Petir menggelegar dengan kilat yang menyilaukan mata siapa pun yang melihatnya. Di bawah guyuran hujan yang semakin deras, Evangeline berlari kesana kemari tak tentu arah, melarikan diri dari kejadian mengerikan yang baru saja dia saksikan.
Ayah... Ayah... tangisnya dalam diam.
Sementara kakinya yang tak beralas terus berlari, tapi ingatannya masih berada di ruang baca sang ayah, di mana dia melihat tubuh tua itu telah tergeletak bersimbah darah di depan orang yang sangat dia percayai.
Mengingat sosok yang dilihatnya tengah memegang senjata api dan menodongkannya ke arah dimana ayahnya berada, membuat Evangeline berhenti dan mengepalkan tangan, seolah emosi tengah menguasainya.
“Dia benar-benar tega. Bagaimana bisa dia membunuh orang yang sudah merawatnya selama ini?” gumam Evangeline.
Gadis itu terus berjalan menyusuri jalanan di gelapnya malam. Dia bahkan tak memikirkan kakinya yang kedinginan dan terluka akibat berjalan tanpa alas kaki di jalanan beraspal. Waktu bahkan telah lewat dari jam dua belas, dan hujan semakin turun dengan lebatnya.
Petir dan kilat terus bersahutan membuat siapa pun memilih bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Namun Evangeline, si gadis malang yang menyaksikan ayahnya sendiri terkapar bersimbah darah dengan kondisi yang sangat mengenaskan, harus berlari demi menyelamatkan diri dari orang yang ia anggap sebagai pembunuhnya.
Lama dia berjalan, hingga akhirnya dia sampai di jalan raya, di mana terdapat toko dan gedung berderet di kedua sisinya. Evangeline melihat sebuah celah di antara dua toko yang telah tutup. Kedua atapnya menyatu dengan bagian ujung yang merupakan pintu belakang kedua toko tersebut.
Evangeline berjalan ke arah sana. Dia duduk meringkuk, dan mencoba mengistirahatkan kakinya yang telah lama berjalan tak tentu arah.
Dia tak tahu harus pergi kemana, sementara uang pun tak ada. Dia pergi begitu saja dari rumah, tanpa membawa apa pun karena terlalu panik. Bahkan ponsel pun tidak hingga ia tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa.
Dia kedinginan dengan gaun ulang tahun yang masih melekat di tubuhnya yang basah kuyup. Dia memeluk dirinya sendiri. Bibirnya membiru dan tubuhnya menggigil kedinginan.
Dia melihat tumpukan kardus bekas di pojokan, dan menggunakannya sebagai alas. Dia memilih membaringkan diri di sana, dan karena kelelahan, dia pun akhirnya tertidur dengan meringkuk begitu menyedihkan.
...❄❄❄❄❄...
Keesokan harinya, sinar mentari bersinar begitu gerik, setelah malam yang amat kelam dan penuh dengan cahaya kilat.
Salah seorang pemilik toko, menemukan seorang gadis yang tertidur di depan pintu belakang tokonya, dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Dia mencoba mengamati gadis tersebut. Dia memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh gadis itu, dan terlihat jelas jika itu bukanlah pakaian yang biasa saja. Dia kemudian fokus pada area diafragmanya, yang tampak masih bergerak naik dan turun.
“Dia masih bernafas,” gumam si pemilik toko.
Dia pun lalu mencoba membangunkan Evangeline yang masih tampak pulas tertidur, dengan mengguncangkan bahu gadis tersebut.
“Hei, bangun. Apa kau baik-baik saja? Hei,” panggil si pemilik toko.
Percobaan pertama tak ada jawaban. Si pemilik toko kembali mengguncang bahu Evangeline sedikit lebih keras, hingga sebuah erangan lirih keluar dari mulut gadis itu.
“Ehmmm...,”
Evangeline pun mulai membuka matanya, meski masih terasa berat dan mengganjal, karena bengkak akibat menangis semalaman.
Dia menyadari bahwa matahari telah naik di atas kepalanya, dan pagi yang cerah telah datang. Dia pun bangun dan duduk di tempat semula.
“Maaf, apa ini toko Anda? Aku hanya menumpang istirahat saja. Aku akan pergi sekarang juga,” ucap Evangeline.
Dia kemudian bangun dan melangkah pergi. Namun, si pemilik toko meraih lengan gadis tersebut dan membuat Evangeline berhenti.
“Nona, apa kau butuh sesuatu? Kau terlihat tidak baik-baik saja,” ucap si pemilik toko.
Namun, Evangeline segera melepaskan pegangan si pemilik toko dari lengannya.
“Aku tidak baik-baik saja, tapi aku tidak butuh bantuanmu, Nyonya. Terima kasih atas tawarannya,” sahut Evangeline.
Gadis itu kembali melangkah, namun baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan menoleh ke belakang.
“Kalau boleh, aku ingin bertanya,” ucap Evangeline.
“Silakan. Semoga aku bisa membantumu dengan menjawabnya,” sahut si pemilik toko.
“Di mana aku sekarang?” tanya Evangeline.
“Kau ada di jalan Weels, Kota Wisteria,” ucap si pemilik toko.
“Jalan Weels?” gumam Evangeline.
Dia kembali menoleh ke depan, dan melangkah pergi tanpa mengucapkan terima kasih kepada si pemilik toko.
Gadis itu kembali berjalan terseok-seok, karena kakinya begitu lelah sejak semalam terus berjalan, bahkan perutnya pun belum terisi sama sekali sejak lari dari pesta ulang tahunnya.
Saat mengingat lagi kejadian di pesta semalam, dia sangat membenci sosok pemuda yang selalu saja berseteru dengannya, yang justru dipilih oleh sang ayah sebagai tunangannya.
Namun siapa sangka, justru dialah orang yang berada di tempat, saat kejadian penembakan berlangsung, dan menewaskan sang ayah.
Ya, Ardiaz lah yang berdiri di ruangan gelap tersebut, sambil menodongkan senjata ke arah depan, membelakangi pintu di mana Evangeline berada.
Tubuh Tuan Hemachandra bahkan tergeletak tepat di depannya, dengan darah yang membanjiri lantai di sekitarnya.
Evangeline benar-benar tak menyangka jika Ardiaz, orang yang sudah dianggap anak sendiri oleh sang ayah, justru tega melakukan hal sekeji itu kepada Tuan Hemachandra.
Gadis itu melangkah semakin jauh, dengan sesekali menyeka lelehan bening yang kembali mengalir dari matanya, saat dia mengingat kembali sang ayah yang bernasib malang.
Dia sudah tak peduli dengan setiap orang yang menatap aneh ke arahnya. Yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya agar dia bisa segera sampai di Pedesaan Ginko yang terletak di tepi kota Wisteria, tempat dimana saat ini dia berada.
Tujuannya sudah ditetapkan, yaitu pergi ke rumah ibu asuhnya, Morita, yang sejak Evangeline berusia tujuh belas tahun, sudah dibebas tugaskan oleh Tuan Hemachandra dan mendapatkan sebuah rumah di Pedesaan Ginko sebagai kompensasi, serta agar sang putri bisa dengan mudah kapanpun menemuinya.
Evangeline terus berjalan dengan cepat. Dia percaya jika ibu asuhnya pasti bisa menolongnya, sehingga dia bisa berhasil kabur dari sang kepala pengawal pribadi ayahnya, penghianat yang sudah membunuh tuannya sendiri.
Setelah sejak pagi berjalan, akhirnya Evangeline berhasil sampai di Pedesaan Ginko pada tengah hari.
Dia mempercepat langkah kakinya agar segera bisa sampai di rumah sang ibu asuh dan mengadukan semua yang terjadi di rumah.
Tak perlu waktu lama, dia sudah sampai di depan sebuah rumah bergaya klasik, dengan dinding yang bercorak susunan batu bata. Terasnya tinggi dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan bunga kosmos serta krisan berwarna-warni tepat di tepi jalan setapak.
Dia segera masuk ke halaman yang tak berpagar, dan berlari ke arah teras di mana pintu utama berada.
Dengan segera, dia menggedor pintu kayu tersebut dengan sangat keras. Air matanya kembali meluncur turun dari matanya, dan dadanya kembali terasa sesak. Ingin rasanya dia menemukan seseorang yang bisa menjadi sandaran baginya.
.
.
.
.
Mohon tinggalkan jejak berupa like 👍, komen 📝, atau beri dukungan lainnya
terimakasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments