...༻◈༺...
Wajah Julie memerah malu. Itulah alasan dia melangkah jauh meninggalkan June. Namun hantu tampan tersebut tentu tidak diam. Dengan lari kecilnya, June berusaha berjalan ke sebelah Julie.
"Wajahmu memerah! Apa kau kedinginan?" tanya June menyelidik. Dia berhasil memergoki wajah Julie yang merona malu karena kalimat pujian.
Tindakan dan ucapan mungkin bisa berbohong. Tetapi tidak untuk bahasa tubuh. Julie benar-benar kaget saat mendengar June menyindir perihal wajahnya.
Julie jadi gelagapan sendiri. Ia meliarkan bola matanya ke segala arah. Berusaha keras menghindari tatapan June.
Apa yang dilakukan Julie justru membuat June memicingkan mata. Memang akhir-akhir ini Julie bersikap mencurigakan. Entah kenapa June merasa gadis tersebut mengetahui kehadirannya.
"Julie? Apa kau baik-baik saja? Jika kau kedinginan, membeli cokelat panas di cafe favoritmu mungkin ide yang bagus," saran June. Ia menatap Julie dengan sudut matanya.
Julie mendengus kasar. Dia berhenti melangkah sejenak. Menyapu salju yang menempel di rambut serta pakaian.
"Ya, jelas salju yang menempel padamu memberikan rasa dingin. Andai saja aku bisa menyentuhmu." June mendengus kasar. Ia meneruskan, "aku sangat ingin menyentuhmu, Julie..."
Julie yang mendengar memejamkan mata. Lalu menghembuskan nafas dari mulut. Jelas dia mencoba menenangkan diri. Sekarang Julie merasa benar-benar hilang kendali. Mungkin hanya June satu-satunya hantu yang tidak bisa diabaikan olehnya.
Hal yang paling di inginkan Julie sekarang adalah pulang. Dia juga mulai merasa kedinginan karena salju yang turun. Alhasil Julie kembali berderap maju. Di ikuti June yang terus berusaha menyamakan langkah dengannya.
Jika senja belum berakhir, June akan terus mengikuti Julie kemana pun. Termasuk ke apartemen.
Setibanya di apartemen, Julie langsung menyalakan pemanas ruangan. Mengingat salju di luar turun semakin lebat.
Ponsel Julie berdering. Dia menerima telepon dari Zac yang tidak lain adalah ayah kandung Julie sendiri.
"Iya, Dad?" jawab Julie. Mengapit ponselnya dengan bahu dan telinga. Tangan gadis itu tengah sibuk mengumpulkan piring dan gelas kotor ke wastafel.
"Apa kau ada di apartemen?" tanya Zac. Dia tentu mencemaskan Julie yang tinggal sendirian di apartemen.
"Ya, aku baru saja kembali dari super market."
"Syukurlah. Aku dengar salju di California turun cukup lebat. Kau sebaiknya jangan kemana-mana sampai cuaca kembali membaik."
"Iya, Dad."
"Berhati-hatilah. Kalau ada apa-apa hubungi aku, ibumu, atau Axton!"
"Iya, Dad."
Bersamaan dengan itu, Julie mendapatkan panggilan lain dari Sasya. Dia menghembuskan nafas berat. Julie benar-benar lelah menghadapi perhatian keluarganya yang terkesan berlebihan.
Julie lantas mengakhiri panggilannya dengan Zac. Kemudian mengangkat telepon Sasya.
"Apa kau di apartemen? Kau punya persediaan makanan yang banyak bukan? Aku takut akan terjadi badai salju." Sama seperti Zac, Sasya juga menunjukkan kekhawatiran yang berlebih.
"Tolong jangan kemana-mana sebelum salju reda. Dan aku sarankan jangan gunakan taksi. Lebih baik kau jalan kaki atau naik kereta bawah tanah saja." Sasya memberikan saran.
"Yes, Mom." Julie menjawab sambil memutar bola mata malas.
"Dan kebetulan aku menyimpan--"
"Sudah dulu, Mom. Aku harus ke kamar mandi. Bye!" Julie yang sudah lelah, segera mematikan panggilan telepon. Kini dia bisa mendengus lega.
Baru selesai lepas dari Zac dan Sasya, Axton menjadi orang ketiga yang menelepon Julie.
"Sial! Kenapa mereka selalu bersikap berlebihan! Aku bukan anak kecil," gerutu Julie dengan kening yang mengernyit dalam.
"Itu karena mereka sangat menyayangimu," imbuh June yang sejak tadi mengamati Julie dari meja makan. Dia tampak duduk bersila di atas meja.
Julie kaget sampai berjengit. Dia hampir lupa kalau senja belum usai. Pertanda bahwa June pasti ada bersamanya.
"Julie? Kau bisa mendengarku? Kenapa kau terlihat kaget begitu?" timpal June. Pupil matanya membesar. Sebab dia sukses memergoki Julie tersentak kaget akibat tegurannya.
Panik, itulah yang dirasakan Julie. Dia mencoba bersikap tenang seperti biasa. Lalu melarikan diri dengan cara mengangkat telepon Axton.
"Julie? Apa kau di apartemen?" tanya Axton dari seberang telepon.
"Iya, tentu saja. Kenapa?" Julie berbalas tanya.
"Aku dan Agnes akan ke sana."
"Jangan coba-coba!"
"Ayolah... Aku kebetulan juga bersama temanku. Kami kebetulan terjebak salju dan tidak bisa pulang. Jarak kami dengan apartemenmu cukup dekat."
"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak!" Julie mematikan telepon secara sepihak. Dia mengusap kasar wajahnya.
"Kenapa? Apa Axton membuatmu kesal?" tanya June. Dia sudah berdiri di dekat Julie.
"Tidak! Kaulah yang membuatku kesal!" karena dalam suasana hati buruk, Julie reflek menjawab pertanyaan June. Hal itu membuat June sadar kalau selama ini Julie bisa melihat dan mendengarnya.
"Julie? Kau bisa melihatku? Sejak kapan?" June senang. Dia menimpali Julie dengan banyak pertanyaan.
Mata Julie terbelalak. Ia reflek menutup mulutnya sendiri. Meskipun begitu, dia bergegas menjauh dari June. Julie masuk ke kamar mandi.
"Julie! Kau benar-benar bisa melihatku kan?" June ikut masuk ke kamar mandi. Dia memberikan pertanyaan yang sama berulang kali.
June terkesiap saat menyaksikan Julie menanggalkan pakaian satu per satu. Kini wajahnya yang memerah.
"Kau mau mandi?" tanya June yang masih diam di tempat dan memperhatikan.
"Iya! Bisakah kau pergi sekarang?!" tukas Julie. Karena sudah terlanjur ketahuan, dia tidak bisa berpura-pura lagi.
"Kau benar-benar melihatku! Kau melihatku?!" June merespon dengan girang.
Julie menyalangkan mata. Dia berkacak pinggang sambil menggedikkan salah satu kaki.
"Baiklah. Aku akan keluar. Cepatlah mandi! Senja sebentar lagi berakhir," ujar June seraya pergi dari kamar mandi. Tubuhnya menembus pintu.
Julie menghela nafas panjang dan tertunduk. Dia kesal kepada dirinya sendiri.
Selang sekian menit, Julie keluar dari kamar mandi. Dia tampak menggunakan handuk kimono.
June bergegas menghampiri. Dia sudah tidak sabar ingin mengobrol banyak dengan Julie.
"Julie, aku--"
June tidak jadi berucap saat Julie mengangkat tangan ke depan wajahnya. "Aku harus berganti pakaian," ucapnya datar. Tanpa menatap ke arah June.
Meski memiliki perasaan khusus kepada June, Julie sadar diri bahwa perasaannya salah. Seorang manusia seperti dia tidak seharusnya jatuh cinta kepada hantu. Jelas itu bukan hal normal.
"Baiklah." June mengangguk dan tersenyum. Dia membiarkan Julie masuk ke kamar.
Pintu perlahan terbuka. Axton ternyata tidak mendengarkan peringatan Julie. Lelaki itu tetap membawa pacar dan temannya ke apartemen sang adik.
Julie keluar dari kamar dengan raut wajah cemberut. Dia buru-buru menghadapi Axton. Namun saat melihat ada dua orang lain yang ikut bersama kakaknya, Julie meredamkan amarah. Gadis itu mengembangkan senyuman seperti terpaksa.
"Hai, Julie. Senang bisa bertemu lagi denganmu." Agnes menyapa Julie dengan pelukan hangat.
"Aku juga," sahut Julie. Amarahnya semakin pudar ketika mendapat sambutan hangat dari Agnes..
"Fred, kenalkan ini Julie." Axton memperkenalkan Julie kepada teman lelakinya. Dia segera menoleh ke arah Julie. "Dan Julie. Ini Fred! Teman dekatku dan Agnes," sambungnya.
"Hai, Julie." Fred mengulurkan tangan kepada Julie.
"Hai..." Julie lantas menyambut tangan Fred. Keduanya saling bersalaman.
Fred terpaku menatap Julie. Sampai dia lupa melepaskan tangan gadis itu.
"Sial! Kenapa Axton membawa pria ini ke sini?!" geram June yang marah dengan tatapan dalam Fred.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
zeaulayya
Next donk thor
2022-11-04
1
zeaulayya
Mank gaib banget perasaan julie nih. Jatuh hati mah hantu tampan🤭🤣
2022-11-04
1
zeaulayya
Akhirnya kelepasan ngomongnya yah jul ,dah di abaikan dan pura” gak dengar akhirnya ketahuan juga🤭😁
2022-11-04
1