Dari kejauhan didepan rumah sudah banyak orang yang terlihat sepertj seorang preman bahkan ada juga hang berjas hitam.
Javir menghentikan laju mobilnya, memastikan jika itu anak buah Ayah Alaric, barulah mereka kekuar dari dalam mobil.
Sebelum maauk kedalam rumah, Javir menarik lengan Gea, hingga Gea menghadap kearahnya.
"Langsung masuk kamar, jangan keluar sebelum gue minta loe keluar" perintah Javir.
"Emangnya kenapa?" Tanya Gea penasaran.
"Kondisinya lagi gak memungkinkan, kalau ada apa-apa loe langsung ngumpet dibawah kasur."
"Emangnya akan ada apa?"
Javir berdecak kesal, memasukkan kedua tangannya kesaku celana menatap Gea garang. "Bisa gak loe diem jangan banya omong, kalau situasinya udah nenang baru loe bawel."
"Apaan sih" gerutu Gea kesal.
Gea masuk kedalam rumah, baru saja melangkahkan kaki masuk kedalam rumah, Enzo sudah memintanya untuk menggantikan Aslan dan Ema untuk menjaga wanita didalam kamar.
Karena sudah ada peringatan dari Javir, Gea langsung tampa pikir panjang berlari kecil masuk kedalam kamar.
Mata Gea menatap perempuan didepannya dengan tatapan penasaran yang tak terbendung.
Meski bahunya dibebeat dengan kalin kasa, Gea dapat melihat tato yang tidak semuanya tertutup.
Tiba-tiba langkah Gea terhenti kala melihat sesuatu di dalam laci nakas yang tidak tertutup rapat, Gea membuka laci itu dan tertegun melihatnya.
Foto hitam putih, dengan tanggal di bawah dan love kecil di samping.
Jika Gea tidak salah ingat itu foto pada saat delapan tahun lalu dia ke rumah ini, dan pada malam hari Javir mabuk memeluknya didekat tangga.
Gea hendak kembali meletakkan foto itu tetapi mengurungkan niatnya saat matanya melihat tulisan dibelakangnya.
"Terakhir aku memeluknya"
Dengan jam, hari, tanggal, bulan dan tahun.
Dada Gea berdegup kencang, antara sesak dan sesuatu yang membuatnya kesal bukan main.
Teringat kembali saat Javir memeluknya dukh dan mengatakan jika dia merindukannya, menunggu Gea menghubunginya.
Tidak ... Gea tidak akan lagi jatuh pada ucapan manis Javir, pada sosok kebaikan Javir, dia bukan Gea yang naif seperti dulu yang begitu mudah mencintai seorang Javir Erlangga.
Bukan kembali meletakkan foto itu di dalam laci, Gea malah memasukkannya kedalam tas tangan yang dia kenakan sebelum berjalan duduk di sofa pinggir jendela.
Gea baru tersadar jika dia berada di kamar Javir, 'mungkin saja Javir meletakkan foto itu delapan tahun lalu hanya sekedar merasa menyesal atas apa yang dia lakukan' kalimat itu terlintas dalam benak Gea.
Ya ... sejak kuliah Javir adalah seorang ladykiller dengan sepak terjang yang jangan ditanyakan lagi.
"Hanya masa lalu bukan, jadi biarkan aku yang menyimpannya" ucap Gea berbicara sendiri sambil menpuk tasnya dan menatap keluar jendela.
Di ambang pintu, Javir membawa sebotol air dan gelas dikedua tangannha sedang menatap Gea yang tersenyum kecut menatap keluar Jendala.
Javir melihat saat Gea memasukkan foto itu kedalam tasnya, kepala Javir menunduk sebelum melangkah masuk dan menutup pinti rapat.
Gea masih belum menoleh kepadanya, dia masih termenung menatap keluar.
"Em ... loe gak tidur?" Tanya Javir ragu.
"Ya" jawab Gea singkat.
"Gak papa kan kalau loe tidur disini sama dia?" Tanya Javir menunjuk wanita yang tertidur diatas kasurnya. "Wanita itu hampir ditabrak Ar, dan asal usulnya membuat semua gempar. Dia disini karena kamar dilantai satu hanya punya gue dan Alaric, sedangkan kamar Alaric dipakai Daddy Enzo" Javir menjelaskannya agar Gea tidak salah paham.
Mesku Javir menjelaskannya panjang lebar Gea tidak akan mendengarkannya sehingga dia memilih pasrah saja.
"Kalau loe gak nyaman, mau gue siapin kamar yang lain?" Tawar Javir.
"Gak papa disini aja"
Javir merasa lega, akhirnya Gea merespon juga perkataannya.
"Dengan dia?"
Kepala Gea menoleh pada Javir, menatap Javir dengan tatapan tajam. "Ya ... apa loe juga mau tidur dengan kita?."
"Eng ... enggak gitu" ucap Javir salah tingkah, "gue takut loe gak nyaman aja."
"Gue malah merasa gak nyaman kalau ada loe."
Deg ...
Javir terdiam seketika.
Mata mereka bertautan.
Rahang Javir mengetat menahan diri agar tidak terpancing emosi.
Kepribadian Gea yang sekarang blak-blakan dan berbeda dengan sosok Gea sembilan tahun lalu sudah Javir ketahui.
Tetapi mengatakan secara langsung jika dia merasa hidak nyaman jika ada Javir membuat Javri tersinggung.
"Oh ... ok" ucap Javir mencoba sambil tersenyum.
Berjalan meletakkan sebotol air dan gelas dinakas, membuka lemari, mengeluarkan selimut dan dua guling lalu meletakkannya di kasur.
Setelah melakukan itu Javir keluar dari kamar begitu saja tampa mengatakan apapun lagi pada Gea.
Gea menatap botol air, selimut dan guling itu lalu tertawa kecil dengan tatapan kosongnya.
Javir masih mengingat kebiasaan yang pernah Gea katakan saat dia tidur.
Harus ada air di nakas, tidak bisa tidur tampa selimut dan guling dikanan dan kiri tubuhnya.
"Masa lalu yang menyedihkan" ucap Gea.
^-^
Javir tertidur disofa dengan leptop di dadanya, dia baru saja tertidur setelah memback up semua yang harus dia selesaikan.
Gea berjalan perlahan menghampirinya, menatap Javir dalam diam beberapa menit sebelum mengulurkan tangan untuk mengambil leptot yang ada diatas dada Javir.
Sebelum mengangkatnya dari perut Javir, tiba-tiba tangan Javir bergerak mencengkram tangan Gea.
"Leptopnya takut jatuh" ucap Gea lirih.
Javir langsung membuka mata, mata mereka kembali bertautan denga jarak wajah dua sampai tiga jengkat.
Saat perlahan Gea menjauhkan wajannya, Javir beringsut duduk, mengambil leptopnya dari tangan Gea dan meletakkannya dia meja.
Tanga kiri Javir memijat keningnya yang mulai berdenyut.
"Maaf gangu tidur loe" ucap Gea.
Kepala Javir mengangguk pelan, "it's ok."
"Kurang tidurnya?."
"Hem"
"Jangan memaksakan diri "
"Ya"
"Memangnya tidur jam berapa tadi"
"Jam empat."
Gea terdiam sejenak, "As sama Ar mana?."
"Diatas"
Gea menghela nafas berdiri menghadap Javir yang masih menundukkan kepalanya. "Kenapa sih jawabnya singkat-singkat?" Tanya Gea kali ini terdengan dingin.
Tangan Javir berhenti memijat keningnya, bersandar pada sandaran kursi dan menatap Gea dengan wajah tenangnya. "Bukannya loe yang mulai dari dulu ngomon sama gue seperlunya?" Ucap Javir.
Gea langsung membuang muka tampak kesal.
Sial ... mengapa bisa lupa?
Tangan Javir terulur menggenggam tangan Gea lembut. "Pulang ya .... gue anter sampai bandara" ucap Javir lirih.
Gea kembali menoleh menatap Javir, "kenapa harus pulang?."
"Karena keadaan sangat genting."
"Gue pulang sendiri dan yang lain masih disini?."
"Ya" jawab Javir, "gue gak mau loe kenapa-napa. Ayah, Papa dan Om Sam bentar lagi sampai, mereka pasti akan meminta loe bersembunyi atau pulang lebih dulu."
"Gue gak mau"
"Gea please" ucap Javir, berdiri menatap Gea dengan tatapan memohon, "kita lagi ditengah-tengah tiga kelompok mafia besar, to ..."
"Enggak!" Potong Gea tegas, menarik tangannya dari genggaman tangan Javir.
Gea pergi begitu saja kearah dapur, yang ternyata sudah ada Aslan disana.
Aslan tersenyum lebar sambil memainkan kedua alisnya naik turun, membuat Gea mengulum bibir menahan tawa.
"Alis loe kurang olah raga?, pagi-pagi gerak-gerak?."
"Mau buat kopi buat masa lalu loe?" Tanya Aslan saat melihat Gea mengambil cangkir.
Gea menghela nafas menatap tajam pada Aslan yang masih menyengir. "Masa lalu dalam artian mantan calon tunangan, tapi sekarang dia teman kalian, teman saudara-saudara gue yang artinya dia juga temen gue?."
"Temen gak cuek dan jaim kali ..." Aslan berdiri dan berjalan kewestafel, "loe sadar kan kalau dia gak ngaggap loe temen."
Tangan Gea berhenti mengaduk kopi di dalam cangkir yang dia pegang.
"Mangkanya loe cuek, jaim bahkan terang-terangan menghindar. Dia sepertinya ada rasa sama loe, gimana kalau loe ...."
Byur ...
Gea membuang kopi yang dia biat kedalam westafel.
Untung saja Aslan langsung melangkah mundur sehingga tangannya tidak terkena kopi panas buatan Gea.
Tatapan Gea menjadi tajam, menoleh pada Aslan tampa senyum sedikitpun diwajahnya.
"Sepertinya sekarang gantian loe yang harus belajar" ucap Gea dingin, "mana tatapan kasihan, merasa bersalah dan cinta."
Setelah mengatakannya Gea langsung berbalik, tepat saat itu Javir sudah berdiri tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Gea dengan tegap melangkah mendekati Javir dan menatapnya dnegan wajah mendongak. "Berhenti bersikap sok peduli sama gue, gue muak. Masa lalu udah lewat, gak ada yang perlu loe sesali dengan cara care sok peduli sama gue."
Setelah mengucapkan kata iti, Gea melanjutkan langkahnya pergi menaiki lantai dua melewati Javir yang masih diam tertegun.
"Sorry" ucap Aslan.
Javir menghela nafas dan tersenyum segaris, melangkah membuka kulkas mengeluarkan sebotol air.
"Masa lalu?" Javir terkekeh setelah mengucapkannya, "done."
Aslan mengerutkan kening, menatap Javir dengan tatapan anehnya.
^-^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments