...༻◈༺...
"Kau satu SMA dengan Axton?" Julie memastikan.
Shane menggeleng. "Bukan. Tapi denganmu," sahutnya dengan nada canggung.
"Wah, sepertinya dia benar-benar penguntit, Julie. Kau harus berhati-hati dengannya," komentar June sambil melipat tangan ke depan dada.
"Benarkah?" Julie merasa heran. Sebab dia sama sekali tidak mengingat ada nama Shane sebagai teman SMA-nya.
"Kau tidak perlu mencoba mengingatnya. Karena saat SMA, aku hanya kutu buku aneh." Shane angkat suara. Dia tidak mau membuat Julie repot-repot mengingatnya.
"Tidak! Jangan berkata begitu. Akhir-akhir ini aku memang sering melupakan banyak hal," ujar Julie yang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa." Shane membungkuk satu kali ke arah Julie.
"Kenapa tidak bilang dari awal kalau kau juga bersekolah di California High School?"
"Karena aku yakin kau tidak akan mengenalku."
June memutar bola mata jengah. Menurutnya obrolan Julie dan Shane sangat membosankan.
"Kapan pembicaraan ini akan berlangsung. Huaaah..." sindir June yang di akhiri dengan uapan panjang.
Julie melirik ke arah June selintas. Dia menghembuskan nafas dari mulut. Dirinya segera mengambil ponsel dari tas.
"Kau bisa pulang, Shane. Biar aku yang menghubungi Axton sendiri," kata Julie yang langsung direspon Shane dengan anggukan. Lelaki itu lantas beranjak.
"Sepertinya aku juga harus pergi," ucap June. Dia tiba-tiba mendekatkan mulut ke telinga Julie dan berbisik, "Sampai jumpa besok..."
Mata Julie membola. Bulu kuduknya seketika berdiri. Jantung Julie juga berdetak tak terkendali. Untung saja June langsung menghilang dan tidak berhasil memergoki raut wajah yang ditunjukkan Julie.
Kini Julie mengelus dada. Ia lega karena perasaan gugupnya tidak tertangkap basah.
Julie mencoba menghubungi Axton. Kakak lelakinya itu langsung bergegas menjemput. Kemudian membawa Julie pulang ke apartemen.
"Apa yang terjadi sampai kakimu bisa begini?" tanya Axton sembari meletakkan segelas air putih ke nakas samping ranjang Julie.
"Ini hanya kecelakaan kecil. Lagi pula pasti akan sembuh besok," jawab Julie. Tak ingin membuat Axton cemas.
"Kalau tidak sembuh, jangan pergi bekerja! Awas saja kalau kau memaksakan diri!" tukas Axton sembari mengacungkan jari telunjuk ke depan wajah Julie.
"Iya, kau tenang saja. Berjanjilah tidak akan mengatakan kejadian ini kepada ibu dan ayah. Kau tahu sendiri bagaimana jadinya kalau mereka tahu."
"Baiklah. Percayalah kepadaku. Ya sudah, sebaiknya kau istirahat dan tidur." Axton menyelimuti Julie dengan rapi. Dia pergi tanpa mematikan lampu. Sebagai kakak, Axton tahu adiknya terbiasa tidur dalam keadaan lampu yang menyala.
Julie berusaha tidur. Dia menggunakan penutup mata agar bisa lebih cepat tidur. Tetapi anehnya pikiran tentang June terus menghantui. Sehingga Julie jadi tidak bisa tidur.
Jujur saja, kekhawatiran June tadi sore membuat Julie tersentuh. Dia merasa lelaki itu semakin mempesona. Belum lagi aksi cemburunya ketika Shane mencoba menolong Julie.
"Haish! Ada apa denganku?!" Julie memarahi dirinya sendiri. Dia reflek merubah posisi menjadi duduk. Kemudian membuka penutup mata.
Mata Julie terbelalak tatkala menyaksikan sosok hantu berbadan sangat tinggi. Hantu tersebut tepat berada di depan. Tinggi badannya bahkan sampai menyentuh plafon. Anehnya Julie juga dapat melihat ada asap berwarna jingga di sekitaran kamar.
Julie buru-buru menutup matanya. Dia kembali telentang ke ranjang. Julie sama sekali tidak berminat menyaksikan rupa hantu berbadan tinggi di depannya.
Saat waktu menunjukkan jam tiga dini hari, barulah Julie dapat tertidur. Akibat hal itu dia terlambat bangun pagi. Julie bangun ketika jarum jam mengarah ke angka delapan.
Meskipun begitu, Julie enggan melewatkan pekerjaan. Dia bergegas mandi dan mengenakan pakaian.
Ponsel mendadak berdering. Tepat saat Julie hampir beranjak dari apartemen. Dia sepenuhnya siap dengan pakaian kantor.
"Kenapa?" Julie menjawab panggilan telepon dari Axton.
"Aku sudah memberitahu karyawanmu untuk libur hari ini. Aku bilang kau sedang sakit," ujar Axton dari seberang telepon.
"Apa kau bilang?! Bisa-bisanya kau melakukan itu tanpa persetujuanku?!" geram Julie.
"Kau butuh istirahat. Seorang lelaki saja tidak boleh gila kerja. Apalagi wanita!" timpal Axton. Dia mengakhiri panggilan lebih dulu.
Julie menghela nafas berat. Dia terpaksa berganti pakaian. Sungguh, berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun bukanlah gaya Julie.
Lima menit terlewat. Julie sudah bosan menggonta-ganti saluran televisi. Pikiran tentang June kembali lagi.
'Andai June tidak hanya muncul saat senja...' batin June. Namun itu tidak berlangsung lama. Ia segera menggeleng tegas. Menarik kembali harapannya tersebut.
"Tidak! Apa yang aku pikirkan? Mungkin aku bisa gila kalau dia terus ada bersamaku," gumam Julie seraya memeluk erat bantal sofa. Dia menggelengkan kepala berulang kali.
Selama seharian, Julie hanya telentang di sofa. Dia memainkan remot televisi dan ponsel secara bergantian. Julie berusaha keras melupakan segala hal tentang June.
Karena bosan, Julie memutuskan untuk pergi belanja ke super market. Dia menghabiskan waktu berjam-jam akibat mengantri di depan meja kasir. Kebetulan pelanggan super market sedang membludak karena ada diskon besar-besaran.
Setelah lepas dari antrian panjang, Julie ke sebuah taman bermain anak-anak. Ia duduk di ayunan sambil menikmati sebuah apel.
Julie menatap awan yang tampak menghitam dan dihiasi warna kekuningan. Pertanda hari telah semakin sore.
"Senja sebentar lagi tiba. Kenapa aku bersikap seperti sedang menunggunya?" gumam Julie. Dia heran kepada dirinya sendiri.
Julie memukuli dadanya berulangkali. Dia hanya berusaha menghentikan debaran yang selalu terjadi saat memikirkan June.
"Aku sepertinya jatuh cinta dengan hantu." Julie akhirnya mengaku sendiri. Dia menutupi wajahnya dengan dua tangan. "Kenapa ini harus terjadi?" keluhnya dengan nada seperti akan menangis.
"Kenapa? Apa yang terjadi kepadamu, Julie?" Suara June tiba-tiba terdengar.
Deg!
Deg!
Deg!
Detak jantung Julie kembali tak terkontrol. Dia berusaha menenangkan diri sebisa mungkin.
"Apa ada seseorang yang berbuat jahat kepadamu?! Katakanlah! Biar aku yang memberinya pelajaran," ujar June.
Julie perlahan berhenti menutupi wajah. Dia mencoba bersikap normal. Kemudian menatap lurus ke depan.
"Sepertinya kau sedang tertimpa masalah serius," kata June sembari mendekatkan wajah. Memperhatikan ekspresi yang ditunjukkan Julie dengan seksama.
Gugup, itulah yang dirasakan Julie sekarang. Dan dia tidak ingin June mengetahuinya.
Julie sontak berdiri. Hal serupa lantas juga dilakukan June.
Bertepatan dengan itu, Julie merasakan sesuatu yang dingin menghantam kulitnya. Dia segera mendongak ke atas dan melihat partikel-partikel kecil es berjatuhan dari langit.
"Sedang turun salju," imbuh June sambil membuka lebar telapak tangan. Salju yang turun tentu tidak bisa berhenti di tangannya. Tetapi justru menembus tangan June.
"Aku senang bisa melihat salju pertama bersamamu, Julie..." ungkap June seraya menatap lekat Julie.
"Ini sangat indah," ujar Julie. Memuji fenomena turun salju yang terjadi.
"Ya, salju pertama memang selalu indah. Tapi bagiku, kau yang paling indah," ucap June.
Julie yang mendengar, menenggak salivanya sendiri. Dia melangkah laju menuju jalanan trotoar. Julie tak ingin terlalu banyak mendengar kalimat perhatian dan pujian dari June. Sebab hal tersebut membuatnya tambah terbawa suasana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Rara
aish jantung gue. Kok gue yg berdebar2
2023-12-04
0
Rara
jelaousy cieeeeh 🤭
2023-12-04
0
Anonymous
romance ghost
2023-01-27
0