya memang berbeda. Dia belum menerima sepenuhnya Diana sebagai menantunya.

Hal ini terjadi karena Ryan tak bisa mencarikan menantu yang sesuai seperti kriteria ibunya selama ini. Nurul ingin mempunyai menantu dari keluarga terpandang, kaya dan sosialita. Sedangkan menurut Ryan, perempuan seperti itu hanya akan menghabiskan hartanya saja. Ryan sudah pernah berpacaran dengan wanita seperti yang ibunya mau, tapi alangkah buruknya perangai wanita yang bergaya demikian. Tak perlu dijabarkan, Ryan rasa semua orang juga tahu bagaimana bentuknya.

“Loh, anak Ibu kapan pulangnya? Kok Ibu nggak lihat?” Nurul yang pada saat itu tengah menyiapkan makan malam, langsung beranjak begitu melihat anak satu-satunya menghampiri dengan tatapan nanar. Namun sepertinya wanita bebal itu tak menyadari perubahan wajah putranya tersebut.

Nurul berkata lagi karena Ryan tak menanggapi apa-apa ucapannya, “Lihat nih, punya mantu kayak nggak punya mantu. Kerjaannya tidur terus. Bukannya bantuin Ibu nyiapin makan malam. Ibu kan capek, banyak kerjaan juga yang harus di urus. Emangnya dia pengangguran. Nggak sekolah sih.”

“Ryan punya istri bukan untuk jadi pembantu, Bu!” kata Ryan tegas, “apa ada Yuni di sini belum cukup? Apa mau Ryan tambah ART lagi buat bantu-bantu Ibu?”

Nurul sedikit gelagapan, “Eh, maksudnya apa ini, Nak? Kok kamu tiba-tiba marah sama Ibu?”

“Ada apalagi, Bu? Kenapa dengan Diana? Kenapa Ibu membuatnya nggak betah ada di rumah ini?”

“Kurang ajar, ngadu apa anak itu sama kamu, ha?” Nurul langsung berang di buatnya. “Ibu sama sekali nggak bilang apa-apa. Lihat, dia di kamar terus aja Ibu nggak manggil. Apa salah Ibu?”

Secara kebetulan, Diana yang baru saja muncul itu pun dipanggil seketika oleh Nurul. Diana pun terkesiap dibuatnya. “Kamu ngadu apa sama suami kamu, Diana? Memangnya Ini ngelakuin apa sama kamu, ha?”

“D-Diana nggak bilang apa-apa sama Mas Ryan,” Diana menjawab. Dia sama sekali tidak mengerti mengapa dirinya malah balik disalahkan. Akting ibu mertuanya memang patut diacungi jempol. Pantas sekali menjadi peran antagonis di dalam sebuah penggarapan film azab.

“Tapi buktinya?” Nurul tidak segampang itu percaya dengan jawaban Diana. Lagi pula, benci tetaplah benci.

“Kamu itu tukang adu domba ya! Kamu mau bikin hubungan ibu dan anak ini rusak? Hancur?”

“Cukup, Bu!” sela Ryan.

“Kami nggak pernah ada konflik sebelum kamu datang, perempuan kampung! Itu artinya kamu adalah pengaruh buruk buat anakku! Memang kamu ini nggak pan-“

“Bu!” sela Ryan sekali lagi, “diam atau kami pindah dari rumah ini!”

Nurul menunduk. Terdengar isakan kecil dari keluar air mata dari mulutnya. “Kamu bentak Ibu gara-gara perempuan yang baru kamu kenal selama beberapa bulan ini. Kamu lebih sayang sama dia dibandingkan sama Ibu yang sudah membesarkan kamu selama 30 tahun. Sakit hati Ibu, Nak. Kamu benar-benar durhaka. Kamu bisa dosa, lho.”

“Bukan begitu maksudnya ....” Ryan berdecak. Bimbang, pria itu menatap kedua wanita yang dicintainya secara bersamaan. Keduanya adalah wanita yang sangat berarti baginya dan tidak ada yang bisa dia pilih. Tak ada kata apapun lagi yang keluar dari mulut Ryan, karena yang ada saat ini hanya pelukan hangat untuk sang ibu. Sejenak. Sebelum dia menggandeng istrinya masuk ke dalam kamar. Mereka menjauh untuk meredamkan emosi yang sedang melonjak.

“Lihat saja pembalasanku gadis kampung. Nggak ada yang boleh menguasai anakku. Dia hanya milikku satu-satunya. Kalau terus-terusan seperti ini, mungkin jalan satu-satunya kamu memang harus kulenyapkan!” Nurul mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Tidak ada aktivitas di meja makan pada saat itu karena semua meninggalkan ruangan. Entah strategi apa yang hendak direncanakan oleh wanita tua yang gelap mata itu.

Keesokan harinya, keadaan sudah jauh lebih baik. Meskipun pertikaian semalam masih menyisakan lara bagi Diana.

“Sabar, ya. Ibu hanya cemburu padamu karena aku terlihat lebih mencintaimu. Maklum, orang tua memang suka balik kaya anak kecil l Kamu lihat kan, semalam?” begitu kalimat penenang yang selalu Ryan ucapkan sebelum dia berangkat bekerja.

“Iya, Mas.” Diana mengangguk. Dia mengulurkan tangannya saat suaminya hendak pergi. Satu keyakinan yang pasti, sejahat-jahatnya wanita tua itu, beliau tak mungkin menggigitnya. Sudahlah, lupakan sejenak masalah semalam. Anggap saja angin lalu. Begitu batinnya mengatakan.

Namun apa yang terjadi sesaat setelah Ryan pergi?

Nurul justru mendekat dan mengatakan, ”Jangan sampai anakku punya keturunan yang lahir dari rahim gadis kampungan sepertimu.”

Sungguh, itu menyakitkan sekali baginya.

Dalam hatinya Diana berteriak, “Mas Ryan ... aku nggak kuat kalau terus-terusan seperti ini.”

Tapi bagaimana dengan rasa cintanya?

Rasanya tidak mungkin dua bulan menikah sudah cerai. Apa kata keluarga nanti? Bukankah itu aib?

Positif?

Bab 3

Diana langsung menuju ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat saat itu. Ia menelungkup kan kepalanya di bantal dan menangis sejadi-jadinya di sana.

Diana pikir mertua-mertua jahat, tukang nyinyir dan tukang suruh itu hanya ada di dalam dunia pertelevisian. Tetapi ternyata dia mengalaminya juga.

Diana tidak punya mental yang terlalu kuat, berbeda dengan saudaranya, Diara yang justru sebaliknya. Oleh sebab itulah hanya Diara di izinkan oleh Ambunya merantau ke luar negeri. Menjadi TKI di sana.

Ah, memikirkan keluarganya membuat Diana jadi merindukan mereka.

“Aku kangen sekali sama Ambu ... pengen pulang sebentar ke sana. Semoga Mas Ryan ngizinin aku pulang.”

Diana pun segera menghubungi suaminya yang baru saja berangkat itu. Tentu setelah dirinya merasa lebih tenang dan tangisnya tak lagi berbekas. Ya, Diana tidak semanja itu dengan terus menunjukkan kelemahannya pada sang suami. Apalagi soal perseteruannya dengan sang mertua yang takkan pernah bisa memperlakukannya dengan baik.

“Ya ada apa, Di? Baru ditinggal sebentar udah kangen,” kata Ryan mengawali pembicaraan.

“Kamu percaya diri banget, Mas.” Selorohan Ryan membuat Diana tersenyum.

“Memangnya ada apa?”

“Semenjak menikah, aku jarang pulang. Aku mau minta izin pulang ke kampung halaman, Mas. Aku kangen sama Ambu ....”

“Kenapa baru bilang, Diana. Tadi sebelum aku berangkat kamu nggak omong apa-apa.”

“Iya, baru kepikiran sekarang. Tiba-tiba aku kangen banget sama beliau sampai sedih.”

“Hmm, iya. Kenapa kamu gampang banget sedih sekarang. Aku lihat kamu sering nangis.”

“Aku nangis karena Ibu kamu, Mas,” batin Diana.

“Jangan-jangan kamu hamil, ya.”

Deg.

Perkataan Ryan membuat Diana termenung sesaat.

“Aku baru aja mens kemarin.”

“Tapi cuma sehari kamu bilang. Bisa jadi itu Cuma darah implantasi.”

“Mas Ryan udah kayak dokter aja.”

“Ya siapa tahu. Aku sering baca-baca di internet. Namanya juga orang yang sudah menikah pasti harus lebih banyak belajar, kan? Lagi pula nggak salah juga kalau aku mengharap cepat.”

“Mas udah pengen jadi ayah?”

“Iyalah. Pengen sekali ....”

“Sayang. Ibumu nggak suka aku hamil anak kamu, Mas.” lagi-lagi Diana mengeluh dalam hatinya.

“Semoga disegerakan.” Hanya demikian tanggapan Diana soal anak sebelum mereka kembali ke permasalahan inti. “Jadi gimana? Aku di izinin pulang nggak?”

“Boleh, tapi harus aku yang mengantarmu ke sana. Nggak mungkin aku ngebiarin kamu pulang sendirian.”

“Kapan?”

“Nanti sore.”

“Boleh nggak ... kalau nggak usah pulang ke sini lagi?” kata Diana hati-hati.

“Maksudnya apa Diana?”

“Aku lebih betah tinggal di rumah Ambu daripada di sini ...” jawabnya lirih sembari menahan air mata yang sudah kembali menggenang.

“Terus gimana dengan kerjaanku?”

“Mas boleh, kok, tetap ngantor di sini. Nggak papa kalau misalnya Mas Ryan Cuma bisa jenguk aku seminggu atau sebulan sekali. Aku bakal ngerti.”

“Nggak gitu masalahnya. Kita itu suami istri, Diana. Bukan orang pacaran yang ketemunya hanya sesekali.” Suara Ryan sudah mulai berubah. Kecewa sudah pasti. Diana berkata demikian seperti tak mempunyai beban. Memangnya semudah itu menjalani LDR? Apalagi mereka masih tergolong pengantin baru. “Sudahlah, kita bahas masalah ini lagi nanti. Aku cari solusinya dulu.”

“Solusinya kita pindah rumah, Mas,” Diana terdengar memohon.

“Apa kamu nggak bisa sabar sedikit pun, Diana?!”

Tut tut!

Telepon langsung di matikan. Membuat Diana mengusap dadanya yang terasa nyeri. Kenapa sih, tidak ada yang mau mengerti dirinya sedikit saja? Diana tidak cocok dengan mertuanya. Tetapi kenapa Ryan tak mau mengerti dan cenderung menyepelekan keluhannya selama ini?

Sore harinya, Diana pun mendengar mobil suaminya berhenti di depan rumah. Tanda bahwa pria itu sudah pulang setelah disibukkan dengan berbagai kegiatannya hari ini di kantor.

“Mas?” sapa Diana begitu mereka bersitatap. Sedikit kemarahan masih tampak di wajah Ryan. Tetapi Diana paham, marahnya pria itu tak akan lama. “Aku minta maaf soal yang tadi pagi.”

“Sudahlah, kita bahas nanti saja. Bersiaplah, kita akan langsung berangkat ke sana.”

“Tapi Mas Ryan belum istirahat.”

“Nggak papa, istirahat di sana sekalian saja nanti. Perjalanan kita jauh. Aku nggak mau kita sampai di sana terlalu malam. Tempat tinggal orang tuamu sedikit horor.”

Diana mengangguk dan tersenyum. Menggandeng tangan suaminya masuk ke dalam kamar mereka. Lepas sudah semua permasalahan mereka setelah mereka bertemu dan saling memeluk satu sama lain. Sepasang suami istri yang sedang berselisih paham hanya bisa diluruskan dengan cara komunikasi dan diberi sedikit sentuhan fisik.

Akhirnya, keduanya memutuskan untuk pergi ke Brebes. Tempat di mana orang tua Diana tinggal. Rencananya, Ryan akan menginap di sana selama beberapa hari dan membiarkan istrinya tinggal di sana—sampai pikiran istrinya itu benar-benar tenang bersama orang tuanya. Ryan memaklumi perselisihan ini akan terjadi karena mertua dan menantu akan ada fase seperti ini pada awal-awal pernikahan karena mereka masih dalam tahap penyesuaian.

“Nanti kalau kamu udah merasa baik, pasti aku jemput,” ujar Ryan pada saat mereka sudah dalam perjalanan. Sembari memikirkan bagaimana rencana mereka nanti ke depannya.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini ada orang yang mau jual rumah atau tanah kosong di dekat rumah Ibu. Jadi, Ibu nggak punya alasan lagi untuk melarang kita pindah.”

“Semoga saja, Mas,” balas Diana.

Ryan kembali memastikan, “Tapi untuk sementara waktu, kamu masih mau sabar, kan?”

Diana mengangguki ucapan suaminya meskipun ia tak terlalu yakin dengan dirinya sendiri. Namun Diana berharap, ia bisa melewati ujian pernikahannya yang Tuhan kirimkan melalui ibu mertuanya.

∆∆∆

Dua hari berlalu semenjak mereka berangkat dari Jakarta. Sepasang suami istri itu, Diana dan Ryan sangat menikmati keindahan dan udara segar alam Brebes sambil berbulan madu. Namun pagi ini, Ryan sudah harus kembali ke kota karena dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama.

“Yah, pasti nanti aku kangen ...” keluh Diana pada sang suami yang sudah masuk ke dalam kendaraannya.

“Tapi di ajak nggak mau.”

Diana cemberut. “Kan masih kangen sama Ambu juga.”

“Jangan lama-lama di rumah, ya. Kabarin secepatnya kalau kamu mau balik ke rumah Ibu lagi.” Ryan mengusap-usap pucuk kepala sang istri.

Diana tersenyum dan mengangguk. Dia pun melambaikan tangan pada saat mobil suaminya mulai menjauh.

Perempuan itu pun kembali ke dalam rumahnya. Dia segera masuk ke dalam kamar mandi untuk melihat benda yang tadi sempat dia tinggal. Diana tidak bisa menunggu terlalu lama karena pada saat itu, sang suami terus memanggilnya saat tengah membutuhkan sesuatu.

Ya, alat itu adalah tes kehamilan yang sudah perempuan itu timpakan beberapa tetes urin nya. Dan hasilnya, ternyata Diana hamil. Garis dua terang menghiasi alatnya. Sayang, Ryan tak sempat mengetahui kabar bahagia ini karena pria itu sudah keburu pergi.

Awalnya Diana tidak yakin dengan hasil tersebut karena bisa jadi tes menunjukkan positif palsu. Tetapi jika di cocokkan dengan gejala yang dialaminya, mulai dari tidak enak badan, perut kram dan sensitif terhadap bau, sepertinya tak salah lagi.

Tubuh Diana gemetar mencium lantai. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Kuasa atas nikmat yang diberikan padanya. Akhirnya dia dipercaya oleh Tuhan mengandung anak pertamanya dengan sang suami, yang kebetulan juga sedang sangat mengharapkan kehadiran buah cinta mereka.

Namun, masih ada ganjalan dalam hati Diana mengenai kehamilannya itu. Mertuanya tak Sudi mempunyai keturunan dari rahimnya. Bagaimana nasib anaknya kelak? Apa perlu dia menyembunyikan kehamilan ini sampai tiba anaknya lahir? Diana takut wanita tua itu melakukan sesuatu yang membahayakan nyawa mereka berdua.

Diana berpikir keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!