Jantung Moura berdegup kencang saat mendengar penuturan bosnya barusan. ‘Seriously? Ketahuan sekarang juga?!’
Moura sempat ketakutan atas tindakan gegabahnya itu. Namun, dia ingat, dia juga adalah korban pertama dari kejahilan Margareth.
“Aku tidak sedang membuat ulah, aku jelas tidak berani,” ucap Moura sendu. “Aku hanya tengah membela diriku sendiri… Bukankah keadilan milik setiap orang?”
Noegha tertegun sejenak atas penjelas karyawan barunya yang tak gentar akan gertakannya barusan. “Keadilan mana yang kamu maksudkan?” cibir Noegha seolah mengolok Moura saat ini. “Kamu ini karyawan baru, masa kamu begitu senang mencari musuh dibanding mencari sekutu?”
Moura mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum sinis. “Aku memang karyawan baru… Lantas— apa pantas mereka seenaknya pada karyawan baru? Apa ini memang kebijakan perusahaan yang selalu membela seniornya?”
Untuk pertama kalinya Noegha merasa terintimidasi oleh orang luar. Dia bisa melihat kejujuran di dua manik Moura yang indah. Rasanya sungguh sulit untuk mengungkapkan kebenaran alasan pria itu mencerca Moura atas kasusnya. Noegha hanya ingin mengetahui kebenaran dari sisi korban dan menolongnya. Naasnya, Noegha terlalu gengsi untuk menunjukan betapa peduli dirinya pada Moura.
“Asal Bapak tahu, senior yang anda bela bernama Margareth itu, dia dengan berani mencampur kopiku dengan obat pencahar. Aku dinyatakan diare semalam, aku harus menanggung malu di depan vendor karena aku juga rapat kami terhenti dan tidak berjalan semestinya. Apa yang akan Bapak lakukan jika anda diposisi saya?”
Deg!
Noegha benar-benar terkejut akan kebenaran yang baru saja diucapkan Moura dengan lantang tak gentar menyuarakan kebenarannya. “A-apa?”
“Kamu diracun?” tanya Noegha kembali memastikan, dia mendadak gelisah dan khawatir akan keadaan Moura saat ini.
“Heh—” Moura terkekeh mengejek respon Noegha yang terlambat. “Anda tenang saja, saya sudah baik-baik saja… Jika saya diam, siapa tahu dia akan kembali menyerangku dengan hal lain.” Moura kembali mengungkapkan pemikirannya. “Sebelum itu terjadi, aku harus menghentikannya. Walau bagaimanapun, yang lemah akan selalu ditindas oleh orang yang sok berkuasa… Aku—” Moura menghentikan kalimatnya, dia mengeratkan kepalan tangan di bawah tumpuan kakinya.
“Jika bukan aku sendiri yang melawan, apa mungkin ada orang lain yang sukarela peduli membelaku?” Moura mendongak menatap tajam ke arah Noegha yang mendadak mematung di tempatnya.
“Sorry—” ucap Noegha tulus di depan Moura.
“Anda tidak perlu meminta maaf atas namanya—”
“Aku tidak pernah mau meminta maaf atas siapapun!” hardik Noegha cepat. “Aku meminta maaf karena— perusahaan tidak becus menangani orang-orang seperti Margareth!”
Moura terpaku, entah apa maksud dari ucapan bosnya itu. Hanya saja, semua kalimat tulus itu cukup menggetarkan hati Moura.
“Terima kasih, aku tahu konsekuensi apa yang akan aku terima dengan keributan yang aku buat. Aku siap menerima hukuman…”
Noegha tersenyum, dia merasa bangga pada wanita berkelas seperti Moura. Gadis itu mempertahankan harga dirinya sendiri, wanita itu juga tidak lupa konsekuensi atas perbuatannya. Moura sendiri terlihat mengabaikan perhatian Noegha. Dalam benaknya, gadis itu tengah sibuk bermonolog merutuki sikap gegabah dan terburu-burunya.
‘Haduuuh, belum juga sebulan datang kemari… Belum gajian, belum balik modal, malah potensi dikeluarkan, Ya Tuhaaan… Nasib badan, huhu…’
“Untuk hukuman— kita akan bahas nanti, kebetulan sekretarisku sudah sewot di depan, ada pertemuan mendadak yang harus segera ditangani.” Noegha kembali berkata membuyarkan imajinasi Moura akan hari sialnya. “Oleh karena itu, sore nanti— kamu pulang denganku, kita akan bicarakan—”
“T-tapi—”
“Tidak ada tapi, Moura!!”
Moura menghardik ucapan Noegha yang seenak jidat memberikan keputusan sepihak. Hal itu jelas membuat Noegha berang dan kembali meneriaki wanita di depannya.
“Jika kamu masih bersikukuh keras kepala seperti itu, aku pastikan kamu akan menyesal. Aku tidak segan memecatmu dengan memberikan sejumlah penalti yang harus kamu bayar pada perusahaan atas kerugian yang kamu lakukan pada perusahaan!”
Moura menganga atas ancaman bosnya, Noegha tersenyum miring atas respon gadis itu. “Sekarang, kembali lah ke meja kerjamu…” Noegha meninggalkan Moura di ruangan dengan tersenyum lebar.
Moura sendiri masih terpaku tidak percaya atas apa yang terjadi padanya kali ini. Dengan lemas dan tidak bersemangat wanita itu berjalan gontai kembali ke ruangannya. Sepanjang perjalanan, Moura terus memikirkan kalimat yang dilontarkan Bosnya. ‘Sejumlah penalti? Gila— pria itu tampang doang ganteng otaknya gak bener!!’
Moura kembali meringis pilu, dia tidak mungkin berani untuk keluar dari perusahaan. Keluarga besarnya akan semakin gencar mengolok dirinya. ‘Huh, semangat Moura! Semakin tinggi sebuah pohon, maka anginnya akan semakin kencang!’
Moura sudah berada di ruangannya, seperti biasa, Keysha begitu penasaran dan mengajaknya berbincang. Waktu bergulir dengan cepat, Moura menatap jam di tangannya. Dia mendadak gelisah, entah apa yang akan dilakukan oleh bosnya itu. ‘Aku harus menelepon pihak daycare lagi… Semoga Qilla gak rewel… Maafin Mama ya, Nak! Semua demi kamu—’
Entah seperti sebuah keberuntungan, Moura menemukan tempat penitipan anak yang tak jauh dari tempat yang disewanya. Hal itu lah yang membuat dia tenang dan merasa aman untuk terus meminta extra tambahan waktu. Lagi pula, Moura baru mengetahui dari tetangga lainnya, bahwa pemilik penitipan merupakan pasangan yang belum dikarunia momongan. Maka dari itu menurut mitos, demi memancing keduanya di karunia anak mereka berlatih menjadi pengasuh anak-anak bagi yang orang tuanya harus bekerja seperti Moura ini.
“Yuk, Ra… Kok malah bengong?!” ajak Keysha mendekati kursi Moura. “Mau bareng gak?” tawarnya lagi seperti biasanya.
“Eh— ehm, enggak deh… Kamu duluan aja, ini ada kerjaan sedikit… Abis itu baru aku balik!” tolak Moura halus berharap Keysha tidak mencurigainya.
“Owh, oke deh… Be careful!”
Moura melengkungkan senyuman, dia juga beruntung memiliki rekan kerja yang bersahabat seperti Keysha. Walau baru mengenal, namun, rasanya sudah saling mengenal lama. Moura kembali menghela nafas berat, seluruh orang sudah meninggalkan ruangan sisa dirinya yang tidak tahu harus melakukan apa.
Ceklek!
Moura begitu awas akan pendengarannya, dengan sigap ia menoleh pada pintu masuk. Pria yang begitu tampan dan muda melengkungkan senyuman menyambutnya. “Yuk!”
Moura jelas begitu terpana, dia menatap bosnya dengan berusaha tidak berkedip, wanita mandiri itu juga terlihat menelan ludahnya dengan susah payah. Noegha semakin senang dibuatnya, dia berjalan mendekati ke arah dimana Moura masih duduk terpaku disana. “Apa kamu lebih suka aku menjemputmu langsung seperti ini, Nona?”
Deg!
“Ehm—” Moura salah tingkah dibuatnya, dia tersadar dan segera membereskan barang bawaannya. “M-maaf, Pak… Barusan aku pikir ada artis yang masuk, jadi—”
“Pppfftt!” Noegha menahan diri untuk tidak tertawa lepas. “Kamu tuh pandai melucu ya?”
Moura tersipu dengan pujian atasannya. “Terima kasih atas pujiannya…”
Noegha menunduk, dia berbisik lirih di cuping telinga Moura. “Aku suka wangi vanillamu, kita akan berkeliling untuk melanjutkan perbincangan kita…”
Rasanya jantung Moura seperti lepas dari tempatnya. Dia sendiri bisa menghirup aroma harum wangi tubuh dan parfum tuannya. Tidak hanya itu, helaan nafas Noegha sendiri bisa dirasakan Moura di samping tubuhnya yang kini mendadak bergetar karenanya.
Noegha menahan dirinya untuk bertingkah sesukanya, dia sadar mereka sedang berada dimana saat ini. Dengan cepat Noegha kembali bangkit dan berjalan meninggalkan ruangan diikuti Moura yang mengekor tepat di belakang tubuh Noegha.
Noegha melebarkan senyuman, dia mengarahkan langkah kakinya menuju mobil kesayangannya di parkiran. Melihat Range Rover mewah bosnya membuat jiwa Missqueen Moura bergetar karenanya. Ini pertama kalinya dia menaiki mobil mewah berjenis ini.
"Kamu tinggal dimana?" tanya Noegha mencairkan suasana.
“Eh– ehm, di Plamo…” sahut Moura lirih.
“Owh, sewa?”
“Ya—”
“Gak begitu jauh dengan rumahku, aku di Bukit Sukajadi… Jadi— mungkin kita bisa berangkat dan pulang barengan…”
Moura menoleh cepat dengan memperjelas bola mata dan indera pendengarannya. Noegha terkekeh dibuatnya. Semenjak kehadiran Moura di kantornya, Noegha kembali bergairah akan hidupnya yang sempat dilanda kebosanan luas biasa.
Noegha hanya tahu bekerja dan bekerja demi mengembangkan bisnis yang dibangunnya. Bukan dia tidak tahu bersenang-senang, wanita cantik di luaran yang dengan mudahnya mencoba mendekati Noegha tak terhitung banyaknya. Tidak ada satupun yang membuatnya tertarik, sampai ia melihat Moura di kantornya. Dia merasa gairah hidupnya berkobar, dia begitu bersemangat untuk mengejar Moura. Noegha merasa, Moura memiliki daya tarik luar biasa yang tidak bisa diungkapkan oleh kata.
Di sisi lain, Moura membuang wajahnya. Dia semakin berpikir yang bukan-bukan pada atasannya. Selain Moura tidak tahu akan dibawa kemana saat ini. Dia sendiri tidak tahu jalan, sejauh ini, ini yang paling jauh! Sejauh mata memandang hanya ada beberapa pohon dengan jalan yang lebar, namun, tidak begitu padat oleh kendaraan. Hal ini yang disukai Moura dari Batam, di sini dia tidak akan kesal dengan kemacetan, karena hampir tidak terjadi jika bukan karena persimpangan jalan atau terhenti karena traffic light.
Semakin lama mobil yang di kendarai semakin masuk ke dalam entah berantah, meremang seketika tengkuk leher Moura. "Maaf Pak kita mau kemana?” tanya Moura memecah kesunyian. “Rasanya tidak sampai-sampai…"
Noegha menoleh cepat dengan senyuman tampannya. “Dinner…”
Moura sontak membuka mulutnya lebar, syok dengan kegilaan pria di depannya yang justru adalah Presdir di kantornya.
“Haha… Kenapa memangnya?”
“Enggak, kenapa harus pergi jauh sih?”
“Kamu takut?”
Moura terdiam sesaat dengan pertanyaan singkat Noegha, jelas dia takut. “Wanita mana yang tidak takut berduaan dengan pria yang bukan mahramnya, biasanya yang ketiga setan!” celetuk Moura kemana-mana.
“Hahaha!” Noegha tertawa setelah mendengar jawaban Moura yang apa adanya. “Kamu tuh ya!”
Moura membuang wajahnya, entah kenapa, dia merasa Noegha mungkin tidak akan berbuat yang tidak-tidak padanya. “Aku boleh meminta untuk pulang sebelum Isya?”
Moura kembali membuat penawaran di depan Bosnya.
“Kamu takut aku culik?” canda Noegha.
“Heh—” Moura terkekeh lirih. “Aku yakin, anda akan menyesal menculikku, makanku banyak!”
“Hahaha!”
Keadaan menghangat sampai tak terasa keduanya sudah berada di tempat yang Noegha pilih. Moura menghela nafas lega, akhirnya keduanya sudah ada di tujuan.
“Makan aja harus sejauh ini,” keluhnya Moura terdengar oleh pria disampingnya.
‘Tentu saja aku sengaja!’ Noegha menaikan sudut bibirnya. “Kamu gak suka ya? Padahal, dinner itu harus di tempat yang memiliki kesan… Aku jamin, kamu pasti suka!”
Moura terdiam, rasanya ada yang aneh dengan atasannya ini. Pria itu tidak sedingin yang kebanyakan Moura dengar akan rumor buruknya.
Mereka berdua akhirnya keluar mobil dan berjalan memasuki sebuah resort. Moura terbelalak dengan menutup mulut saat takjub akan pemandangan indah di depan matanya. “Masya Allaaah…” pekiknya lirih.
Noegha melebarkan senyuman, dia tentu tahu apa yang diinginkan oleh seorang wanita. Ini bukan pertama kalinya Noegha menjamu seorang wanita.
“See— kamu menyukainya bukan, Moura?” bisik Noegha di belakang tubuh wanita yang jadi incarannya. Ingin rasanya pria itu memeluk tubuh Moura saat ini juga.
Moura menoleh, jarak mereka benar-benar sedekat itu. Hembusan nafas memburu keduanya terasa begitu nyata membuat degup jantung mereka semakin berpacu dengan cepatnya. Noegha mengembangkan senyuman, perlahan namun pasti, dia menyentuh wajah Moura dan membelainya lembut. “Kamu sangat cantik, Moura… Membuat keindahan pemandangan malam ini semakin terasa sempurna.”
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments