...༻◈༺...
Julie tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah. Sekarang dia baru saja tiba di kediamannya yang nyaman tersebut.
Ibunya yang bernama Sasya langsung menyambut kedatangan Julie. Dia tidak sendiri. Ada Axton yang menemaninya.
Julie mendengus kasar. Jujur saja, keluarganya tidak pernah absen mendatanginya setiap hari. Itu terjadi semenjak Julie mengalami kecelakaan satu tahun lalu.
Tetapi mengenai mata batin Julie, tidak ada satu orang pun yang tahu. Gadis itu sengaja merahasiakan agar orang tersayangnya tidak takut.
"Julie, akhirnya kau datang. Aku dan Axton membawakan pie kesukaanmu. Aku juga sudah memasak sesuatu untuk makan malam," sambut Sasya antusias.
"Lagi? Ayolah, Mom. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku bukan anak kecil," tanggap Julie sembari duduk menghempas ke sofa.
"Aku tahu kau bukan anak kecil. Tapi apa salahnya aku menunjukkan kasih sayang kepadamu setiap hari. Kau tinggal sendirian. Dari yang aku dengar dari tetangga, kau katanya tidak pernah membawa siapapun ke apartemen. Jadi dari sana aku menyimpulkan bahwa kau belum punya teman dan pacar." Sasya berucap panjang lebar. Ia memegang pundak Julie dan meneruskan, "we just worry about you..."
Julie melirik ke arah Axton yang sejak tadi asyik bermain ponsel. Dia menatap tajam kakaknya tersebut. Hal itu karena terakhir kali Julie meminta bantuan Axton untuk menghentikan ibunya datang ke apartemen.
Sadar sedang mendapat pelototan dari sang adik, Axton menoleh. "Aku sudah mencoba, Julie. Tapi ibu kita itu sangat keras kepala," jelasnya seakan mengerti tatapan dari Julie.
"Terserah." Julie bangkit dari sofa. Dia segera membersihkan diri ke kamar mandi. Setelah itu, barulah dia makan malam bersama Axton dan Sasya.
"Mom, kumohon lain kali jangan memasak daging. Karena daging buatanmu selalu keras. Ini selalu tersangkut di gigiku!" protes Axton yang sudah berhenti memakan daging barbeque buatan Sasya. Dia tampak mengambil daging yang terselip di antara giginya.
"Keras? Menurutku tidak. Benarkan, Julie?" Sasya meminta pendapat anak bungsunya.
"Ini enak. Mungkin gigi Axton yang bermasalah, Mom." Julie berusaha menahan tawa menyaksikan sikap Axton. Kakaknya tersebut juga seorang CEO perusahaan. Dia mengelola perusahaan yang lebih besar dibanding Julie. Hanya saja Axton adalah tipe lelaki yang dekat dengan keluarga. Ia selalu berusaha meluangkan waktu demi keluarganya. Terutama setelah insiden kecelakaan Julie satu tahun lalu. Perhatiannya kepada Julie kian bertambah.
"Julie, kapan kau jujur mengenai masakan ibu? Makanan buatannya tidak ada yang normal," cetus Axton. Dia langsung mendapat pukulan di kepala dari Sasya.
"Makan saja! Tidak usah mengeluh! Di luar sana ada banyak manusia yang kelaparan," ujar Sasya.
Axton menghela nafas berat. Lalu terpaksa menghabiskan makanannya. Julie yang melihat lantas tergelak kecil.
Memang Julie selalu tidak suka diberi perhatian berlebihan. Namun dia tidak bisa membantah bahwa kehadiran keluarganya selalu membawa senyum dan tawa.
Karena keberadaan keluarganya juga, Julie mengabaikan makhluk gaib yang muncul. Padahal semenjak melakukan makan malam tadi, Julie melihat sesosok hantu wanita yang dipenuhi darah.
Ponsel Axton mendadak berdering. Dia langsung mengangkat panggilan yang ternyata dari pacarnya itu.
Selepas bicara ditelepon, Axton ingin cepat-cepat pergi. Dia menyisakan sepotong daging di piringnya.
"Hei! Habiskan dulu makananmu!" tukas Sasya.
"Tidak, Mom. Aku tidak mau membuat Agnes menunggu." Axton beranjak dari meja makan. Dia segera menghilang ditelan pintu.
"Lihatlah kakakmu. Sepertinya sebentar lagi kita akan mengadakan acara pernikahan untuknya," ucap Sasya. Menatap Julie dengan tatapan dalam.
"Ya, Axton sangat mencintai Agnes. Mereka memang harus segera menikah," sahut Julie. Dia terlihat meminum segelas air putih.
"Bagaimana denganmu? Apa kau sudah punya seseorang?" tanya Sasya seraya menopang dagu dengan satu tangan.
"Seseorang?" Julie tak mengerti. Sebab pertanyaan Sasya sedikit ambigu.
"Maksudku seseorang yang membuatmu nyaman dan membuat jantungmu berdebar," terang Sasya.
Julie terdiam. Lelaki yang pertama kali di ingatnya justru adalah June. Jantungnya lagi-lagi berdegub lebih kencang. Padahal Julie hanya sedang mengingat lelaki tersebut.
'Astaga, kenapa aku memikirkannya?!' Julie langsung menggeleng kuat. Dia menepis segala pikirannya tentang June. Mengingat lelaki itu bukanlah manusia.
"Wah... Dari ekspresimu sepertinya ada." Sasya menyimpulkan.
"Hell no, Mom!" bantah Julie.
"Aku akan menunggu kabar baiknya." Sasya mengangkat kedua bahunya bersamaan. Dia tidak peduli dengan bantahan Julie.
"Mom! Percayalah, aku sedang tidak menyukai atau dekat dengan lelaki manapun sekarang!" Julie berusaha keras meyakinkan sang ibu.
"Aku tak percaya. Aku lebih percaya dengan raut wajah yang kau tunjukkan tadi." Sasya terkekeh. Dia tetap percaya dengan kesimpulan pertama.
Julie lantas hanya bisa menghembuskan nafas dari mulut. Usai melepas kepergian Sasya, dia segera tidur.
Bagi Julie, hal paling menantang adalah saat tidur. Karena seringkali ada makhluk gaib yang tiba-tiba muncul dan iseng mengganggu. Tidak heran dia selalu tidur dengan lampu menyala. Menggunakan penutup mata. Lalu menutup telinganya dengan kapas.
...***...
Mentari pagi bersinar cerah. Waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Julie sudah berada di kantor. Hari itu kebetulan tim HRD perusahaan Julie akan merekrut sekretaris baru.
Sebagai direktur, tugas Julie adalah percaya kepada tim HRD-nya. Dia akan menunggu sekretaris yang akan menggantikan Gavin.
Ketukan pintu terdengar. Julie segera mempersilahkan masuk orang yang datang. Dia tidak lain adalah Gavin. Lelaki itu memohon agar tidak dipecat.
"Aku sudah minta maaf berulang kali. Aku harap kau bisa berubah pikiran, Bos..." ungkap Gavin penuh harap.
"Maaf, Gave. Aku sudah memberimu kesempatan terlalu banyak. Sekarang kau tidak bisa mendapatkannya lagi. Sebaiknya kau rapikan barang-barangmu dan pergi," sahut Julie tegas. Dia tidak mentolelir karyawan yang sering datang terlambat. Terlebih Gavin memegang posisi sekretaris.
Dengan perasaan sedih, Gavin keluar dari kantor Julie. Dia segera memasukkan barang-barangnya ke kardus dan pergi.
Waktu menunjukkan jam tiga sore. Ketua HRD mendatangi kantor Julie. Ia membawa seseorang bernama Shane bersamanya.
"Bos, ini dia sekretaris baru kita. Dia sangat kompeten dan pintar. Namanya adalah Shane Randall," ujar Jeff memperkenalkan.
"Halo, Mr. Randall. Senang bertemu denganmu. Aku Julie Anastasya." Julie saling berjabat tangan dengan Shane.
"Aku Shane." Shane menjawab singkat. Dia tampak kaku dan culun. Sepertinya Shane tipe orang yang irit bicara.
Rambut Shane terlihat di oles dengan banyak minyak. Hingga rambut cokelatnya tersebut agak lepek. Dia juga selalu berdiri dalam keadaan tangan yang menyatu di depan. Shane juga merapatkan kakinya saat berdiri. Meskipun begitu, dia memiliki badan tinggi semampai, berkulit putih bersih, dan bermata biru. Mungkin Shane akan sangat tampan jika melakukan make over. Karena dalam tampilan begitu saja ketampanannya masih nampak jelas.
"Semoga kita bisa menjadi rekan kerja yang baik," ucap Julie.
"Iya." Shane lagi-lagi menjawab singkat. Dia tersenyum singkat. Hingga lesung pipit yang ada di pipinya juga muncul dalam waktu singkat.
Julie sama sekali tidak masalah dengan karakter Shane. Baginya yang terpenting adalah bisa mengerjakan pekerjaan dengan disiplin dan bertanggung jawab.
Shane diperbolehkan untuk menempati mejanya di hari pertama diterima. Dia disuruh untuk berbaur dan mengenal lingkungan kerja. Shane akan sepenuhnya bekerja besok hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Rara
saya berharap si bos cewek ini bisa jadian sama sang sekretaris yang tampan
2023-12-04
0
zeaulayya
Segera make over biar gantengnya maksimal
2022-11-03
0