"Tak ada salahnya mencoba, bukan? Bukankah menjadi sekretaris adalah impianmu?"
Ucapan Alex mematri di kepalanya.
'Bagaimana ia tahu kalau aku bermimpi menjadi sekretaris sebuah perusahaan? Pasti Vidya yang memberitahukan itu padanya. Haish ... Dasar Vidya!' rutuk Bunga dalam hati.
"Entahlah, aku tak yakin." Bunga menjawab asal.
Salah satu alasannya merantau adalah ingin mengejar impiannya menjadi sekretaris di perusahaan besar. Namun sayang, mimpi hanyalah mimpi. Meski kemampuan dan ijazah telah memenuhi sebagai syarat menjadi sekretaris, tetapi keberuntungan tetaplah yang berperan paling dominan dalam keberhasilan sebuah mimpi.
"Kenapa kau tak yakin? Apa kau berniat untuk menikah?"
"Hah?! Apa?! Tidak! Bukan begitu!" sergah Bunga.
Jantungnya hampir saja copot mendengar kata menikah.
"Lalu?"
Bunga terdiam lagi, seolah tengah mengingat keadaan dirinya. Sudah hampir 3 bulan ia menganggur dan biaya hidup, ia dapatkan hanya dari hasil menjual tulisan di beberapa penerbit. Sisanya, ia dapatkan dari belas kasihan keluarga Vidya, yakni rumah sebagai tempat bernaung dan upah jika harus menggantikan Vidya bekerja di cafe. Bukan sesuatu yang bisa menjadi andalan hidupnya.
"Ah, ya terima kasih sudah memberitahuku, akan kupertimbangkan nanti," sahut Bunga.
Ia mencoba menghindar. Bunga tak ingin ada yang tahu urusan pribadinya.
"Sebaiknya jangan membuang waktu untuk berpikir, sebab lusa akan ada peresmian pembukaan dari kantor cabang baru ini. Rekruitmen tutup sehari sebelum lusa, yakni besok!"
Mata Bunga mendadak membukat indah.
"Benarkah? Kalau begitu, aku tak akan sempat. Bagaimana bisa, besok adalah penutupannya, sedangkan aku belum menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk melamar pekerjaan? Haish ... " keluh Bunga cemas.
Alex menghela napas pelan.
"Karena itulah, aku ada di sini. Kau tak perlu cemas. Aku akan mengantarmu besok. Kau siap?"
Itu bukan pertanyaan. Lebih tepatnya adalah ajakan agar Bunga menyetujui sebuah kesepakatan. Bunga tak punya pilihan. Jika ia melakukan semua itu sendiri, tentu saja ia akan terlambat. Tapi jika ia mengiyakan penawaran Alex, Bunga hawatir akan ada kesepakatan yang ia sesali nantinya.
Bunga masih terdiam. Ia berpikir keras.
"Tapi ... memangnya ada yang berubah jika aku ikut denganmu, besok?
Bunga berusaha mencari celah agar ia bisa tak harus ikut dengan Alex.
"Kau tak perlu risau. Aku akan berbuat yang terbaik untukmu. Kau tak harus menjawabnya sekarang. Aku akan menunggu telepon darimu. Ah iya, cafe sudah tutup, apa mau kuantar pulang?"
Bunga lantas melirik jam dinding di dekatnya. Benar! Sudah waktunya pulang. Beberapa karyawan pun sudah bersiap di depan loker mereka. Menanggalkan seragam mereka dan bersiap untuk keluar dari cafe.
Sejak tadi pikitan Bung berpusat pada kesempatan emas menjadi sekretaris hingga tak menyadari keadaan sekitar yang mulai berangsur sepi.
"Ah tidak usah repot-repot. Tadi, aku berangkat mengendarai motor Vidya. Terima kasih atas tawarannya," tolak Bunga halus.
Jujur saja, ia takut jika harus pulang bersama Alex. Siapa yang tahu jika ia tak melakukan apapun saat perjalanan pulang nanti. Dan lagi, Bunga tak ingin identitasnya diketahui lebih lanjut oleh orang lain. Hanya Vidya yang mengetahui siapa dirinya.
"Ah begitu ... ya sudah kalau begitu, aku akan pulang sekarang. Kau hati-hati ya?" ujar Alex lantas pergi meninggalkan Bunga.
Bunga tersenyum tipis membalas sikap sopan Alex padanya. Setelah Alex pergi ia menghela napas lega.
"Hampir saja jantungku copot! Ah, aku harus menyelesaikan ini dengan cepat."
Bunga menyadari ia belum membereskan pekerjaan, karena itu ia bergegas untuk menyelesaikannya dengan cepat.
***
Cafe Bulan sudah mulai berkurang pengunjungnya. Beberapa orang keluar dan sudah meninggalkan pelataran cafe. Hanya tersisa Jay yang masih duduk suntuk bersama ponsel dan secangkir kopi yang telah ia tandaskan beberapa waktu lalu. Tak hanya dirinya, di ruangan tersebut masih ada beberapa karyawan yang bertugas membersihkan meja dan kursi.
"Bagaimana ini? Sepertinya tuan Jayden tak sadar waktu. Kita bisa-bisa pulang sangat larut malam kalau sampai dia masih asyik dengan kegiatannya."
Bisik-bisik antar pegawai perihal pekerjaannya yang tak tuntas karena Jay masih asyik dengan aktivitas akhirnya terdengar oleh pak Marvel. Pak Marvel lantas mendekati para pegawai yang tengah membersihkan meja dan kursi tersebut.
"Kalian tak perlu cemaskan itu. Lakukan saja pekerjaan kalian. Tuan Jayden, biar saya yang akan mengingatkannya," sahut pak Marvel saat mendengar beberapa karyawan yang mengeluh karena ia belum bisa menyelesaikan pekerjaannya di meja Jay.
"Baik pak!" jawab mereka sopan lantas melakukan perintah sesuai yang diucapkan pak Marvel sebisa mungkin. Sedangkan pak Marvel mendekati Jayden.
"Permisi, tuan. Apakah anda akan ... "
Jayden mendongak dan menatap tajam laki-laki bertubuh tambun tersebut.
Pak Marvel urung menyelesaikan ucapannya. Ia menunduk sopan.
Manik mata hazel Jay yang menatap ke arah sumber suara kini berubah haluan. Siapa sangka jika awalnya ia berniat untuk menjawab rasa kesal karena kegiatannya terusik, tapi tanpa diduga mata Jay langsung tertuju pada satu sosok di belakang pak Marvel. Sosok wanita yang sebelumnya ia kejar di jalanan.
"Dia ... Tunggu!" desisnya.
"Maaf ... apa maksud tuan? Saya tidak mengerti." Pak Marvel kebingungan.
Jay tidak menggubris. Ia lantas bangkit dan berusaha mengejar sosok yang berada di balik jendela.
Sosok seorang wanita yang tengah bersiap mengendarai motornya.
"Tidak ... tidak ... aku tidak boleh kehilangannya lagi!" seru Jay bergegas keluar cafe untuk mengejarnya. Namun sayang sekali, wanita itu sudah melaju dengan motor matiknya.
Jay tak pantang menyerah, ia langsung kembali ke dalam cafe untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan bergegas memanggil petugas parkir untuk mengembalikan kunci mobilnya. Ia benar-benar dalam keadaan tergesa-gesa.
"Haish ... ke mana perginya dia? Aku sudah kehilangan dirinya dua kali. Aku tak mau kehilangannya kali ini. Aku sangat yakin, yang pertama kulihat saat macet tadi bukanlah halusinasiku. Jadi dia memang berada di kota ini.. Tapi mengapa? Bukankah ia berada di luar kota?" Jay bermonolog sambil terus menloeh ke arah samping kanan kirinya selagi mengemudikan mobilnya.
Jay gusar. Ia memutar kemudinya ke jalan yang menurutnya terusan dari arah cafe. Apapun ia lakukan untuk menemukan wanita itu.
"Ayolah ... mana mungkin motor kecil itu bisa melaju sangat cepat! Di mana kau?"
Otak Jay terus berpikir, menyusuri jalan yang mungkin saja dilewati oleh pengendara motor matik tadi.
"Astaga ... kenapa aku begitu bodoh! Apakah selama ini kamu bersembunyi di cafe Bulan? Tentu saja, aku harus mencari tahu dirimu mulai dari tempat kamu keluar tadi," rutuk Jay akhirnya menemukan sebuah ide yang tak terpikir olehnya.
Jay memutuskan untuk memutar arah. Ia kembali menuju cafe Bulan. Berharap kemungkinan itu adalah benar bahwa wanita tadi adalah salah satu karyawan di cafe Bulan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments