Keesokan harinya…
‘Ada apa sih? Gue salah kostum gitu?’
Pagi ini Moura seperti biasa kembali bekerja setelah menitipkan putrinya di salah satu daycare yang tak jauh dari tempat ia menyewa rumah. Sesampainya di lobby kantor Moura merasa sedikit aneh hari ini. Banyak pasang mata yang meliriknya dengan tatapan ketidaksukaan mereka padanya.
Moura akhirnya melipir mampir ke salah satu toilet gedung, dia memperhatikan pantulan dirinya di cermin toilet saat ini. Rasanya dia memakai pakaian biasa saja, setelan kemeja dan celana dasarnya yang dipadu dengan blazer yang mempermanis tampilannya. Moura tidak menemukan yang aneh, ia memasuki salah satu toilet untuk menuntaskan hajatnya segera.
Braaak!
Suara pintu toilet terbanting keras membentur dinding belakangnya.
“Dasar ja-lang!” pekiknya tiba-tiba. “Dia harus diberi pelajaran!” sambungnya terdengar kesal.
“Bener tuh, Reth!” timpal rekannya. “Padahal masih jadi anak kemaren sore, tapi– masa tiap sore dikunjungi terus sama Pak Noegha ke ruangannya!”
Margareth dan salah satu temannya memasuki area kamar mandi dengan menggosipkan seseorang yang tidak mereka ketahui bahwa orangnya berada di tempat yang sama. Moura tertawa dalam hatinya, nasib baik dia bisa mendengar sendiri rumor buruk dirinya yang sudah menyebar di dalam kantornya selama ini!
“Gedek banget pengen jambak rambut sok indahnya itu!” tutur Margareth berapi kembali menumpahkan kekesalannya. “Kemaren gue liat dia sengaja bikin ulah cium Pak Noegha!”
Moura membuka mulutnya lebar-lebar, dia yakin cicak juga bisa saja dikunyah olehnya saat ini. ‘Berarti dia cewek sore kemarin!’
Sayup Moura mendengar pintu kembali tertutup dan suasana hening membuat Moura merasa tenang. Gadis itu keluar dengan perasaan yang berkecamuk hebat, sebelum-sebelumnya Keysha memperlihatkan di forum kantor yang banyak mencatut namanya. Gadis itu menelan ludah mengambil pernafasan yang dalam. “Huh— kamu bisa Moura… Ingat, mereka bukan orang yang biayain seluruh tagihan hidup lo dan anak lo!”
Moura keluar kamar mandi dengan wajah datar seolah tidak terjadi apapun. Sesampainya di meja kerja, Moura mendapati Pak Khairul memanggil namanya. Dia berusaha tenang, dan kembali bangkit mendekat.
“Hari ini ada rapat dadakan, kamu siapin minum sama yang dibutuhkan selama rapat!” titah pak Khairul disambut anggukan mengerti.
Moura menuju ruangan pantry, dia menginstruksikan OB untuk menyiapkan apa saja yang harus di hidang di meja ruang rapatnya.
“Siapa yang meeting?” tanya Margareth pada si OB.
“Oh, itu Mba Moura dari team Proyek!”
“Owh…” Margareth tersenyum sinis, saat OB lengah dia mengambil kesempatannya.
Rapat sudah dimulai, semua berjalan sebagaimana mestinya. Namun, mendadak Moura merasa perutnya tidak bersahabat kali ini. ‘Aduh— tumben banget mules jam kerja begini!’
Dengan terpaksa tanpa bisa lagi Moura tahan, dia meminta izin keluar ruangan menuju toilet yang tak jauh dari sana. Tidak hanya sekali Moura izin, dia bahkan beberapa kali keluar masuk ruangan membuat semua orang merasa tidak fokus atas ulahnya.
“Kamu kenapa, Moura? Sakit?” tanya Pak Khairul mulai khawatir saat melihat wajah asistennya pucat pasi dengan keringat yang menghiasi wajah cantiknya.
“A-aku— gak tau… Perasaan tadi baik-baik aja, tapi—” Moura berusaha menjelaskan keadaannya.
“Kamu abis makan apa emangnya?”
Moura mengernyit, dia kembali mengingat apa saja yang masuk ke dalam mulutnya. “Aku cuma minum—”
Moura menatap cangkir kopi miliknya yang masih tersisa setengahnya. Perasaannya seolah menjadi firasat yang menunjukkan jawaban padanya. Akhirnya, Pak Khairul sendiri yang menyuruh Moura pulang dan beristirahat.
“Aku yakin ada yang mengerjaiku, sebelumnya aku sangat sehat!”
Moura dinyatakan diare oleh tim medis, dia mengantongi beberapa obat. Sesampainya di rumah Moura menyambar laptop miliknya, dia mengotak-atik benda itu dan memasuki salah satu server kamera pengawas yang berada di perusahaan dimana ia bekerja. Moura tidak percaya apa yang sudah ia lihat. Dia sendiri tidak mendendam, namun, jika dia diam maka wanita jahat itu akan semakin menjadi mempermainkan dia kedepannya.
“Kamu harus sedikit diberi pelajaran, kamu pikir kamu bisa seenaknya begini padaku?”
***
Keesokan harinya…
“Margareth!”
Sepagi buta ini, seorang wanita paruh baya tengah meneriaki nama seseorang di depan gedung Adhiaksa Utama.
“Keluar kau, Margareth!” pekik si wanita kembali melengking menarik atensi beberapa orang yang langsung mengerumuninya.
“Siapa kamu?” tanya Margareth balik dengan tatapan angkuh dan keheranannya.
Kebetulan yang seolah tengah terencana, gadis yang diteriaki namanya baru saja sampai di pelataran parkir. Gadis centil itu merasa heran atas keributan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Kau ja-lang!”
Plaaak!
Tidak hanya kata kasar yang wanita aneh itu suguhkan, melainkan sebuah tamparan cukup keras ikut membuat semakin menarik penampilan mereka saat ini. Margareth terhenyak, matanya membulat saat tamparan itu mendarat di wajah yang sudah dipoles dengan make up mahalnya.
“Kau yang ja-lang!” Tanpa perlu lama Margareth membalas dan menjambak rambut si wanita asing yang memuat huru-hara.
“Aku tidak mengenalmu... Apa urusanmu membuat onar disini hah?!”
Margareth kembali mencerca tidak mau kalah, mengapa ada orang yang begitu berani menampar dirinya yang cantik luar biasa itu.
“Pelakor mana yang mau ngaku!” umpat si wanita angkuh. “Aku cuma heran, dari dua juta jiwa pria di dunia, kenapa kamu pilih suamiku untuk kau goda, wanita ja-hanam!” Wanita itu kembali melontarkan kalimat tak kalah sadis membuat bulu kuduk Margareth bergidik ngeri.
“Cuiihh!”
Wanita tanpa identitas itu meludah jijik di depan wajah Margareth. Semua orang sontak merasa seolah tengah berdebar tidak karuan. Apalagi Margareth!
“Denger ya wanita gila!” Margareth menunjuk muka wanita paruh baya itu dengan wajah kesalnya. “Aku tidak kenal kamu, aku bahkan tidak tahu suamimu!” sambungnya menggebu. "Aku selebgram dengan dua puluh juta follower tidak mungkin melakukan hal hina itu!!" Dengan sombong Margareth juga mengibas rambutnya. "Sungguh kurang kerjaan, anda kalo mau fitnah liat-liat dulu napa, mana buktinya aku merebut suamimu?!”
Plaaak!
Si wanita asing itu ternyata sudah mempersiapkan dengan matang, dia merogoh tasnya dan melempar beberapa foto tepat di depan wajah Margareth tepat saat gadis itu meminta bukti. Setiap foto berterbangan, sebagian berhamburan tertiup angin membuat orang lain bisa melihat dengan jelas penampakan dalam foto tersebut. Semua tampak memekik tidak percaya setelahnya!
“Wow!!” pekik salah satu rekan kerja yang sangat senang nimbrung tiap ada keributan.
“Gilaaa, Margareth! Babon aja lu embat!” umpat salah satu karyawan lainnya sarkas menghina Margareth.
“Idih-idiiih… Tapi— walau Babon, kalau bisa beliin Tas Syeneeel ya—” Seorang wanita ikut serta membully si ratu bullying. Mereka menatap jijik ke arah Margareth yang mengernyit kebingungan.
Riuh semua orang mengolok-olok Margareth, foto-foto itu begitu jelas memperlihatkan seorang wanita dengan wajah yang sangat mirip dengannya tengah berada di sebuah bar dengan pria paruh baya yang buruk rupa dan juga beberapa foto memperlihatkan tindakan asusilanya. Wajah Margareth terlihat merah padam, dia merusak salah satu foto di tangannya.
“Ini fitnah!!” maki Margareth mencoba mendekati si wanita dan bersiap merobek wajahnya.
“Aku tidak kenal dengan pria jelek ini! Kamu pasti sengaja menjebakku, kan? Brengsek!!” Margareth berancang-ancang bersiap melakukan smack down di tempat untuk menjatuhkan wanita paruh baya yang sudah mencoreng nama baiknya.
“Kau tengok muka murah kau itu!” cibir si perempuan gila. “Apa kau pikir aku mau mempertaruhkan harga diriku demi memfitnahmu?”
“Hey Keong Ratjuuun!” Dengan sigap si wanita yang memang berpostur lebih tinggi dan sintal, mencekal tangan Margareth dan langsung mencekik wanita itu tanpa dosa. “Dasar pelakor hina, ja-lang!!”
Bruuuk!
Tanpa belas kasih wanita itu bertingkah kasar, dia menghempas tubuh Margareth hingga tersungkur di atas aspal jalanan.
Si wanita menepuk tangannya, dia kembali menunduk mengapit wajah Margareth yang sayu. “Pergi sana, ambil suami tak bergunaku itu! Kalian memang serasi, ja-hanam!!”
Si wanita menghempas wajah Margareth, dia kembali membuang ludah di hadapan wajah Margareth yang memucat. “Cuuiih!”
“Hari ini aku anggap sebagai ganti rasa sakit hati yang kalian toreh selama ini.”
Dengan tatapan tajam menghunus jantung Margareth, wanita asing itu menekankan kalimatnya dan menutup sesi keributan yang dimulainya dengan berjalan berbalik meninggalkan Margaret dengan seringai kepuasannya.
Semua orang dibuat tidak berkedip oleh Margareth dan kasusnya. Mereka bubar saat pihak keamanan menyadari keributan dan memaksa semua untuk membubarkan diri mereka dan tidak lagi merusak pemandangan pagi hari yang cerah ini.
“Dih kalo gue jadi Margareth malu banget!!” celetuk salah satu staf mengejek ke arah Margareth.
“Gue sih mening bunuh diri hahahaha!!” timpal rekan lainnya.
Di balik pilar, Moura tersenyum lebar dengan bersedekap tangan penuh kepuasan. “Aku tidak perlu mengotori tanganku untuk memukulmu, bi-tch!” gumam Moura menatap ke arah Margareth yang sibuk membersihkan dirinya dari debu jalan.
“Ini pasti jebakan, aku yakin ada orang yang sangat berani membuat aku malu seperti ini!” lirih Margareth. “Jika aku tahu siapa kamu, aku akan mengembalikannya 1000x lipat rasa malu yang aku terima saat ini!”
Gadis itu kembali terpaku di tempatnya saat sosok wanita yang dibencinya mendekatinya.
“Bagaimana rasanya dipermalukan di depan umum, hm?” bisik Moura tepat di samping telinga Margareth.
“Jadi ini ulahmu, bang-sat!” Dengan cepat Margareth menoleh bersiap menampar Moura.
Namun, dia kalah cepat, Moura mencekal balik tangan Margareth dengan keras.
“Aaarrkk! Sakiiit!”
“Dengar ya Margareth, aku tidak merasa pernah menyinggung atau mengusik kehidupanmu!” ujar Moura jelas dengan tatapan tajam dan aura dinginnya. “Mengapa kamu sangat senang mengurusi hidupku, hah?”
“Gak sekalian kamu urusi tagihanku?” Moura terus menekan pergelangan tangan musuhnya.
“Aaaarghh!” Margareth kembali mengaduh merasakan tulangnya seperti bergeser dari tempatnya.
“Kamu salah sudah berurusan denganku!” Dengan kasar Moura menghempas tangan Margareth sampai gadis itu kembali tersungkur di bawah kakinya.
“Ingat Margareth, di atas langit masih ada Hotman Paris!” ancam Moura percaya diri. “Jadi ga usah belagu, di kira cuma kamu aja yang bisa seenaknya menyebar rumor orang bahkan dengan sengaja membuat orang sakit karena obat pencahar itu. Semua sungguh kelewat batas!” Moura menunduk kembali terdengar seolah tengah mengancam.
Margareth terbelalak dengan perkataan Moura barusan, seingatnya— tidak ada yang mengetahui dirinya menaburkan bubuk pencahar di dalam cangkir kopi milik Moura. Margareth menatap nanar kepergian staf baru yang membuatnya malu seperti ini. “Tunggu saja pembalasanku, Moura!”
Di sisi lain, Noegha melebarkan senyumannya. Semua adegan demi adegan terekam jelas dalam ingatan Presdir Adhiaksa Group.
“Wanita gila mana, yang baru aja masuk kantor langsung berurusan sama Margareth si Ratu Bully? Ckck… Seleramu bukan main, Brow!” puji asisten Noegha menepuk bahu atasan sekaligus temannya.
Noegha mengulumkan senyumnya kemudian tertawa lirih. “Aku ingin memeriksa kamera pengawas semalam dan pagi tadi. Aku yakin, ada hal yang terlewat, dia tidak mungkin seberani itu!”
“Cie, belain Ayang~”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments