telpon dari Satria

Hawa terpaku dibalik pintu kamarnya, banyak tanda tanya yang muncul dalam pikiran gadis berhijab lebar itu.

'Sebenarnya apa yang terjadi antara ayah dan ibu di masa lalu, sampai membuat ayah begitu keras tak mengijinkan aku berhubungan dengan satria lagi.

Alloh, ku pasrahkan takdirku padaMU, apapun itu bantu aku untuk mampu menerimanya dengan iklas.'

Hawa memejamkan matanya menahan sesak dalam dadanya.

Meskipun rasa cintanya pada Satria sangat dalam, namun sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Hawa tidak berani membantah keputusan sang ayah. Meskipun harus menahan pedihnya patah hati.

Dipendamnya sendiri ngilu dihatinya, di rasakanya sendiri beban rindu yang membuncah terhadap sang pujaan, dan mengubur harapan harapan indah bersama Satria.

Hawa tak cukup punya keberanian untuk memperjuangkan cintanya, jika itu berkaitan dengan restu ayahnya, Hawa tak sedikitpun mampu membantah ataupun bicara melebihi batasannya sebagai seorang anak.

Meringkuk menyandarkan tubuhnya dibalik pintu, berlahan buliran buliran bening itu kian deras menetes membasahi wajah ayunya.

'Maafkan aku Sat, maafkan aku jika aku gagal mendapatkan restu ayahku, maafkan aku yang tak mampu meyakinkan ayah tentang mimpi kita.'

Hawa tergugu dalam kesendirian, hanya rasa perih yang terus menghimpit dadanya, semakin sesak seakan sulit untuknya bernafas.

Suara jeritan ponsel yang terus bergetar, membangunkan Hawa dari ringkukan nya, berdiri berjalan pelan menghampiri suara yang terus berlalu, tangannya gemetar mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasurnya, terpampang panggilan Vidio call dari lelaki yang ia tangisi.

Ragu, Hawa untuk menerima panggilan telepon dari satria, Hawa takut dan tak ingin membuatnya cemas karena melihat matanya yang sembab.

[Hay kenapa teleponku tidak diangkat, kamu baik baik saja kan? ]

Pesan yang dikirim Satria, karena Hawa tak kunjung menerima panggilannya yang sudah ke tiga kalinya.

[Wa....]

Satria kembali mengirim pesannya.

[Tolong angkat telepon aku ya, aku rindu ingin melihatmu, plis sayang] tulis Satria lagi, masih berharap wanita yang di rindunya mau mengangkat panggilan dari nya.

Lagi lagi pesan Satria hanya di read saja tanpa ada balasan dari Hawa, dan itu membuat Satria makin hawatir dan merasa aneh, karena selama ini Hawa hampir tidak pernah melewatkan telpon darinya.

Untuk sekian kalinya Satria mengulangi panggilan Vidio nya, dan di panggilan ke lima, baru Hawa menerima panggilan tersebut.

"Hay,ada apa?

Kenapa? coba cerita, jangan bikin aku hawatir ."

Satria langsung menyerbu pertanyaan yang membuatnya sempat cemas apalagi dalam Vidio terlihat mata Hawa yang memerah.

"Maaf tadi lama angkat teleponnya, masih di kamar mandi." Hawa membalas pertanyaan Satria dengan berusaha bersikap baik baik saja dan

Hawa memaksakan senyumnya terbit, agar Satria tak lagi hawatir.

"Bener, kamu nggak papa?"

Satria, masih meyakinkan jika wanitanya tidak lagi dalam masalah, karena wajah sembab Hawa cukup membuatnya untuk berpikir, jika wanita sedang tidak baik baik saja, namun tidak mau berkata jujur, dan Satria tidak berhak untuk memaksanya.

"Iya, aku nggak papa kok.

Gimana, betah disana?

Jaga makannya ya dan istirahat yang cukup." Hawa membalas pertanyaan Satria dengan ganti bertanya, membuat Satria tak berani memaksanya untuk bercerita.

"Iya, aku akan baik baik saja kok, justru aku hawatir sama kamu disana.

Entah kenapa perasaanku nggak enak saja dari kemarin, mikirin kamu terus." sahut Satria sedikit merasa ganjil dengan perubahan sikap Hawa dengan tatapan dalam.

"Aku baik baik saja, nggak usah hawatir yaa, aku nggak mau kamu kenapa kenapa disana, jaga diri baik baik."

Dengan sekuat tenaga Hawa menahan untuk tidak meneteskan air mata di depan Satria, namun karena perasaannya yang halus dan kalut, akhirnya pertahanannya pun jebol untuk tak menangis, rasanya masih belum sanggup jika harus mengatakan tentang pembicaraannya dengan sang ayah pada Satria, di samping itu Hawa juga masih belum mampu kalau harus mengakhiri kisahnya dengan lelaki yang selama ini cintanya ia jaga. Hawa pun pada akhirnya terisak dan membuat Satria menatap bingung di dalam layar ponselnya.

"Hei, kenapa kamu nangis?

Pliis WA, bicara sama aku."

Satria semakin hawatir dan memohon untuk Hawa menceritakan masalahnya.

"Aku nggak papa, aku cuma sedang rindu, makanya aku nangis, sedih tau jauh dari kamu."

Hawa mencoba untuk menutupi sedihnya dengan memasang gaya manjanya, ia berharap Satria percaya dan tidak mengkhawatirkan dirinya.

"Sabar yaa, kan cuma setahun aku disini, doain agar semua lancar, biar aku cepat memintamu menjadi istriku ke orang tuamu." Satria mengernyit mencoba mencari kebenaran di kedua bola mata yang memerah karena isak tangis dan Satria merasa Hawa sedang berusaha menutupi sesuatu darinya.

Satria tersenyum dan ada binar harapan dimatanya saat mengatakan ingin menjadikan Hawa istrinya, dan itu semakin membuat Hawa terisak dalam duka. Manahan perih yang tak bisa ia bagi. Cinta dan harapan yang begitu besar pada laki laki yang ada di layar ponselnya, membuatnya kian terisak dan menanggung kepedihan yang begitu menyesakkan dadanya.

Tok tok tok....

"Wa, belum tidur nak, boleh ibu masuk?" tiba tiba suara ibunya membuatnya mengusap air mata yang terus menetes dan ijin untuk menutup telponnya dulu pada Satria.

"Sudah dulu ya Sat, nanti kita teleponan lagi, ada ibu manggil aku." Hawa kembali bicara dengan Satria dan memberanikan diri menatapnya dalam.

"Iyaaa, love you " sahut Satria penuh cinta dan kerinduan di matanya.

"Love you to" balas Hawa lirih menahan perih

Hawa lekas mematikan teleponnya dan mengusap sisa air mata di wajahnya yang kini semakin terlihat sembab.

"Wa, boleh ibu masuk nak?"

Tok tok, sekali lagi Erma mengetuk pintu dan memanggil Hawa, ia merasa hawatir dengan keadaaan putrinya.

"Iyaa Bu, masuk aja, nggak dikunci kok." sahut Hawa pada akhirnya.

Ceklek...suara pintu terbuka, wajah ayu sang ibu langsung  nampak tersenyum dan berjalan ke arah Hawa yang kini duduk bersandar di ranjang.

Bu Erma langsung memeluk Hawa, mengelus rambut dan pundak sang putri, seolah memberi kekuatan, agar sang putri tidak rapuh.

"Ibu tau, apa yang Hawa rasakan saat ini, maafkan ibu ya, ibu tidak bisa membantu Hawa untuk meyakinkan ayah, maafkan ibu nak, ini salah ibu."

Bu Erma terisak sambil memeluk Hawa, dan itu semakin membuat Hawa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Bu.........."

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Kisah cinta yang cukup rumit namun penuh dengan teka teki, ketika hati tak lagi sanggup, akankah bisa meraih bahagia dengan pilihan lain.

Karena hati sudah terlanjur memilih dan menetap, apakah mungkin bisa untuk beranjak.

Haruskah Hawa membiarkan cintanya menjadi rapuh, atau akan tetap berusaha berjuang untuk mempertahankannya?

jangan lupa tinggalkan jejak like n komentar nya ya say.

Happy ending ❤️

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!